x

Iklan

Furqan Jurdi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Oktober 2023

Rabu, 18 Oktober 2023 15:30 WIB

Peran Dewas Menjaga Integritas Insan KPK

Kalau Hakim adalah wakil tuhan di muka bumi, maka Pimpinan KPK harusnya wakil malaikat di muka bumi. Mereka mengembang tugas yang begitu besar, yaitu menjaga uang negara dari para pejabat korup.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Tahun 2018 terjadi kegaduhan karena gaji seorang pejabat Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai tidak wajar. Waktu itu Yudi Latif seorang cendekiawan Islam yang berintegritas itu menjabat sebagai Kepala BPIP. Setelah kegaduhan dan protes publik yang cukup massif itu, Yudi Latif Mundur sebagai kepala BPIP. Mundurnya Yudi Latif membuat saya pribadi waktu itu menyebutnya sebagai teladan etika bagi seorang pejabat.

Yudi Latif mungkin tidak mengusulkan gaji besar itu, karena BPIP bukan Lembaga yang berwenang menentukan anggaran. Tapi etika dan integritasnya sebagai seorang pejabat, dia mengundurkan diri. Pejabat yang bertanggungjawab dan mempunyai sensitifitas atas aspirasi publik semacam itu mungkin sudah tidak ada lagi di zaman ini.

Peristiwa itu bisa dikatakan sebagai peristiwa yang langka yang dilakukan oleh pejabat Indonesia. Yudi memberikan contoh bagaimana seorang pejabat Ketika diprotes oleh rakyat, walaupun itu bukan kesalahan dirinya, tetapi menyangkut lembaga yang dipimpinya dia mengundurkan diri.

Inilah standar etik bagi seorang pejabat publik yang melaksanakan mandate rakyat baik langsung maupun tidak langsung. Lebih khusus lagi kepada mereka yang memimpin sebuah Lembaga negara, etika harus menjadi pegangan utama untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.

Tidak perlu harus menunggu sidang etik dari dewan pengawas, mahkamah etik atau apapun Namanya, kalau merasa kepercayaan publik sudah semakin merosot, maka secara etik seorang pejabat harus sadar diri. Untuk membuktikan kepercayaan publik tidak perlu menunggu hasil survei.

Kearifan yang dicontoh oleh Yudi Latif itu telah hilang hampir diseluruh Pejabat di Lembaga negara, tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibat hilangnya kearifan itu, saban hari KPK dirundung masalah etik.

Berkali-kali pimpinan KPK melakukan pelanggaran yang cukup serius. Bahkan di tubuh KPK ada pungutan liar, ada dugaan pemerasan, ada gratifikasi dan berbagai bentuk kejahatan korupsi lainnya terjadi Komisi Pemberantas Korupsi.

Pelanggaran dan kejahatan di tubuh KPK itu terjadi bersamaan setelah dilembagakannya dewan pengawas KPK. Ini menjadi sebuah anomali yang cukup serius, Ketika semua Lembaga negara membentuk dewan etik, dewan kehormatan atau dewan pengawas secara internal maupun eksternal, pelanggaran etik justru terjadi kian parah.

Standar etika pun diukur dengan norma, seakan-akan pelanggaran itu adalah legal dan wajar dalam tiap pejabat yang memimpin lembaga negara. Legalitas pelanggaran etik ini menjadikan etika hanya sebatas norma, padahal etika tidak sama dengan norma.

Etika memiliki standar yang tinggi, dia menuntut dari pejabatnya kearifan dan kebijaksanaan, bukan sekedar legalitas. Etika  tidak bisa dijangkau oleh standar etik menurut UU atau kode etik kelembagaan, karena menyangkut nilai dan moralitas.

Seorang pejabat dinegara seperti Jepang misalnya, apabila mereka kedapatan naik helikopter milik swasta untuk keperluan jabatan kemudian dipersoalkan oleh publik mungkin dia akan mundur. Tetapi di Indonesia, seorang pejabat melakukan hal yang sama akan membela diri dan menunggu disidang etik. sidang etik mengakui bahwa dia salah, tapi tidak akan diberhentikan, karena standar etik pejabat Indonesia sangat procedural.

Akibatnya pejabat-pejabat nakal mulai mempelajari dan mengetahui sampai dimana batas pelanggaran etik itu. sehingga mereka bisa mengukur pelanggaran apa yang perlu dihindari dan hukuman apa yang akan mereka terima. Bahkan mekanismenya elitis, harus melanggar lebih dari dua kali baru diputus berhenti atau diberhentikan.

Sehingga tidak mengherankan pelanggaran etik semakin berkembang luas, sampai titik tertentu merupakan pelanggaran pidana. Namun akibat ada mekanisme etik, seorang Pejabat lepas dari pidana, dalam sidang etikpun dia hanya mendapatkan hukuman ringan. Inilah yang sedang terjadi.

Dewan Pengawas Perlu diperbaiki

Kalau anda datang ke Gedung merah putih KPK untuk melaporkan pelanggaran etik, anda akan menemukan mekanisme administrasi dan tata kerja kelembagaan dewan pengawas KPK yang kurang baik. Jauh dari ekspestasi kita sebagai Lembaga pengawas pada umunya yang memiliki mekanisme kerja yang terstruktur.

Jauh berbeda misalnya dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memiliki mekanisme pengaduan/laporan yang baik dan administrasi yang rapi. Di DKPP setiap laporan yang masuk dapat diketahui perkembangannya oleh masyarakat, dan setiap pelapor dapat menanyakan perkembangan laporannya kepada pihak DKPP.

Berbeda dengan DKPP, Dewan Pengawas KPK hanya semacam perpanjangan tangan KPK. Sebab administrasi laporan diterima oleh Pegawai KPK dan nasib laporan tidak dapat diketahui. Ini semacam kerja kelembagaan feudal yang melembagakan sistem birokrasi yang berbelit-belit.

Padahal kelembagaan Dewas KPK sudah ditegaskan dalam UU KPK sebagai Lembaga yang akan mengawasi insan KPK, seharusnya bersifat mandiri dan profesional baik secara administrasi, kepegawaian maupun dalam proses penanganan kasus pelanggaran etik insan KPK.

Dari bentuk pengadministrasian laporan dan tata kerja kelembagaan, dewas KPK semacam “LSM Etik” yang hanya menumpang kedudukan dan fungsi dari KPK. Hal ini kalau tidak diperbaiki segera, maka keberadaan dewas KPK hanya pemborosan anggaran dan tidak terlalu penting, apalagi melihat kinerja Dewas selama ini.

Contohnya saja, pelanggaran Insan KPK sudah berulang kali terjadi, seperti Ketua KPK Firli Bahuri. Namun keputusan dewas tidak lebih dari teguran ke teguran. Seharunya pelanggaran etika itu harus dilihat dari kecamata yang lebih luas, seperti sisi filosofis, sosiologis dan yuridis berdasarkan nilai-nilai utama, yaitu nilai moral dan etika yang hidup dalam masyarakat yang beradab.

Dengan kata lain, kalau pelanggaran itu membuat Lembaga dikritik, mereka yang melanggar dihujat, merusak nama baik Lembaga dan menghacurkan kepercayaan publik kepada Lembaga, maka mereka yang melanggar itu harus diberhentikan. Karena persoalan etika itu bukan sekedar norma, tetapi moralitas dan integritas yang jauh lebih tinggi dari semuanya.

Rule of ethics berbeda dengan rule of law. Norma-norma hukum bukanlah segala-galanya, masih dibutuhkan norma etik.  Jika etik tegak dan berfungsi dengan baik, maka hukum juga tegak sebagaimana mestinya. Rule of ethics inilah yang ditegakkan oleh Dewas KPK, bukan rule of law.

Insan KPK itu Harus “Setengah Malaikat”

Kalau Hakim adalah wakil tuhan di muka bumi, maka Pimpinan KPK harusnya wakil malaikat di muka bumi. Mereka mengembang tugas yang begitu besar, yaitu menjaga uang negara dari para pejabat korup.

Kenapa memerlukan manusia setengah Malaika? Karena mengembang tugas yang memerlukan integritas, kejujuran dan profesionalitas yang tinggi. Ditangan KPK kepentingan publik dijaga, uang negara di kontrol dari koruptor.

Kalau Pimpinan KPK hanya pejabat negara tanpa memiliki kualifikasi sebagai seorang negarawan, maka koruptor akan mudah untuk mengajaknya dalam kejahatan yang sama. Atau bisa diintervensi oleh kepentingan tertentu. Karena itu pimpinan harus benar memiliki kualifikasi terbaik.

Apalagi KPK melakukan pemberantasan terhadap Kejahatan yang terorganisasi seperti korupsi. Akan sulit untuk menghilangkan korupsi atau paling tidak menjaga uang negara dari koruptor kalau pejabat pemberantas korupsi tidak memiliki standar etika yang baik. Sebab cara kerja kejahatan itu terstruktur dengan melibatkan pejabat dan pemegang kekuasaan; sistematis, dilakukan dengan cara-cara yang tersistem, dan; massif, melibatkan banyak orang yang memiliki kekuasaan dan wibawa.

Jadi KPK itu semacam Waskat zaman orde baru singkatan dari pengawasan melekat  yang kemudian diplesetkan menjadi “pengawasan malaikat”. Sebagai pengawasan malaikat, KPK harus diisi oleh orang orang yang setengah malaikat.

Dengan kata lain, KPK harus menjadi contoh tegaknya integritas, kejujuran dan etika, Pimpinan KPK wajib bersikap professional, jujur, bertanggungjawab, memiliki integritas yang tinggi, tidak melanggar etika dan moral sebagai pejabat negara.

Kalau standar moral dan etika dilanggar maka setiap yang melanggar harus diberi hukuman maksimal, tidak boleh ditolerir dengan bentuk pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, atau pelanggaran berat. Yang Namanya pelanggaran adalah pelanggaran dan pelanggaran etika adalah bentuk pelanggaran yang harus mendapatkan hukuman maksimal, bukan hukuman pidana, maupun perdata, tetapi hukuman etik.

Melihat kondisi KPK sekarang ini dan kinerja dewan pengawas KPK yang ada sekarang, rasa-rasanya korupsi akan sulit untuk diberantas. Pimpinan dan DPR sebagai lembaga pengawas harusnya memanggil pimpinan KPK maupun Dewas KPK untuk dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan korupsi ini.

Keadaannya semakin rumit, apalagi berulang kali pelanggaran etik terjadi, namun tidak ada ketegasan dari Dewas KPK sejauh ini. Kita berharap semoga ada pejabat sekelas Yudi Latif yang berani bertanggungjawab dan memiliki integritas yang jujur di KPK

Penulis: Furqan Jurdi (Ketua Perhimpunan Pemuda Madani).

Ikuti tulisan menarik Furqan Jurdi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu