x

Sumber: Pixabay

Iklan

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

Mahasiswa Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta
Bergabung Sejak: 15 September 2023

Selasa, 3 Oktober 2023 18:54 WIB

Timbul dan Tenggelam Sastra Sosialis di Hindia Belanda

Dengan munculnya novel Salah Asuhan&# karya Abdoel Moies, pemerintah Hindia Belanda telah membuktikan kemampuan mereka untuk memberikan bacaan yang bermanfaat. Dengan kata lain, bacaan yang tidak terlibat dalam topik politik dan memenuhi standar sastra yang baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Eka Kurniawan menuliskan bahwa sastra sosialis di Indonesia timbul dari orang-orang yang berjiwa sosialisme.
 
Awal mulanya sebagai naluri bertahan terhadap kematian yang disebabkan karena kezaliman-sosial. Kemudian mereka melakukan kegiatan kreasi dengan menyalurkannya ke dalam cerita-cerita yang mengingatkan pada kezaliman-sosial.
 

Karya Sastra dan Sastrawan Sosialis di Hindia Belanda

 

Indonesia telah menghasilkan sastra sosialis sejak awal abad ke-20. Seperti Hikayat Siti Mariah karya Hadji Moekti, yang dimuat dalam kisah bersambung di Medan Prijaji, Bandung, dari 7 November 1910 hingga 6 Januari 1912, dan Njai Permana karya Tirto Adhi Soerjo terbit pada tahun 1912.
 
Cerita bersambung Hikayat Siti Mariyah menampilkan konflik kultural, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Hidji Moekti menggambarkan tokoh-tokoh borjuis pribumi sebagai orang yang tidak memiliki prinsip dan tidak menyadari bahwa segala rahmat hidup mereka berasal dari keringat para pekerja.
 
Kemudian Nyai Permana, yang berkisah tentang seorang anak lurah yang dipaksa kawin dengan polisi. Ketika suaminya mengorup petani saat pembagian tanah. Nyai Permana sampai pada suatu kesadaran untuk berpihak pada petani. Ia pun pergi meninggalkan suaminya dan kembali ke desa. Berkumpul lagi bersama masyarakat petani.
 
Pada tahun 1919 terbit Student Hidjo kaya Marco Kardikromo dan tahun 1924 terbit Rasa Merdika atau Hikayat Sudjanmo karya Soemantri, menurut Pramoedya merupakan karya realisme sosialis di Indonesia pada awal abad 20.
 
Novel Student Hidjo bercerita tentang pemuda bernama Hidjo yang pergi belajar ke Belanda untuk menjadi insinyur. Perginya Hidjo berawal dari rasa sakit hati ayahnya terhadap saudara-saudaranya tidak mau kumpul dengan keluarganya. Saudaranya berpikir derajatnya lebih tinggi daripada ayahnya yang hanya seorang saudagar atau petani. Di masa itu menjadi saudagar atau masih dipandang remeh, karena yang layak dihormati adalah pegawai Gourmeverment.
 
Selain itu, novel ini juga menggambarkan zaman pergerakan, berikut potongan isi surat Biroe kepada Woengoe di novel Student Hidjo :
 
”Barangkali kamoe telah mendengar kabar bahwa di dalam bulan Maret ini (1913) di Solo akan diadakan kongres (verrganding besar) dari perhimpuan Sarekat Islam”. Kemudian potongan balasan isi surat Woengoe kepada Biroe: ”Soeratmoe telah koeterima. Memang mas Jo dan saja kepingin sekali bisa datang di Solo boeat melebarkan pemandangan”
 
Marco Kartodikromo dilahirkan di Cepu menjelang akhir abad ke-19, di tempat yang kemudian akan menjadi pusat gerakan saminisme, sebuah gerakan komunis primitif. Akhir abad ke-19 adalah masa sulit bagi orang Indonesia di Jawa.
 
Ia adalah seorang wartawan Jawa yang menulis sekitar sepuluh karya pada dasawarsa kedua abad ke-20. Ia memulai kariernya sebagai wartawan pada usia muda, dan sepanjang hidupnya berjuang sebagai anggota Sarekat Islam Merah di Semarang, yaitu fraksi komunis dari Sarekat Islam. Ia berapa kali dipenjarakan dan meninggal dalam pengasingan di Boven Digul, Papua.
 
Karya berikutnya, Rasa Merdika yang lebih sosialis dari Student Hidjo, menceritakan kemuakan Sujarmo terhadap kehidupan birokrat-feodal, yang membuatnya memutuskan untuk memasuki dunia politik atau pergerakan yang saat itu terbagi menjadi tiga golongan besar: nasionalis, agama, dan komunis.
 

Tenggelamnya Karya Sastra dan Sastrawan Sosialis di Hindia Belanda

 

Namun, menurut pengakuan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sastra Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, pada tahun 1928, Balai Pustaka menerbitkan roman Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan, sebuah roman semi-otobiografik, yang sekaligus merupakan puncak penerbitan Balai Pustaka.
 
Menurut Pengakuan Abdoel Moeis sendiri kepada Pramoedya Ananta Toer, redaksi Balai Pustaka meminta diadakannya perubahan-perubahan atas naksah tersebut. Abdoel Moeis tidak memberikan tanggapan, dan akhirnya Balai Pustaka menggerayangan novel tersebut atas inisiatif sendiri.
 
Tidak hanya ada bagian yang diduga didepolitikan, tetapi juga cerita itu sendiri diubah. Corry, tokoh imbangan Hanafi, seharusnya menjadi pelacur dalam naskah asli, tetapi Balai Pustaka mengubahnya karena, setidaknya, Corry memiliki darah Belanda, sehingga dia tidak harus jatuh dalam keadaan yang bisa terjadi pada orang Belanda.
 
Dengan munculnya Salah Asuhan, pemerintah Hindia Belanda telah membuktikan kemampuan mereka untuk memberikan bacaan yang bermanfaat. Dengan kata lain, bacaan yang tidak terlibat dalam topik politik dan memenuhi standar sastra yang baik.
 
Penerbitan Belanda telah memenangkan perjuangannya dengan menon-politikan sastra dan menyatakan bahwa sastra sosialis itu tidak benar, mengandung emosi yang tidak terkendali, dan menggunakan bahasa yang tidak tepat.
 
Faktor lain tentunya berhubungan dengan kegagalan pemberontakan PKI pada bulan November 1926, yang secara langsung dan tidak langsung semakin membuat karya sastra perlawanan tenggelam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Muhammad Ridwan Tri Wibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu