x

Iklan

Muhammad Ridwan Tri Wibowo

Mahasiswa Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta
Bergabung Sejak: 15 September 2023

Kamis, 5 Oktober 2023 20:25 WIB

Realisme Sosialis: Aliran Sastra Berlandaskan Estetika Revolusioner

Realisme sosialis merupakan metode di bidang kreasi-sastra untuk memenangkan sosialisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara garis besar sastra realisme sosialis berakar dari filsafat Marxisme, yaitu Materialisme Dialektis dan Historis (MDH). Meskipun Marx dan Engels tidak pernah menyusun suatu teori khusus mengenai estetika, pandangan-pandangannya mengenai seni dan sastranya tersebar dalam bentuk fragmen-fragmen dan dikumpulkan dalam buku yang berjudul On Literature and Art.
 
Dalam buku Sosiologi Sastra, Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa Marx dan Engels, seperti kebanyakan pemikir abad ke-19, memiliki gagasan bahwa sastra mencerminkan masyarakat. Engels menyatakan dua ide utama tentang sastra:
 
Pertama, tendensi politik penulis haruslah disajikan secara tersirat saja. Semakin tersembunyi pandangan penulis tentang semakin bermutulah karya yang ditulisnya. Ideologi politk bukanlah merupakan masalah utama bagi si seniman, dan karya sastranya akan menjadi lebih baik apabila ia berhasil membuat ideologi politik itu tetap tersembunyi. Engels mengatakan isi utama novel harus muncul secara wajar dari situasi dan peristiwa yang ada di dalamnya.
 
Kedua, Engels menjelaskan bahwa setiap novelis yang berusaha mencapai realisme harus mampu menciptakan tokoh-tokoh yang representatif dalam karya-karyanya, sebab pengertian realisme meliputi reproduksi tokoh-tokoh yang merupakan tipe dalam peristiwa yang khas pula.
 
Dalam Pengatar Penerbit Semut Api di buku Materialisme Dialektis dan Historis karya Joseph Stalin (terjemahan PMA), Marx hanya bicara tentang ”metode dialektis” sementara Engels tentang ”dialektika materialis”.
 
Sebenarnya Lenin yang menjadi peletak dasar hubungan partai dan sastra, serta kesenian secara umum, sebagaimana tersiar dalam pamfletnya yang berjudul Party Organisation and Party Literature dan bukunya berjudul Materialism and Empiro-Critiscm.
 
Kemudian Stalin menjalankan modifikasi atas ajaran tersebut secara lanjut di bukunya yang berjudul Dialectical and Historical Materialism. MDH inilah konsep yang diajarkan di sebagian besar negara sosialis dan partai-partai serta organisasi-organisasi Kiri di berbagai negeri, termasuk Indonesia.
 

Apa itu Sastra Realisme Sosialis?

 

Realisme Barat atau lebih tepatnya dinamai realisme borjuis, merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas (an-sich) tanpa membutuhkan kritik. Seballiknya realisme sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektik.
 
Bagi realisme sosialis, setiap reallitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebeneran, bukan kebenaran itu sendiri. Menurut Lenin, perkembangan adalah perjuangan dari yang bertentangan. Jika dunia ini berada dalam situasi yang bergerak dan berkembang, maka jelaslah bahwa tidak ada sistem-sistem sosial yang tidak bisa berubah. Karena itu, sistem kapitalis bisa digantikan oleh sosialis, persis seperti pada satu waktu sistem feodal digantikan oleh sistem kapitalis.
 
Berlawanan dengan idealisme, yang menganggap dunia sebagai bentuk penjelmaan suatu ”ide absolut”, suatu ”ruh semesta”, ”kesadaran” maka materialisme berpendapat bahwa dunia menurut sifatnya materi. Materi ialah kenyataan obyektif. Materi, alam, keadaan, jasmani adalah primer. Sedangkan jiwa, kesadaran, perasaan, rohani adalah sekunder. Gambaran dunia menurut materialisme adalah gambaran materi bergerak dan materi berpikir.
 
Tokoh utama realisme sosialis adalah pujangga besar Soviet Maxim Gorky, terutama dalam karya yang berjudul Ibunda. Munculnya gerakan sastra ini tidak ada tanggal, bulan, dan tahun yang pasti. Pramoedya dengan hati-hati, menerka-nerka kemunculan realisme sosialis pada permulaan tahun 1905.
 
Maxim Gorky membawa kita ke dunia kaum buruh di kota industri Rusia di awal abad kedua puluh. Hidup para pekerja diwarnai oleh kondisi kumuh di pabrik. Hidup buruh dikendalikan oleh peluit pabrik dan digilas oleh kemiskinan, yang mendorong mereka untuk minum alkohol dan menyalurkan rasa getir dan marahnya kepada mereka yang lemah, terutama istri dan anak.
 
Pavel Vlassov, seorang pemuda yang bekerja, dan ibunya, Pelgia Vlassov, pada akhirnya memutuskan lingkaran hidup ini. Pavel mungkin tersesat dalam lingkungan ini saat dia remaja. Namun, setelah membaca literatur sosialis, ia berubah menjadi seorang pemuda yang serius mencari kebenaran dan memikirkan upaya untuk mengubah dunia di sekitarnya.
 
Selanjutnya, cerita berfokus pada perubahan yang terjadi pada Pelgia, ibunda Pavel, daripada Pavel sendiri. Proses menuju revolusi sosialis disampaikan melalui mata dan telinga sang ibundalah. Dari rasa takut dan ketakutan, menjadi pendukung teguh gerakan anaknya.
 
Karena itu, ibunda yang buta huruf mulai bersemangat untuk belajar membaca lagi, melanjutkan apa yang dia tinggalkan setelah menikah. Pavel dipenjarakan karena tuduhan menyebarkan pamflet gelap di pabrik, yang merupakan titik balik penting dalam kehidupan ibunda.
 
Lalu, inisiatif ibunda untuk membantu menyebarkan pamflet di pabrik dengan cara menyembunyikannya dalam keranjang makanan jualannya. Jika penyebaran pamflet terus berjalan, bearti tudahan terhadap Pavel akan batal.
 
Ketika usaha itu berhasil, dan menyebabkan keonaran di pihak penguasa dan kegairahan di kalangan buruh, ibunda pun merasa bangga dan merasa dirinya begitu berarti. Dalam titik ini, cinta ibunda kepada Pavel telah mengalami transendensi menjadi cinta bagi semua anak manusia.
 
Lalu, istilah realisme sosialis secara resmi diperkenalkan dalam Kongres Sastrawan Sovyet yang diketuai oleh Marxim Gorky di Moskow pada tahun 1934, melalui ucapan Andrei Zhdanov:
 
”Pertama-tama, ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk bisa melukiskannya dengan sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak dengan cara sekolahan yang kering. Tidak hanya melukiskan ”kenyataan objektif saja”, tapi melukiskan kenyataan dalam pertumbuhan revolusionernya.
 
Dalam pada itu kenyataan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metode-metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita namakan metode realisme sosialis"
 
Pada bulan Januari 1905, sehabis Maxim Gorky menyelesaikan naskahnya Notes on Philistinisme ia menyebarkan proklamasi menentang pemerintah. Berhubung dengan peristiwa ”Minggu Berdarah” 22 Januari 1905, ia ditangkap, tapi kemudian dilepaskan kembali karena membanjirnya protes-protes internasional atas penangakapannya.
 
Persitiwa tersebut menamamkan keyakinan hati Gorky akan kekuatan solidaritas internasional, Ia semakin menjadi militan dan menjadi organisator penerbitan koran Bolshevik. Penerbitan ini langsung berada di bawah pimpinan Lenin. Di masa inilah Lenin melihat pentingnya kekuatan kultural, sastra khususnya dalam perjuangan untuk memenangkan sosialisme, dan pada tahun ini juga Lenin merumuskan hubungan antara sastra dan politik, bahwa:
 
”Kegiatan sastra harus jadi bagian daripada kepentingan umum kaum proletariat, menjadi ’roda dan sekrup’ kesatuan besar mekanisme sosial-demoraktik, yang digerakan oleh seluruh barisan depan klas pekerja yang mempunyai kesadaran politik. Kegiatan sastra harus menjadi unsur daripada garapan partai dengan gabungan sosial-demokratik yanng terorganIsasi dan terencana.”
 
Dalam pandangan ini, sastra merupakan bagian integral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia dalam menghancurkan penindasan dan penghisapan rakyat pekerja, yakni buruh dan tani dalam menghalau imperialisme, kolonialisme, dan meningkatkan kondisi dan situasi rakyat pekerja di seluruh dunia.
 
Dengan mendasarkan hal itu, maka kritik sastra kelompok ini tidak mempersalahkan persoalan struktur dalam atau intrinsik karya sastra. Berbeda dengan sastra borjuis yang tidak mempunyai kewajiban atau tanggung jawab terkecuali pada estetika dan pada manusia dan masyarakat yang belum jelas ada atau tidaknya.
 
Menurut Pramoedya dalam buku Sastra Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, sastrawan realisme sosialis tidak perlu takut politik. Realisme sosialis merupakan metode di bidang kreasi-sastra untuk memenangkan sosialisme, dan lebih penting adalah politik yang tegas, militan, tak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi sesuai nama yang dipergunakan.
 
Dalam buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Eka Kurniawan mengatakan sikap tidak berpartai muncul dari kata-kata H. B. Jassin sendiri yang menulis, ”Kami tidak masuk partai kiri atau kanan, itu bukan berarti bahwa kami tidak punya pendirian, tapi karena baik partai kiri dan kanan ada kekurangan-kekurangan yang harus tetap kami hadapi secara kritis."
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Ridwan Tri Wibowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu