Agenda Perubahan dan Peluang Demokrat Kembali ke KPP

Kamis, 14 September 2023 12:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terma Perubahan dalam KPP mestinya bukan sekedar nama atau merk dagang koalisi agar menarik minat pembeli (pemilih). Melainkan soal substantif, soal gagasan dan agenda, sekaligus soal penegasan dimana posisi mereka berdiri di tengah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara ini, setidaknya menurut kalangan antitesa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Poin ini potensial bisa mengarahkan Demokrat untuk kembali ke KPP dan mendukung pasangan Anies-Cak Imin

Setelah mencabut dukungan terhadap Anies dan hengkang dari KPP hingga hari ini sikap Demokrat clear dan tuntas (?). Mereka menyatakan dengan lugas tidak akan kembali ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dan tidak akan memberikan dukungan kepada pasangan Anies-Cak Imin.

Meminjam pernyataan Herzaky (juru bicara Partai Demokrat) seperti dikutip berbagai media, bagi Demokrat tidak ada CLBK (cinta lama bersemi kembali), cukup sekali dikhianati, dan partainya tidak akan kembali ke koalisi Anies (9/9/2023). Pernyataan ini tentu bisa difahami. Dikhianati, setidaknya inilah yang dirasakan Demokrat, pastinya memang sakit.  

Tetapi ada yang menarik dari pernyataan AHY sendiri terkait keputusan mereka keluar dari KPP. Bahwa pangkal soalnya bukanlah terutama karena dirinya tidak dipilih menjadi bakal Cawapres, melainkan cara “menyisihkan” AHY dan “meminang” Cak Imin yang dilakukan Nasdem-Anies. AHY menilai cara itu telah menyelisihi kesepakatan dan komitmen yang selama ini telah dibangun bersama, sekaligus menegasikan fatsun politik yang seharusnya dijaga oleh Nasdem dan Anies.

Poin pentingnya adalah soal cara, soal mekanisme. Bukan urusan substansi. Jika benar bukan perkara substansial berarti juga bukan hal yang prinsipal. Ini soal nalar, soal logic yang sederhana.

Sejatinya memang, andai saja elit Demokrat mau menahan diri barang dua-tiga hari pasca deklarasi Anies-Cak Imin di Hotel Yamato tempo hari itu. Kemudian mengendapkannya dengan jernih putusan Nasdem-Anies seraya mengingat dan memeriksa ulang dengan seksama niyat dan langkah awal mereka bergabung dengan Nasdem dan PKS untuk mendukung Anies beberapa bulan silam, mungkin ceritanya kemudian bisa berbeda.

 

Agenda Perubahan

Keputusan Demokrat (bersama PKS) untuk mendukung Anies yang lebih dulu dipromosikan oleh Nasdem beberapa bulan lalu itu didorong oleh latar belakang dinamika sosiopolitik paling mutakhir dan satu platform “ideologis” yang secara relatif sebangun. Dalam konstelasi kepolitikan nasional selama ini, Anies, Demokrat dan PKS memiliki (secara relatif) kesamaan posisi di hadapan vis-a-vis pemerintahan Jokowi. Yakni sama-sama merupakan oposan, atau setidaknya didefinisikan sebagai oposisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf oleh publik.

Dalam posisi yang demikian itu, mereka kemudian saling mengonfirmasi kesamaan pikiran dan pandangan dalam melihat situasi kekinian negara-bangsa. Lalu berkali-kali (pastinya) mendiskusikan dan mengonsolidasikan pikiran dan pandangan itu sebagai pikiran dan pandangan bersama.

Mereka melihat ada banyak sisi kehidupan masyarakat dan negara bangsa yang tak ideal dari apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Pada kasus tertentu, tampaknya mereka juga bahkan melihat ada sejumlah kebijakan pemerintah yang keliru dan tidak boleh dibiarkan. Dalam kerangka pikiran dan pandangan bersama inilah saya kira terma “Perubahan” kemudian lahir dan disepakati menjadi tagline perjuangan koalisi mereka.

Jadi, lahirnya tagline “Perubahan” mestinya bukan perkara remeh-temeh. Terma ini bukan sekedar nama atau “merk dagang” koalisi agar menarik minat pembeli (pemilih). Melainkan soal substantif, soal gagasan dan agenda, sekaligus soal penegasan dimana posisi mereka berdiri di tengah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara ini, setidaknya menurut kalangan antitesa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Soal gagasan antitesis, agenda dan pemosisian yang tersemat sebagai elemen-elemen substantif dari terma “Perubahan” inilah yang tempo hari ketika Demokrat memutuskan keluar dari KPP dan menarik dukungannya terhadap Anies itu luput dari pertimbangan dan terhempas oleh sikap reaktif dan cenderung emosional dari para elit Partai Demokrat.

 

Alasan Kembali

Jika apa yang diuraikan diatas tentang terma Perubahan adalah sahih, maka peluang Demokrat untuk kembali ke KPP mestinya terbuka lebar. Selain karena soal komitmen terhadap gagasan dan agenda perubahan tadi, setidaknya ada beberapa alasan penting yang dapat dipertimbangkan oleh Demokrat.

 Pertama, karena keputusan mencabut dukungan terhadap Anies sekaligus keluar dari KPP tempo hari itu adalah keputusan reaktif yang terlampau tergesa-gesa dan dilakukan dalam suasana bathin yang dibalut emosi. Jadi, sangat mungkin itu bukanlah  keputusan yang tepat, juga tak bijak, dan boleh jadi bukan keputusan yang sungguh-sungguh dikehendaki.

Sebuah ‘atsar dari seorang sahabat mulia Rasululloh, Sayidina Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan : “Jangan pernah membuat keputusan dalam kemarahan dan jangan pernah membuat janji dalam kebahagiaan.” Tawsiyah sahabat Ali ini tentu bukan tanpa maksud. Hal yang sangat umum terjadi bahwa keputusan yang diambil dalam situasi balutan emosi yang meluap seringkali (jika tidak selalu) berdampak tak maslahat di kemudian hari.

Kedua, hengkang dari KPP dan entah akan kemana jadinya, akan membuat Demokrat kehilangan salah satu brand positif yang selama ini telah dibangun dan dirawatnya, yakni sebagai partai yang mengusung isu perubahan. Semangat perubahan di balik brand ini dengan sendirinya akan lenyap jika Demokrat tidak memilih kembali bergabung dengan KPP, dan lebih memilih bergabung dengan poros koalisi manapun yang tersedia saat ini. Bagi Demokrat, selain figur SBY, isu perubahan ini merupakan pembeda yang dalam perspektif marketing politik dapat dikapitalisasi untuk meraih insentif elektoral.

Ketiga, keluar dari KPP lalu memilih bergabung dengan poros koalisi manapun yang tersedia akan memaksa Demokrat harus memulai lagi adaptasi politik, penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi dan situasi baru yang tidak akan mudah dilakukan, kecuali Demokrat bersedia memposisikan diri sebagai “anak bawang” di koalisi barunya. Sementara dengan KPP, bahkan chemistry politik sudah terjalin demikian rupa, terutama berkenaan dengan visi, misi dan gagasan-gagasan programatik untuk kepentingan perbaikan dan pembaruan bangsa ini ke depan.

Keempat, dengan kembali ke poros KPP dan istiqomah memperjuangkan cita-cita dan visi politiknya untuk masa depan bangsa ini akan membuat Demokrat dihormati dan mendapat tempat yang jauh lebih pantas jika dibandingkan dengan jika masuk di poros koalisi yang lain, baik KIM-Prabowo maupun DPIP-Ganjar. Haqul yakin, bahkan PKB yang sudah mendapat kompensasi bakal Cawapres akan sangat respect terhadap posisi Demokrat karena mereka sadar, koalisi yang akhirnya mengusung Cak Imin ini terbentuk lantaran peran kunci Demokrat di awal KPP lahir dan mengonsolidasikan diri. 

Kalkulasi Pragmatis

Kelima, keluar dari kubu KPP lalu bergabung dengan poros koalisi lain yang ada dengan masih menyisakan harapan bisa menjadi bakal Cawapres, tampaknya akan sia-sia. Karena meski Prabowo-KIM dan Ganjar-PDIP sampai sekarang belum memutuskan siapa bakal Cawapres mereka, peluang AHY mendapat satu slot bakal Cawapres tetap kecil.

Last but not least terkait soal yang sangat pragmatis, yakni posisi portofilo politik pasca Piplres 2024 yang bisa diperoleh. Jika pasangan Anies-Cak Imin berhasil memenangi Pilpres 2024 peluang perolehan portofolio politik di pemerintahan akan jauh lebih besar dengan pos-pos jabatan yang strategis ketimbang yang dapat diraih Demokrat jika bergabung dengan poros koalisi KIM-Prabowo maupun PDIP-Ganjar. Lagi-lagi potensi ini bisa diperoleh Demokrat karena posisi strategisnya di KPP sebagai “ashabiqunal awalun” bagi Anies-KPP.

Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler