x

Arah Politik Presiden Jokowi

Iklan

Ariyansah NK

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Jumat, 10 November 2023 06:31 WIB

Jokowi dan Politik Malin Kundang

Jokowi kini dianggap sebagai anak yang lupa pada ibunya, dalam hal ini Megawati Soekarnoputeri dan PDIP. Megawati dan PDIP telah membawa Jokowi dari wali kota menjadi seorang presiden. Tapi kebaikan itu dibalas dengan perpisahan dan merestui putranya, Kaesang, maju kontestasi Pilpres 2024 kbersama koalisi lain. Tak ada yang tahu persis apa yang melatarbelakangi keputusan politik Jokowi itu. Benarkah ia sakit hati karena disebut sebagai petugas partai? Benarkah Jokowi kecewa karena PDIP menolak gagasan tiga periode?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jokowi dan PDI Perjuangan adalah paket yang hampir sempurna. Saya tidak katakan sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan YME. Namun rasa-rasanya tak berlebihan bila dikatakan bahwa perpaduan keduanya merajai dunia politik nasional. Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 menjadi saksi.

Keduanya menyatu di benak dan hati masyarakat. Seperti banyak orang di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya. Melihat Jokowi, ya PDI Perjuangan. Begitu sebaliknya. PDI Perjuangan, yang ada di pikiran masyarakat, ya Jokowi, presiden yang dikenal dengan sosok yang sederhana dan merakyat.

Namun pandangan itu tampaknya tak berlaku lagi pada Pilpres 2024. Setelah Gibran Rakabuming Raka dideklarasikan menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto dan kini keduanya telah mendaftar ke KPU sebagai capres dan cawapres.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal itu tentu memperjelas sikap Jokowi. Jurang perpisahan politik antara Jokowi dan PDI Perjuangan semakin menganga lebar. Majunya Gibran ---putra sulung Jokowi--- bersama Prabowo dianggap sebagai wujud sikap politik Jokowi yang tak lagi bersama PDI Perjuangan. Sebagaimana kita ketahui bersama, PDI Perjuangan bersama koalisinya mengusung Ganjar-Mahfud sebagai capres dan cawapres.

Masyarakat pendukung keduanya ---Jokowi dan PDI Perjuangan--- harus ikhlas, meski ada kesedihan mendalam. Mereka yang melihat Jokowi ya PDI Perjuangan, PDI Perjuangan ya Jokowi, harus menerima kenyataan, bahwa Jokowi berpisah dengan PDI Perjuangan.

Kesedihan tidak hanya sampai di situ. Mereka juga harus memilih, antara Jokowi atau PDI Perjuangan. Tidak hanya sampai di situ lagi, memilih salah satu, berarti berlawanan dengan satu lainnya. Sungguh pilihan yang sulit dan menyedihkan, tapi harus dilakukan bagi mereka. Seperti yang dirasakan beberapa kader PDI Perjuangan, yang tak tega melawan Jokowi.

Banyak yang sedih dan kecewa atas realita politik hubungan Jokowi dan PDI Perjuangan. Banyak yang memaki dan menganggap Sang Presiden lupa dengan partainya, haus kekuasaan dan berusaha membangun dinasti politik. Dan lain-lain masih banyak lagi ungkapan bentuk kekecewaan itu.

Ada lagi yang bilang, Jokowi itu lupa dengan kebaikan Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan. Padahal, kurang baik apa putri Sang Proklamator Kemerdekaan RI itu. Megawati, atas nama partainya, mengusung Jokowi menjadi wali kota Solo dua kali, Pilkada DKI Jakarta hingga pilpres dua kali pula. Dan semuanya menang.

Gibran dan Bobby Nasution (menantu Jokowi) juga diusung PDI Perjuangan di Pilkada Surakarta dan Pilkada Medan, dan menang. Mengutip kata Muhammad Romahurmuziy dalam podcast Total Politik, Jokowi berhutang 7 jabatan publik pada PDI Perjuangan. Dan atas hal itu, dalam konteks etika, tidak sepantasnya Jokowi tidak bersama PDI Perjuangan.

Banyak yang kecewa dan sedih dengan cerita jalan politik Jokowi dan PDI Perjuangan. Namun, saya setuju dengan Denny Siregar, tidak ada kekecewaan dan kesedihan yang melebihi kekecewaan dan kesedihan Megawati yang telah memberikan Jokowi kendaraan mencapai tujuh jabatan publik yang disebutkan Romahurmuziy tadi.

Jokowi kini dianggap sebagai anak yang lupa pada ibunya, dalam hal ini Megawati. Lupa dengan partai yang membesarkannya. Betapa tega seorang Jokowi melupakan jasa-jasa Megawati dan PDI Perjuangan yang telah membawa dirinya dari wali kota menjadi seorang presiden. Hingga kebaikan itu dibalas dengan perpisahan dan merestui putranya maju bersama partai koalisi lain, hingga tak patuh dan tak bersama PDI Perjuangan pada Pilres 2024.

Jokowi berkhianat kepada Megawati, lupa dengan kebaikan Megawati dan PDI Perjuangan. Kira-kira begitu kekecewaan yang dirasakan banyak orang pendukung PDI Perjuangan.

Belakangan berita nasional ramai dengan rencana kunjungan Jokowi ke Sumatera Barat. Saya teringat dengan kisah cerita rakyat Malin Kundang. Kisah seorang anak yang melupakan ibunya. Yang pergi merantau, namun ketika kembali ke kampung halamannya, momentum kepulangan sang anak itu justru menjadi duka bagi sang ibu. Ada kemiripan dengan perjalanan politik Jokowi, Megawati dan PDI Perjuangan di atas.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Malin Kundang hidup dan tinggal bersama ibunya, Mande Rubaya. Malin tumbuh menjadi anak yang rajin, baik dan penurut bersama kasih sayang Mande. Malin pernah jatuh sakit namun terselamatkan berkat usaha keras ibunya. Mereka saling menyayangi juga mengasihi.

Suatu ketika, Malin yang sudah dewasa ingin merantau, memperbaiki nasib. Meski berat mengizinkan anaknya, atas dasar ketakutan dan kecemasan terhadap keselamatan anaknya, Mande akhirnya mengizinkan. Diceritakan, sebelum pergi, Mande memberikan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.

"Untuk bekalmu di perjalanan". Begitu kata Mande memberikan bungkusan itu kepada Malin. Ia pun segera berangkat dengan restu Mande.

Hari berlalu. Bertahun-tahun dilalui Mande tanpa kabar dari sang anak. Harapan ingin bertemu kembali dengan Malin semakin besar. Kabar yang tampaknya Bahagia, datang. Malin telah menikah dengan gadis cantik, anak bangsawan yang kaya raya.

Keinginan Mande bertemu sang putra semakin hari semakin memuncak. Hingga pada suatu hari, kapal datang. Benar saja, hari pertemuan yang ditunggu-tunggu Mande pun tiba. Namun tidak seperti harapannya. Justru berbanding terbalik dengan mimpinya selama ini. Jangankan untuk bersama lagi, Malin justru lupa dengan ibunya, lupa dengan kebaikan ibunya itu, yang membesarkannya itu.

Sesaat setelah turun dari kapal, dengan pakaian gagah didampingi sang istri, Malin kian menjadi pusat perhatian. Ibunya yang renta datang menghampiri, seketika langsung memeluknya. Namun seakan tanpa punya sejarah kehidupan, dengan tanpa sudi, Malin menghempaskan pelukan ibunya itu. Yang membuat Mande tersungkur, jatuh ke tanah.

Kesedihan Mande berlanjut. Dari mulut Malin sendiri, ia tak diakui sebagai orang tua, sebagai ibu dari putranya itu. Karena perbuatan Malin itu, Mande pun tak sadarkan diri. Malin dan istrinya kembali ke kapal dan pergi.

Ketika sadarkan diri, Mande mengetahui anaknya itu telah kembali pergi. Apa yang telah dilakukan Malin kepadanya tak bisa ia lupakan. Sungguh mengiris hati. Hingga ia pun meminta keadilan kepada Yang Maha Kuasa.

"Tuhan kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi kalau memang benar dia anakku yang bernama Malin Kundang, aku mohon keadilan," demikian doa Mande.

Langit cerah seketika menjadi gelap. Badai besar datang. Lautan penuh dengan ombak besar. Kemudian menyapu dan menghancurkan kapal yang ditumpangi Malin dan istrinya hingga berkeping-keping.

Kepingan kapal itu hanyut ke tepi pantai. Dan menjadi batu. Tampak bagian batu yang menyerupai tubuh manusia. Yang dalam cerita ini, itulah tubuh Malin Kundang yang dikutuk ibunya menjadi batu karena durhaka. Kutukan itu adalah karma bagi Malin Kundang atas perbuatannya kepada Mande.

Dalam cerita Malin Kundang, tak ada referensi detail yang mengisahkan perjalanan Malin sejak ia pergi merantau hingga mengapa dirinya menjadi durhaka. Tak ada cerita rinci pengaruh besar apa yang mengubah lelaki itu menjadi lupa dengan kebaikan Sang Ibunda. Apakah karena harta, tahta atau pengaruh sang istri.

Begitu juga dengan kisah perjalanan Jokowi dan Megawati atau PDI Perjuangan. Hari ini bagi publik, khususnya mereka yang merasa kecewa dengan sikap Jokowi, melihat sikap politik mantan Wali Kota Surakarta adalah berkhianat kepada partai yang telah mengusung dirinya menjadi presiden dua periode itu.

Tapi tak ada yang tahu persis apa yang melatarbelakangi keputusan politik yang sangat berseberangan dengan PDI Perjuangan tersebut. Ada banyak pandangan menyebutkan beberapa motif. Di antaranya sakit hati disebut petugas partai, PDI Perjuangan menolak usulan tiga periode, jaminan keamanan hukum setelah purna sebagai presiden, tak dilibatkan PDI Perjuangan soal deklarasi Ganjar sebagai capres hingga adanya bujuk rayu bermotif bisnis.

Namun, apapun yang beredar di publik, bagi saya, hanya Jokowi dan Megawati lah yang tahu persis apa yang terjadi sehingga mengakibatkan adanya perbedaan sikap politik antara Jokowi dan PDI Perjuangan saat ini. Setiap pilihan politik pasti ada konsekuensinya. Apapun itu. Politik balas budi, maupun politik malin kundang. Saya menggunakan istilah politik malin kundang dalam hal ini sebagai definisi sikap jalan politik yang berkhianat atas kebaikan masa lalu.

Politik malin kundang akan melahirkan malin kundang politik. Seperti kisah malin kundang yang menerima karma atas perbuatannya. Dalam politik, bagi saya juga demikian. Akan ada karma politik kepada mereka yang berkhianat dari kepentingan bersama. Kisah Jokowi dan PDI Perjuangan ini menambah keyakinan bahwa dalam politik, tak ada kawan maupun lawan yang abadi.

 

Ikuti tulisan menarik Ariyansah NK lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler