x

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Selasa, 19 Desember 2023 11:49 WIB

Menafsir Kegamangan Politik PDIP dan Ganjar-Mahfud

Mengapa PDIP dan partai-partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud seperti kehilangan cara bertarung all out memenangi kontestasi? Mestinya PDIP dan koalisi memgambil posisi lugas. PDIP tak perlu merendahkan diri dengan “ngemis-ngemis” dukungan Jokowi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Limbung. Inilah kondisi PDIP sejak kepastian bahwa Joko Widodo (Jokowi) akhirnya bersama dan mendukung pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Hal itu tidak bisa lagi dibantah dengan cara apapun, oleh siapapun.

Hari-hari kemudian dalam perjalanan menapaki kontestasi Pilpres, situasi ini dengan sendirinya memengaruhi performa pasangan Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP bersama partai-partai koalisinya.

Pasangan Ganjar-Mahfud nampak gamang menghadapi fakta politik elektoral, bahwa Jokowi benar-benar sudah berada di kubu rival. Dan efek elektoralnya mulai terasa dalam beberapa pekan terakhir berupa menurunnya angka elektabilitas Ganjar-Mahfud berdasarkan temuan sejumlah lembaga survei.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa hari terakhir, sejumlah elit PDIP mencoba menetralisir situasi melalui pernyataan-pernyataan bahwa Jokowi seakan masih mendukung Ganjar-Mahfud. Salah satunya diungkapkan Ketua DPP PDI Perjuangan Said Abdullah yang mengatakan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud merupakan penerus ideologis Presiden RI Joko Widodo (antaranews.com, 12/12). Sekretaris TPN Ganjar-Mahfud sekaligus Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto bahkan meyakini Jokowi akan membantu pemenangan capresnya di Pilpres 2024 (tribuntrends.com, 17/12).

Tentu saja, klaim-klaim sepihak itu dengan lugas dan mudah di-counter Tim Pemenangan Prabowo-Gibran. Publik sendiri nampaknya sudah selesai dengan urusan saling klaim dukungan Jokowi antara Paslon Ganjar-Mahfud dan Prabow-Gibran ini.

Hanya orang tua bodoh saja yang tidak akan memberikan dukungan penuh kepada anaknya yang sedang bertarung di medan sengit kontestasi. Apalagi ini bukan kontestasi biasa, bukan lomba balap karung atau hafalan nama-nama ikan. Ini kontestasi merebut posisi politik tertinggi di republik ini. Jadi, imposible Jokowi mendukung Ganjar-Mahfud dan membiarkan putranya bertarung sendirian.  

 

Mengapa DPIP dan Koalisinya Gamang?

Lantas mengapa PDIP dan partai-partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud nampak gamang, dan seperti kehilangan cara untuk bertarung all out memenangi kontestasi?

Bukti kegamangan ini terkonfirmasi melalui klaim-klaim sepihak dukungan Jokowi pada Ganjar-Mahfud yang masih terus saja dilakukan. Padahal di sisi lain, bahkan Megawati sendiri sudah sempat marah dalam suatu acara internal Tim Pemenangan Ganjar-Mahfud beberapa waktu lalu. Suatu kemarahan yang jelas-jelas diarahkan kepada Jokowi. Lihat artikel saya, “Pesan Moral Kemarahan Megawati” (Kompasiana edisi 30 November 2023).

Sementara itu, publik banyak yang melihat manuver-manuver klaim sepihak itu justru merendahkan dignity, harga diri, harkat dan martabat PDIP sebagai partai terbesar saat ini. Se-takberdaya inikah PDIP? Bagaimana membaca dan menafsirkan kegamangan ini?

Capaian pemerintahan saat ini

Ada tiga kemungkinan argumen yang melatarbelakangi mengapa PDIP dan partai-partai koalisi pendukung Ganjar-Mahfud mengalami kegamangan akut menghadapi kontestasi Pilpres yang kian mendekati puncak.

Pertama, PDIP (dalam konteks argumen ini partai koalisinya tidak memiliki arti apapun untuk disertakan) berpikir bahwa capaian-capaian program pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang telah dirasakan oleh rakyat sejatinya merupakan program milik PDIP. Setidaknya program-program itu lebih banyak dipersiapkan dan didesain oleh PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi-Ma’ruf di Pemilu 2019.

Oleh sebab itu sangat bisa difahami jika kemudian PDIP merasa lebih berhak atas capaian-capaian itu, lebih berhak pula atas posisi Jokowi dan dukungan politik elektoralnya di Pemilu 2024 sebagai momentum transisi untuk melanjutkan capaian-capaian program itu.

Argumen itu semakin kuat jika variabel relasi PDIP dan karir politik Jokowi disertakan. Dalam pikiran PDIP, sejak posisi sebagai Walikota Solo, naik menjadi Gubernur DKI hingga memuncaki posisi politik di republik ini, Jokowi itu “bukan siapa-siapa” tanpa PDIP. Prabowo dan koalisi pendukungnya adalah aktor-aktor baru dalam perjalanan sejarah karir politik Jokowi.

Sialnya, saat ini semua capaian program pemerintahan Jokowi-Ma’ruf itu seolah menjadi milik kubu Prabowo-Gibran, dan dengan cerdik dimanfaatkan pasangan ini untuk meraih insentif elektoral bermodalkan dukungan Jokowi.

Arus deras suara pendukung Jokowi

Faktor kedua yang memicu kegamangan PDIP dan partai koalisi pendukung  kubu Ganjar-Mahfud nampaknya tidak lepas dari hasil pemetaan potensi suara oleh lembaga-lembaga survei dalam beberapa pekan terakhir.

PDIP (dan koalisinya) nampaknya percaya betul dengan hasil pemetaan suara oleh lembaga-lembaga survei. Bahwa tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masih cukup tinggi. Dan ini dipercaya bakal berimbas pada mengarus derasnya suara-suara pendukung Jokowi, yang sebagiannya merupakan pemilih tradisional PDIP itu, ke kubu Prabowo-Gibran.

Dalam situasi demikian elit PDIP nampaknya masih berpikir lebih baik membidik dan fokus pada potensi lumbung suara tradisional mereka yang beririsan dengan suara pendukung Jokowi ketimbang potensi lumbung suara-suara bimbang (undecided voters). Apalagi potensi lumbung suara-suara yang diperkirakan memerupakan pemilih Anies-Cak Imin.

Itu sebabnya, meski dalam posisi politik elektoral Jokowi yang sudah nyata-nyata berada di kubu Prabowo-Gibran, tim Ganjar-Mahfud masih terus menarasikan klaim dukungan Jokowi kepada mereka. Agak menyedihkan sebetulnya setiap kali saya mencoba “ber-empati” sebagai pemilih Ganjar-Mahfud. Sebegini cemenkah jagoan-jagoan saya?

Hemat saya, kegamangan itu tidak perlu terjadi jika PDIP dan koalisinya mau memgambil posisi yang lugas dan tegas. Demikian juga kesan PDIP merendahkan harga dirinya sendiri sebagai partai besar dengan cara “ngemis-ngemis” dukungan Jokowi tidak perlu muncul di benak publik, terutama di basis akar rumputnya.

Caranya sederhana saja. Pertama, siapkan dan listing sedetail mungkin program-program pemerintahan Jokowi-Ma’ruf; petakan mana program yang didesain PDIP dan berhasil, mana yang bukan merupakan program rancangan PDIP dan terbukti gagal semisal mega proyek food estate itu. Kedua, tarik mundur semua kadernya yang masih berada di kabinet sebagai bentuk berakhirnya dukungan PDIP terhadap pemerintahan saat ini.

Dengan cara demikian, kegamangan mestinya selesai. Ganjar-Mahfud, yang dari kualifikasi (kapasitas, pengalaman, dan kompetensi) jauh berada di atas Prabowo-Gibran bisa bertarung dengan lugas, tidak terus menerus dibebani keraguan.

Resikonya memang berat karena secara diametral dan terbuka harus berhadapan langsung dengan Jokowi. Tetapi, bukankah faktanya saat ini juga sudah saling berhadapan? Dalam debat pertama tempo hari saja misalnya, Ganjar terang-terangan menyoal putusan MK Nomor 90.

Tidak berani melawan Anies-Cak Imin

Faktor ketiga yang memicu kebimbangan PDIP dan koalisi pendukung Ganjar-Mahfud nampaknya karena mereka tidak cukup berani head to head melawan Anies-Cak Imin dalam membidik potensi suara.

Secara hipotetik, pemilih Anies-Cak Imin adalah mereka yang pada Pemilu 2019 merupakan pemilih Prabowo-Sandiaga yang kecewa setelah Prabowo memilih bergabung dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Potensi lumbung suara lainnya berasal dari pemilih Anies-Sandiaga pada Pilkada DKI 2017 (khusus pemilih Jakarta tentu saja) serta publik yang simpati pada Anies (dan ini tersebar di berbagai wilayah luar Jakarta) pada perhelatan Pilkada DKI 2017.

Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir pada segmen floating mass yang literate secara politik juga telah tumbuh kelompok pemilih yang tidak menyukai PDIP sekaligus Jokowi. Dan ini diperkirakan bakal menjadi pemilih Anies-Cak Imin di Pemilu 2024.  

Sekarang, selain kader dan anggota PKS yang dikenal fanatik dan militan dalam mematuhi dan menjalankan kebijakan partainya. Ditambah dengan  soliditas kader dan anggota Nasdem, dengan terpilihnya Cak Imin menjadi pendamping Anies, di atas kertas pemilih paslon ini bakal bertambah.

Dengan peta potensi lumbung-lumbung suara dan potret tipikal pemilih Anies-Cak Imin yang demikian, memang bisa difahami jiak kemudian Ganjar-Mahfud menjadi semakin gamang. Bertarung dengan sekuat apapun, mereka berpikir nampaknya tidak akan mudah masuk ke area lumbung-lumbung Anies-Cak Imin untuk merebut suara-suara potensialnya.

Hari pencoblosan tinggal dalam hitungan pekan. Ganjar-Mahfud tentu tidak ingin menjadi pecundang. Tetapi jika faktor-faktor pemicu kegamangan PDIP dan partai koalisinya dalam mengambil posisi politik elektoral ditambah keraguan untuk head to head melawan Anies-Cak Imin ini masih dipertahankan, seperti diisyaratkan sejumlah lembaga survei, Ganjar-Mahfud boleh jadi memang akan finish di urutan ketiga pada putara pertama Pilpres.   

 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler