Tak Ada Hotel di Maliana

Jumat, 17 November 2023 06:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah privatisasi lahan publik dan kecamuk pertikaian perebutan tanah antara pemerintah dan rakyat adalah hal biasa yang sering kami baca dan dengar di berita digital dan podcast warga.

Saya menyukai hujan. Pagi ini hujan yang turun membangunkan saya tepat pukul 01.23 dini hari. Hujan seperti ingin mengajak saya bercerita. Saya bangun, mengambil kursi dan membawanya ke depan rumah. Sejak kecil, Saya menyukai duduk sendiri dan menikmati hujan. Entah mengapa ritual ini menjadi agenda yang dinanti-nantikan.

Semalam, salah satu sahabat  tiba di Maliana, sebuah distrik di negara Timor Leste. Ia sedang mengikuti forum pertukaran kebudayaan yang digagas pemerintah Timor Leste dan Indonesia.

Saat berkabar, ia menginfokan "Tak ada Hotel di Maliana" Dahi saya berkerut. Bagaimana mungkin tak ada Hotel di Maliana. Saya bertanya pada hujan pagi ini. Apa mungkin tak ada Hotel di Maliana?

Hotel adalah kaki dan tangan Pariwisata yang menggurita di Indonesia. Dan kisah  privatisasi lahan publik dan kecamuk perang perebutan tanah adalah hal biasa yang sering kami baca dan dengar di berita digital dan podcast warga. 

Sebagian Hotel dan pariwisata  menyimpan kisah pilu di Indonesia. Di wilayah kami kisah kaum oligarki  yang berkolusi dengan pemerintah kemudian melawan rakyatnya sendiri adalah makan pagi, siang dan malam.   Kami sudah hafalkan dengan baik kisah ini sebaik merapalkan Pancasila dari sila pertama sampai selesai bahkan saat sedang buang hajat.

 Kisah pembangunan Pariwisata di Indonesia dengan hotel-hotelnya sering setarikan nafas kisah perlawanan dan perampasan antara pemerintah melawan rakyat kecil, apalagi pariwisata dengan label super premium.

Salah satu contoh kecil seperti yang terjadi pada pariwisata super premium di Labuan Bajo. Terakhir saya membaca tentang hutan di pinggir kota Labuan Bajo, sumber lahan tangkapan air warga telah diserahkan ke pengembang untuk membangun hotel. 

 Mungkin saja cerita ini belum terbersit sedikitpun ada di Maliana. Ingatan pada Maliana membawa saya pada ingatan akan Gleno, Ermera. Kini tempat itu adalah sebuah distrik lain di Timor Leste. Adik bungsu mama tinggal cukup lama di sana dan kakak sulung berkisah tentang pagi traumatis di jalan kota Ermera. Ia melihat mayat di tengah jalan tergeletak dan selanjutnya sepanjang liburan di Gleno, Ermera adalah kisah melihat mayat dan bunyi tembakan di jalan kota itu.

Pertama kali mendengar kata konflik untuk otak seukuran anak SD adalah ketika adiknya mama harus mengungsi dari Dili menuju Soe, salah satu kabupaten di Provinsi NTT. "Nusa Tidak Tentu, Nanti Tuhan Tolong, berikut narasi negatif ini cepat-cepat diubah oleh kaum cerdik cendikia menjadi Nusa Tinggi Toleransi. Nusa tenggara Timur adalah akronim yang dimainkan dan nilai simboliknya berperang terus menerus. 

Saya bercerita pada hujan pagi ini. Ia manggut-manggut, saya lihat makin banyak dan makin deras cipratannya di jalan depan rumah. Maliana mungkin adalah tempat terbalik  yang bisa dipetakan dalam kepala untuk menarasikan pariwisata Indonesia. Seringkali Pariwisata Indonesia adalah Tempat di mana proyek pariwisata kaum oligarki yang mendompleng negara dengan slogan "bangun bersama maju semua" dibanting sesuka hati menuju " bangun bersama nikmat sendiri"

Hujan pagi ini makin deras, telinga saya seperti mendengar ia memainkan lagu perpisahannya Celene Dion, My Heart Will Go On. Bagian ini mengingatkan saya pada istri yang sedang berkuliah. Kami berjauhan tapi untuk sesaat saja.

Malam-malam bersama istri banyak dihabiskan dengan cerita istri tentang visi keseniannya. Ia Gandrung dengan pertunjukan. Kemarin ia berkabar " belum ada premis". Premis untuk mahasiswa magis(ter)  di kampusnya semacam inti karya yang bisa meledakkan panggung pertunjukan. Semisal menonton kartun Doraemon. Premis adalah hadirnya tokoh Doraemon yang siap membantu Nobita si anak dengan IQ dibawah standar jika tidak dibilang dungu.

Maliana dengan ketiadaan hotel adalah premis menarik dari sebuah negara kecil yang baru saja merdeka. Apa yang sedang dibangun di sana? Seperti apa wujud pariwisata, pertukaran pengetahuan dan kebudayaan yang coba dibangun di sana? Apakah sama dengan visi pembangunan pariwisata Indonesia, "Viral dahulu bingung kemudian" atau jargon " menciptakan 10 Bali Baru" yang akhirnya mencelakakan warga sendiri.

Saya menanti cerita sahabat  yang malam ini sedang menginap di rumah warga. Saya berkisah pada hujan pagi ini. Maliana adalah juga soal pemetaan visi. Adik ipar saya selalu bercerita tentang bagaimana pemetaan kawasan menjadi amat penting akhir-akhir ini dalam percakapan kebudayaan. Maliana akan terhubung dengan Indonesia, seperti saya akan selamanya terhubung dengan istri. Atau saya dan Istri akan terhubung dengan sahabat kami (yang malam ini mungkin sedang terlelap di rumah warga) di Maliana.

Hujan sudah lama pamit, menyisahkan rintikan kecil. Pagi ini saya banyak berpikir tentang visi atau premis.  Visi atau premis  bisa berarti motor penggerak sekaligus kompas penunjuk arah.

Seperti pembahasan terakhir malam tadi sebelum terlelap. Saya dan istri menghabiskan waktu berdiskusi tentang akan kemana keluarga baru kami ini. Visi tentang studi bisa saja mudah untuk orang tertentu tapi bisa saja menjadi amat rumit untuk orang yang lain. Pemilihan tempat studi, di dalam negeri atau luar negeri. Orang tua yang sudah beranjak sepuh, daya tahan tubuh mereka menurun dan semua percakapan tentang janji awal namun juga kesempatan yang sedang terbuka lebar.  Atau percakapan tentang jargon yang hilir mudik masuk di kepala soal "kesempatan emas tak datang dua kali" 

Kisah percakapan semalam dan  Cerita Maliana menawarkan  sesuatu yang menarik untuk dibaca bahkan dalam konteks personal.  Janji lama dan kesempatan seperti sisi yang saling mengoreksi sekaligus meniadakan. Menyakitkan sekaligus menyiratkan harapan. Bisa saja Maliana yang tenang, suatu saat akan menjadi kota pariwisata dengan kisah-kisah pilunya, atau sebaliknya memantulkan pembelajaran baru untuk konsep kota yang ramah warga.

Bisa saja saya yang berniat kuliah di Indonesia tiba-tiba mendapat durian runtuh, kesempatan menimba ilmu di luar negeri di kampus terbaik dunia.  Bisa saja rencana studi di awal, janji studi bersama istri, keponakan dan teman-teman, lalu berubah  mengecewakan juga menyakitkan karena ada kesempatan baru tentang studi di luar negeri pada kampus-kampus terbaik dunia.

Hal lain adalah pikiran tentang  ada tradisi di Timur yang berlaku tentang janji yang sudah dibuat dan ditawarkan mesti dipatuhi. Ada ketakutan apakah saat orang tua pergi dari dunia, akan mudah untuk mengantar mereka, mengingat jarak tempuh yang jauh. Ada banyak ingatan dan segudang catatan kesedihan yang muncul begitu saja. Ia muncul seperti sisi gelap dan terang di saat bersamaan.

Saya teringat pada cerita sahabat kami akan  Maliana. Tak ada Hotel di Maliana bukan berarti tak akan ada hotel di sana.

Saya menanti oleh-oleh cerita sahabat kami tentang pemetaan kawasan dari sisi budaya. Semoga cerita pilu Indonesia bisa diantisipasi.

 Saat berpikir keras tentang dimana tempat yang pas untuk melanjutkan studi. Saya seperti merasakan adanya kesedihan. Apakah ini yang sedang dibayangkan oleh para konseptor budaya di Maliana?

Memenuhi janji dan melihat kesempatan seperti memunculkan perasaan tertentu di dalam hati.

Keterhubungan, janji, ikrar juga peluang dan kesempatan membuat hidup ini penting dipikirkan secara serius sekaligus ditimbang dengan seksama. Satu rencana kecil semisal tempat studi, lamanya waktu studi serta jarak saja perlu dipikirkan masak-masak. Begitu pula dengan pilihan premis pertunjukan Seperti siapa yang akan mendapat gesekan dari pilihan-pilihan ini, janji apa yang pernah dibuat dan konsekuensi apa yang akan diterima. Jika hal-hal kecil saja mesti serius dipikirkan apalagi membayangkan tentang lanskap kota seperti Maliana.

Melihat Maliana, memahami pencarian premis, dan memutuskan suatu rencana penting seperti tiga tema yang datang bersamaan pagi ini. Semua tema ini hadir begitu saja seperti hujan pagi ini yang datang dan pergi sesuka hatinya. Saya belum menemukan jawaban apapun karena tak ada lagi hujan yang menyimak. Perlahan saya bangkit berdiri, masuk ke kamar untuk meneruskan tidur yang terpotong. 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Johanes Marno Nigha

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler