x

Gambar oleh skefalacca dari Pixabay

Iklan

Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 30 Oktober 2023 12:48 WIB

Menuju Batas Langit dan Bumi bersama Musashi

Ada sara menghadapi keterbatasan tubuh dan diri yang berakhir pada pembebasan pikiran. Bisa dengan memadukan tubuh dan semangatnya, seheingga seperti Musashi, mislanya, bisa menyatu dengan pedangnya. Bisa juga dnegan menemukan kebermaknaan dalam hidup dan mensintesiskannya dengan keterampilan dan gagasan yang dimiliki setiap individu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada hal menarik tentang pengembangan diri yang bisa kita pelajari dari novel Musashi karangan Eiji Yoshikawa (2005). Salah satu adegan yang paling berkesan dalam novel ini adalah saat Musashi menginjak paku dan jatuh sakit, tetapi berusaha mendaki puncak Rajawali. Tentu bukan bentuk disiplin diri ekstrem yang perlu dicontoh dalam kisah ini, melainkan apa yang terjadi dalam diri Musashi saat berusaha mendaki.

Dalam bab berjudul Burung Rajawali, kita melihat Musashi berjalan tertatih-tatih dengan kaki bengkak yang mulai bernanah. Seorang diri. Dia meninggalkan barang bawaannya di sebuah kuil, pergi ke sungai Isuzu yang suci dan dingin, lalu muncul ide gila untuk mendaki puncak Rajawali yang terlihat seperti sosok Sekishusai Yagyu, maestro pedang yang dianggapnya sebagai manusia sejati. Padahal dalam perjalanan sebelumnya, kita sempat menyaksikan bagaimana kehebatannya dalam menghadapi berbagai lawan sepanjang Nara yang penuh ronin penyamun. Namun, paku yang menyerangnya secara mendadak menunjukkan bahwa Musashi pun masih manusia biasa. Di sini Sang Pendekar menyadari bahwa dirinya dikepung oleh lawan yang tak sanggup dihadapinya: demam, nafsu yang dikobarkan para perempuan penghibur, dan tubuhnya yang tak padu dengan semangatnya.

Ketika membacanya kembali, saya berpikir apakah yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam bab ini. Mengapa Musashi perlu mengalami perjalanan seperti ini sebelum menghadapi Seijuro, sang Pemimpin Perguruan Pedang Yoshioka? Apa yang terjadi jika dia tidak pernah mengalami pengalaman memalukan ini? Tentu, Musashi akan tetap mampu mengalahkan Seijuro, tetapi apakah karena itu dilakukannya dengan pemikiran dan sikap menghadapi maut untuk mendapat kematian yang heroik atau hidup di jalan pedang dengan kemenangan?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sempat memikirkan tentang adegan ini selama beberapa waktu. Sesekali menghubungkannya sendiri dengan pengalaman saya sendiri dan orang lain. Dari sini, saya teringat kembali kejadian ketika masa awal pandemi di bulan Juli.

Waktu itu, saya sekeluarga jatuh sakit. Ayah terkena tipus, ibu kurang fit tetapi harus terus sibuk mengurus rumah dan warung, adik saya batuk dan demam, sedang saya sendiri terbaring selama dua minggu. Namun bukan karena Covid-19, melainkan masalah lambung gara-gara begadang, terlalu banyak minum kopi, dan makan kripik pedas. Kalau tidak salah, selama seminggu saya belum boleh mandi karena terus-terusan demam dan panas-dingin. Sesekali ada cukup tenaga buat pergi ke balkon dan berjemur di pagi hari dan ikut jualan di warung hingga sore. Pada titik ini, saat demam kembali membakar saya di kasur, saya merasa ada gejolak yang membuat saya ingin melakukan sesuatu, apapun itu yang bisa membuat saya merasa hidup dan berarti. Saya pun mulai menyalakan laptop, mengetik, mempelajari game engine, dan mencoba membuat level design.

Biasanya, saat menulis saya butuh fleksibilitas dan ketenangan yang membuat saya tidak merasa dikejar-kejar deadline. Namun pada waktu itu, justru saya merasa sangat produktif dan terpacu untuk mengerjakan apapun. Saya tahu tubuh saya lemas dan tidak bisa berbuat banyak, tetapi saya tetap mencoba untuk mengerjakan sesuatu meskipun sedikit. Menulis beberapa kalimat, membaca satu paragraf, menonton video tutorial, memfamiliarkan dengan interface aplikasi dan mencoba beberapa tool, dan lainnya. Sampai saya tidak terlalu terpaku pada pening dan sakit kepala.

Ada irisan antara kedua cerita di atas, ini tentang menghadapi keterbatasan tubuh dan diri yang berakhir pada pembebasan pikiran. Pada kasus Musashi, dia mencoba memadukan tubuh dengan semangatnya, agar kemudian dia bisa menyatu dengan pedangnya. Sedang bagi saya, menemukan kebermaknaan dalam hidup dan mensintesiskannya dengan keterampilan dan gagasan yang saya miliki. Dan saya kira, pembaca pun pasti memiliki pengalaman serupa, nasib sial, kejadian konyol, yang membuat kita jatuh-bangun tetapi akhirnya mengutuhkan diri kita dengan nilai, kemampuan, dan prinsip yang dipegang. Bagaimanapun, jangan sampai kita menginjak paku hingga tetanus atau membiarkan diri jatuh sakit.

Agar lebih jelas, mari kita ikuti perjalanan Musashi yang tidak menerima keadaan terpuruknya. Apalagi jika harus berbaring di penginapan, sementara seekor rajawali bisa terbang ke puncak yang jadi batas antara bumi dan langit. Terlebih dahulu, kita perlu kembali pada Musashi dan suasana batinnya dalam menyikapi kondisinya tersebut.

“Sakit adalah sejenis musuh yang paling jahat,”…. “Namun tak berdaya aku dalam genggamannya.” Sampai sekarang ia menduga musuh-musuhnya akan selalu datang dari luar, maka kenyataan bahwa ia dibikin lumpuh oleh musuh dari dalam, baginya sungguh baru dan memaksanya untuk berpikir (hal. 388).

 

Penyikapan yang serupa disampaikannya ketika Musashi berendam di sungai Isuzu. Menurutnya, jika tubuhnya tidak bisa menahan dingin, bagaimana dia bisa menahan halangan dan ancaman hidup yang lebih fatal.

Sebagai karakter yang diceritakan sedang menempuh ‘jalan pedang’ untuk menjadi manusia sejati, tentu dia menganggap kejadian ini sangat tidak pantas. Dia tidak ingin takluk oleh musuh manapun, termasuk nyeri yang bersarang di tubuhnya sendiri. Meskipun itu berarti memaksakan dirinya untuk melawan rasa sakit seperti yang diceritakan berikut ini.

Yang menggerakkannya adalah kebutuhan spiritual, dan kebutuhan yang sangat dalam. Kendati dilanda nyeri dan derita fisik, semangat Musashi pekat dan berdetak penuh daya hidup. Ia angkatkan kepala, dan dengan mata nyalang ia pandang kehampaan di sekitarnya (hal. 390).

 

Di sisi lain, dia teringat pada kejadian yang mengusik kesadarannya sebagai seorang murid, perjumpaan dengan tokoh seperti Takuan Soho, Nikkan, dan tentu saja Sekishusai Yagyu. Dalam pandangannya, sosok-sosok tersebut merupakan ideal dari manusia sejati yang menjadi tujuannya.

Ia merasa bahwa jauh di dalam dirinya terdapat kelemahan, yaitu karena ia tahu dirinya belum matang…. bahwa ia belum mencapai taraf pikiran seorang guru sejati…. tak dapat ia mengelak dari kebenaran sederhana ini: ia masih hijau! (hal. 392).

 

Pada titik ini, Musashi menemukan suatu keyakinan dan memantapkannya. Dia mencoba mengatasi kelemahan dan kekurangannya dengan semangat yang membara.

Tubuhnya bergetar ketika ia memekik, “Aku harus menang, aku harus menang!”

 

Hanya saja, keyakinan tidaklah cukup. Sebab, sikap kita terhadap keidealan yang dicita-citakan mesti bisa diselaraskan dengan realitas. Dalam istilah konseling person-centered, hal ini disebut sebagai ‘kongruensi’, yaitu fleksibilitas kepribadian yang cenderung tidak terdistorsi/disangkal karena bebas dari pertentangan antara struktur-diri dan pengalaman (Tolan & Cameron, 2019, hal. 88-9). Struktur-diri sendiri merupakan model untuk mempersepsikan diri dan pengalaman dalam memahami dunia agar kita dapat beradaptasi (hal. 4). Sedangkan sewaktu kuliah dulu, kongruensi juga meliputi kesesuaian antara diri ideal dengan diri yang aktual/nyata. Jika, keseuaian tersebut tidak tercapai, orang akan terganggu, bingung, cemas, merasa kurang berharga, atau malah menilai dirinya secara berlebihan dan mengejar kesempurnaan yang mustahil untuk diwujudkan.

Apa yang dilakukan oleh Musashi kemudian adalah mengarahkan keyakinannya menjadi tindakan yang mengafirmasi cita-citanya tersebut. Keyakinan dan cita-cita yang mana merupakan bagian dari struktur-diri yang tidak akan bisa diingkari oleh pengalaman sakitnya saat ini. Sehingga dia bertekad untuk melampaui batasan tubuhnya, rintangan alam, dan ancaman kematian yang mengintai pada kesalahan langkah.

Kini, setelah dekat ke puncak tertinggi, ia pegang teguh hidupnya tercinta. Satu saja gerakan keliru akan membuatnya melayang ke riam karang dan batu-batu besar….(hal. 393).

 

Dan akhirnya, ketika dia berhasil menjaki puncak Rajawali serta berdiri di bahu sang Raksasa, pada saat inilah pikirannya terbebaskan. Musashi melampiaskan rasa puasnya seakan telah mengalahkan Sekishusai dan jatuh tidur. Kemudian, saat terbangun, “akhirnya ia mengangkat kepala, pikirannya pun semurni dan sejernih kristal.” Di puncak tersebut, dia sadar dirinya tidak memerlukan pengakuan dari siapapun, cukup dirinya sendiri. Tidak mencari sesuatu yang berada di luar dirinya. Sebagaimana teriakan rasa puasnya.

“Tak ada apa pun lagi di atasku!” teriaknya. “Aku sekarang berdiri di atas kepala rajawali!” (hal. 394).

 

Jadi, apakah Musashi telah bertransformasi menjadi taraf guru dan mencapai kesejatian? Tentu saja, Anda perlu membaca novel ini untuk menyaksikannya. Akan tetapi, sejauh ini bisa dikatakan bahwa masih ada puncak lain yang perlu dicapai. Meskipun apa yang diceritakan oleh Eiji Yoshikawa melalui tokoh Musashi terdengar megah dan angkuh, seakan jalan pedang lebih unggul dari Zen, di sisi lain ini merupakan pengalaman yang membuat rendah hati. Bahwa puncak tersebut tidak akan tercapai tanpa menyadari kekurangan, kelemahan, keterpisahan tubuh-pikiran atau diri aktual & diri ideal, dan menakar seberapa jauh kemampuan diri.

Dengan demikian, proses transformasi tersebut bukan soal menjadi sempurna atau heroik, tetapi mencintai hidup sendiri dan menjadi utuh. Sebagaimana yang tergambarkan dalam paragraf terakhir di mana Musashi seakan menyatu dengan puncak Rajawali. Tidak ada diri, tetapi justru di situlah diri yang sesungguhnya hadir, diri yang tidak terjerat pemikiran yang memisahkan-misahkan mana yang termasuk dirinya dan mana yang bukan. Mencapai kekosongan di mana segala potensi bisa disalurkan tanpa hambatan keinginan ego yang seringkali terjebak oleh kebutuhan, ketakutan, dan berbagai hasrat lain yang segala perhatian terpencar. Jauh dari puncak, tak berada di mana pun, entah di mana.

 

Referensi:

Tolan, J., dan Rose Cameron. (2019). Berbagai Keterampilan dalam Konseling dan Psikoterapi Person-Centered. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yoshikawa, Eiji. (2005). Musashi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

 

Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

16 jam lalu

Terpopuler