x

Ilustrasi Kecerdasan Buatan. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay.com

Iklan

Adila Firani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Oktober 2023

Selasa, 31 Oktober 2023 06:24 WIB

Penggunaan AI sebagai Alat bagi Jurnalis Menghadapi Disinformasi

Pada akhirnya media-media di dunia saat ini mengalami perubahan mendasar akibat munculnya teknologi internet. Media beradaptasi dan terus menawarkan inovasi bagi kerja-kerja jurnalistik. Dalam proses ini, kerja-kerja yang dilakukan menjadi penting dan esensial, terutama setelah hadirnya sistem komputasi dan munculnya Artificial Intelligence (AI).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang semakin canggih membuat banyak rutinitas milik manusia menjadi lebih cepat dan mudah untuk dilakukan (Treygey, 2023). AI saat ini dipasangkan ke dalam setiap sistem komputer individu, kelompok, termasuk perusahaan untuk kepentingan ekonomi dan keuntungan efisiensi yang mereka butuhkan. Perkembangan AI telah menjadi pusat perhatian dalam dunia teknologi, bisnis, media, dan bahkan etika.

Perkembangan pesat dalam AI telah membuka pintu menuju berbagai kemungkinan baru, termasuk pengembangan otomasi yang lebih cerdas, pemahaman bahasa alami, serta kemampuan komputasi yang meningkat. Namun, sejalan dengan semua potensi manfaat yang ditawarkan, ada banyak kekhawatiran yang hadir di dalamnya, termasuk “robots taking over my job” yang sempat booming beberapa waktu lalu ketika ChatGPT menjadi trending di seluruh dunia karena kemampuannya dalam menjawab dan melakukan analisis kasus yang diberikan.

Kekhawatiran ini hadir dari argumen dan keyakinan yang terpupuk melalui persebaran informasi terkait AI di media. Argumen ini cenderung berasal dari pemahaman bahwa pekerjaan manusia hanya terdiri dari serangkaian tugas, sehingga beberapa atau seluruhnya dapat dilakukan dengan lebih efektif, efisien, atau dalam skala besar oleh AI. Oleh karena itu, seiring dengan berkembangnya kemampuan AI, banyak pekerjaan manusia yang bisa diambil alih karena pekerjaan-pekerjaan tersebut diyakini dapat dilakukan dengan lebih baik oleh AI. Steven Miller, professor of information systems at Singapore Management University mengatakan bahwa AI tidak dapat menggantikan pekerjaan manusia secara menyeluruh, “maybe ones that are highly repetitive or based on very specific instructions or rules that lay out what needs to be done. [...] human are emotional creature and most of their job emphasize interpersonal skills. Means that it will never be replaced by an AI,” katanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekhawatiran publik seperti ini tidak bisa disalahkan begitu saja karena apa yang publik yakini merupakan pengaruh dari stimulus informasi atau pemberitaan yang mereka dapatkan dari media. Sejalan dengan pemahaman teori agenda setting milik Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972) yang menggambarkan bagaimana media memengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik melalui intensitas pemberitaan. Teori ini memberikan wawasan tentang peran media dalam membentuk agenda publik dan memengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu tertentu. Hal ini terjadi karena ketika suatu isu terus-menerus diberitakan oleh media, masyarakat akan cenderung menganggap isu tersebut penting dan memprioritaskannya dalam perbincangan sehari-hari. Termasuk di dalamnya berkembangnya misinformasi hingga disinformasi, mengingat akses yang bebas dan kecanggihan yang dimiliki AI membuat beberapa pihak tidak bertanggung jawab juga dapat memanfaatkan hal tersebut untuk memproduksi misinformasi dan disinformasi.

Misinformasi mudahnya dipahami sebagai penyebaran informasi yang salah atau keliru tanpa adanya niat jahat atau niat untuk menyesatkan (Knobel, 2008). Sementara itu, dalam buku, Disinformation: The Secret History of the Kremlin's War on America oleh Thomas Rid (2020) dikemukakan bahwa disinformasi merupakan penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan dan disengaja. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk memanipulasi opini publik, menciptakan kebingungan, atau mencapai tujuan tertentu. Definisi ini mencakup informasi palsu, hoaks, atau narasi yang dapat merusak pemahaman yang akurat tentang sesuatu. Maka, jika disinformasi seperti hoaks dan narasi menyesatkan beredar di publik secara masif tanpa ada upaya untuk menghentikan atau mencegahnya, kondisi tersebut dapat dengan cepat merusak stabilitas sebuah ekosistem karena adanya kepentingan pihak tertentu dan keyakinan yang tidak berdasar menjadi konsumsi publik. Parahnya, disinformasi yang sudah dikonsumsi dan mendapatkan kepercayaan publik dapat menimbulkan tindakan yang merugikan bagi banyak pihak.

Oleh karena itu, penting bagi seorang jurnalis sebagai aktor yang bekerja di media untuk memastikan bahwa produk jurnalistik yang dipublikasikan sudah melalui tahap fact checking, verifikasi dan telah melalui tahap produksi sesuai kaidah jurnalistik itu sendiri, untuk memastikan produk tersebut berkualitas dalam upaya mengurangi maraknya persebaran disinformasi. AI yang banyak dipasangkan ke dalam sistem kerja media yang digunakan untuk menangkap, memproses, mengakurasi, dan menganalisis data dalam jangka waktu tertentu menunjukkan jika kehadiran AI menambah peluang dan juga tantangan dalam bidang jurnalisme.

Di satu sisi, AI bisa digunakan untuk mencari inspirasi ide konten bagi jurnalis, membantu jurnalis untuk meringkas hasil transkrip wawancara, dan mempermudah pengumpulan data. Namun, disisi lain kehadiran AI juga membuat proses verifikasi dan konfirmasi semakin kompleks mengingat kesimpulan yang dibuat oleh AI tetap bergantung pada database, spreadsheet, algoritma, dan paket statistik yang ada di dalam sistem tersebut. Dalam kerja media, AI membantu jurnalis memahami persebaran sumber dan data yang tidak terbatas sehingga jurnalis bisa memanfaatkan hal tersebut untuk mengakurasi pemberitaan yang sesuai dengan isu yang sedang hangat bagi publik. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan AI dalam mengolah bubble filter dan algoritma. Kemampuan ini membantu jurnalis mengerjakan fungsinya sebagai agenda setting lebih efisien, tetapi selaras dengan kemudahan ini jurnalis untuk menghadapi tantangan etika karena kemampuan AI untuk menentukan konten sesuai algoritma publik ini dapat menghambat kebebasan publik untuk mendapatkan informasi yang beragam dan memiliki pandangan yang berbeda.

Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Kovach dan Rosenstiel dalam bukunya, The Elements of Journalism jika prinsip-prinsip etika jurnalisme meliputi, kebenaran, independensi, akuntabilitas, dan transparansi tetap menjadi landasan yang penting dalam era AI ini. Salah satu prinsip utama adalah kebenaran, yang mengharuskan berita untuk akurat dan tidak menyesatkan. Dalam konteks AI, penting untuk memastikan bahwa algoritma dapat menghasilkan berita yang benar dan bebas dari bias. Independensi adalah prinsip lain yang tidak boleh dilupakan. Jurnalis harus tetap memiliki kendali atas proses editorial dan tidak terlalu bergantung pada algoritma AI. Sekalipun teknologi AI dapat membantu dalam pembuatan berita atau pemilihan berita, independensi jurnalis dalam menentukan narasi dan prioritas berita tetap sangat penting.

Dalam hal ini, campur tangan jurnalis jelas dibutuhkan. Penggunaan AI bisa diterapkan dalam limitasi tertentu. Namun, hal-hal substansial lainnya tetap harus diolah oleh jurnalis itu sendiri. Hal yang sama berlaku bagi seorang fact checker. Saat ini, AI dapat menjadi tools untuk mencari tahu kebenaran dari sebuah informasi atau berita yang beredar di masyarakat. Kemampuan AI dalam memanfaatkan algoritma membuat AI tidak membutuhkan waktu lama ketika mengerjakan perintah yang diberikan oleh seorang fact checker. Maka, yang harus dilakukan sebagai seseorang yang bekerja di media adalah beradaptasi terhadap perkembangan AI tanpa melepaskan kaidah, prinsip-prinsip, dan kode etik jurnalisme itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria dalam siaran pers nya, “Ke depan industri jurnalisme harus berani terbuka dan mengadopsi teknologi AI. Tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi pelaku industri namun meningkatkan nilai rekan-rekan jurnalisme dan media,” ungkapnya (dikutip dari Kominfo.go.id, 2023).

Sebab pada akhirnya, seperti yang dikemukakan oleh Hany Farid Barkeley and California professor and AI researcher (dalam wawancara bersama Bloomberg, 2023) di tengah gempuran kebebasan penggunaan dan sumber yang AI sediakan, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah bagaimana berita itu diproduksi dan dikonsumsi. Artinya, upaya untuk menuntaskan misinformasi dan disinformasi tetap membutuhkan banyak pihak sekalipun tanggung jawab besar ada di tangan pekerja media. Hany Farid juga melanjutkan, karena perlu untuk selalu diingat jika “it’s important to understand that disinformation is not fundamentally new,” yang menunjukkan bahwa entah itu pre atau post the AI rising, misinformasi dan disinformasi sudah ada dan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi sosial di dalamnya. Oleh karena itu, AI dapat dimanfaatkan sebagai tools untuk menghadapi dan memberantas misinformasi dan disinformasi bagi para pekerja media sebagai upaya long life yang dilakukan secara continuously, bukan sesaat saja.

Ikuti tulisan menarik Adila Firani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB