x

Sumber : Gramedia

Iklan

Ardz

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Januari 2024

Rabu, 3 Januari 2024 07:05 WIB

Sajak dalam Kumpulan Puisi Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono

Puisi ini menggambarkan tentang jarak, perubahan, dan pencarian makna dalam kehidupan. Sajak tersebut menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif dalam menggambarkan pemikiran kompleks.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap karya puisi yang diciptakan oleh seorang penyair pasti memiliki keunikan tersendiri serta memiliki tujuan tertentu dalam membuat puisinya. Dalam artikel ini penulis membahas tentang beberapa sajak yang ada dalam kumpulan puisi Melipat Jarak karya Sapardi Djoko Damono. Kumpulan puisi Melipat Jarak karya Sapardi Djoko Damono diterbitkan pada tahun 2015.

Diterbitkan buku kumpulan puisi ini dalam rangka menandai 75 tahun lahirnya Sapardi Djoko Damono yang berisi tujuh puluh lima sajak yang dipilih dan diambil dari buku-buku kumpulan puisi yang terbit antara 1995 sampai 2015 yakni Arloji, Ayat-ayat Api, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Mata Jendela, Kolam, Namaku Sita, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, dan Babad Batu. Jika dibandingkan dengan kumpulan puisi lainnya, serpihan sajak–sajak dari Melipat Jarak menggambarkan tentang karakter dan kepenyairannya Sapardi Djoko Damono.

Sajak-sajak yang ada di kumpulan puisi Melipat Jarak memiliki tema seputar peristiwa aktual, kritik sosial, maupun kehidupan manusia. Sebelum membahas tentang tema-tema tersebut terdapat sajak “Melipat Jarak” yang sama dengan judul buku kumpulan puisi ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Melipat Jarak

/1/

jarak antara kota kelahiran

dan tempatnya tinggal sekarang

dilipatnya dalam salah satu sudut

yang senantiasa berubah posisi

dalam benaknya

 

/2/

jarak itu pun melengkung

seperti tanda tanya

 

/3/

buru-memburu dengan jawabannya

 

Sajak puisi Melipat Jarak terdiri dari tiga bagian puisi pendek. Puisi ini menggambarkan tentang jarak, perubahan, dan pencarian makna dalam kehidupan. Sajak tersebut menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif dalam menggambarkan pemikiran kompleks. Dalam bagian pertama, penyair menggambarkan dirinya melipat jarak antara kota kelahirannya dan tempat tinggalnya sekarang. Kata “Melipat” merupakan sebuah representasi dari pemikiran dan perasaan dalam benak penyair. Jarak bukan hanya sekedar jarak fisik, tetapi juga membawa makna tentang perjalanan waktu, kehidupan, dan kenanganya. Dengan melipat jarak dalam salah satu sudut pemikirannya, penyair menciptakan gambaran transformasi dan pergeseran pandangan terhadap waktu yang lalu dan sekarang.

Dalam bagian kedua puisi, penyair menggambarkan jarak yang “melengkung seperti tanda tanya”. Dalam gambaran ini, jarak menjadi suatu entitas yang lebih fleksibel dan dapat berubah-ubah. Penyair menggunakan perumpamaan “seperti tanda tanya” untuk menggambarkan keraguan atau ketidakpastian yang sering muncul saat memikirkan jarak. Jarak bukanlah sesuatu yang kaku dan pasti, melainkan sesuatu yang dapat berubah dan membawa pertanyaan.

Dalam bagian tiga, Penyair menyiratkan perasaan mendesak atau kegelisahan saat berusaha menemukan jawaban terhadap konsep jarak. Dalam kata “buru-memburu” menggambarkan keinginan dan dorongan untuk menemukan makna dari jarak. Penyair mencari pemahaman tentang perbedaan antara masa lalu dan sekarang, serta makna sejati dari perubahan jarak dalam pikirannya.

Kumpulan puisi Melipat Jarak yang menonjolkan tentang sisi kehidupan manusia dan kritik sosial adalah “Dongeng Marsinah”. Disini penyair menyampaikan pesan tentang kritik sosial yang dimana Marsinah, sebagai seorang pekerja di pabrik arloji, menjadi perwakilan dari kisah penderitaan dan ketidakadilan yang harus dialaminya demi kelangsungan hidup.

 

Marsinah itu arloji sejati,

tak lelah berdetak memintal kefanaan

yang abadi:

“kami ini tak banyak kehendak,

sekedar hidup layak,

sebutir nasi.”

 

Seakan-akan tentang penderitaan yang belum tuntas, Marsinah harus menghadapi konflik lain yang membuat kepalanya ditetak, selangkangnya diacak-acak, dan tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan. Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi.’ Diakhir sajak pemyair mengajak untuk mengenang Marsinah, atau orang-orang yang menjadi korban kekejaman maupun mengalami penderitaan yang tidak adil di tangan kelompok atau komunitas mereka sendiri. Sajak lain juga mengandung nada sindiran tentang perilaku dan keadaan manusia secara umum yang tertuang dalam sajak “Tentang Mahasiswa Yang Mati, 1996”. Sajak ini menggambarkan seorang pembaca koran yang hidup normal tiba-tiba merasa empati tentang seorang mahasiswa yang kematiannya tersiar di koran dan tak dikenalnya.

 

Dan tiba-tiba saja, begitu saja, hari itu ia mati;

begitu berita yang ada di koran pagi ini—

entah kenapa aku mencintainya

karena itu.

 

Sungguh ironis, setelah rasa simpati muncul karena berita tersebut, tidak berapa lama kemudian, dia kehilangan kepedulian terhadap identitas mahasiswa yang mati.

 

Siapa namanya, mungkin disebut di koran,

tapi aku tak ingat lagi,

dan mungkin juga tak perlu peduli.

 

Tidak dapat disangkal bahwa situasi serupa seringkali terjadi dalam masyarakat. Meluasnya informasi tentang kejahatan yang menyoroti korban selalu membuat kita merasa simpati, tetapi seringkali keterlibatan itu hanya sebatas emosi tanpa tindakan konkret untuk menunjukkan kepedulian terhadap sesama.

            Selain itu, terdapat salah satu jenis sajak yang mengambil tema atas cerita rakyat ataupun legenda yang telah dikenal luas oleh masyarakat Nusantara. Contoh sajaknya berjudul

“Sita”, sebuah cukilan puisi drama “Namaku Sita” yang terbit pada tahun 2012. Sajak ini mengisahkan satu episode dari kitab kuno Ramayana. Sita bukanlah seorang wanita yang pasrah melangkah ke dalam api demi membuktikan kesuciannya kepada calon suaminya, Rama, yang setelah disekap oleh Rahwana. Sita yang tergambar dalam interpretasi ini dijelaskan sebagai sosok yang penuh dengan kecerdikan dan tipu daya, serta penuh perlawanan meskipun hanya terjadi dalam batin, sebagaimana yang terlihat pada bagian awal puisi.

 

Kusaksikan Rama menundukkan kepala

ketika aku berjalan mengitarinya

sebelum terjun ke api

yang disiapkan Laksmana –

aku yang memerintahkannya

agar bergetar sinar mata

si pencemburu itu

menyaksikan permainanku.

 

Meski tetap menjalani proses pembuktian kesucian, tampaknya Sita paham tentang keadaan dirinya dan hakikat upacara yang pada akhirnya berkat Dewa Api Agni membuat keputusan untuk tidak menghanguskan tubuh Sita dengan api ritual yang menyala. Namun, tentu saja, pertarungan batin yang dialaminya tidak pernah diceritakan dalam kitab atau catatan sejarah mana pun.

Sebagai orang awam dalam membaca puisi dapat menyetujui bahwa puisi yang baik adalah puisi yang bercerita, menceritakan suatu kisah ataupun pengalaman, tidak hanya tentang isi dari pikiran penyairnya tetapi mampu mengisahkan sesuatu dan dapat diterjemahkan kembali sajak-sajaknya oleh pembaca dan menjadi relevan. Kumpulan sajak Melipat Jarak karya Sapardi Djoko Damono merupakan sebuah karya yang memiliki nilai estetik dan filosofis yang tinggi. Kumpulan puisi Melipat Jarak berhasil menyajikan keindahan kata-kata yang menyentuh hati pembaca  Puisi ini juga menawarkan ruang bagi refleksi dan introspeksi bagi pembaca yang ingin memahami jarak dalam kehidupan mereka.

Ikuti tulisan menarik Ardz lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu