x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 11 Januari 2024 15:46 WIB

Mencegah Para Kurawa Berkuasa

Sudah kewajiban rakyat menjadikan Pemilu 2024 sebagai ajang memerangi dan menghukum para elite berwatak Kurawa. Itu perlu untuk menyelamatkan demokrasi kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna daripada ciptaan-Nya yang lain. Manusia dianugerahi akal budi dan pikiran sehingga mampu membedakan yang baik dan buruk. Mereka mampu membedakan antara tokoh-tokoh publik yang sesungguhnya mukhlis dengan yang bertopeng demi menutupi keburukannya. Dengan segala kesempurnaan dan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, mereka memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku, perbuatan dan pilihannya.

Pemilu 2024 menjadi momentum paling penting bagi sejarah bangsa Indonesia, sekaligus ajang membuktikan “kesempurnaan” masyarakatnya. Sebab, berita-berita tentang pemilu ini dihiasi dengan berbagai macam berita yang sangat memprihatinkan. Dimulai dari rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melahirkan kandidat cawapres cacat etik, serangkaian pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur negara yang seharusnya netral, arogansi terhadap aturan hukum, intimidasi dan kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang dinilai “berseberangan”, hingga sikap amoral yang dipertontonkan secara tanpa malu. Serangkaian fenomena tersebut membuat kita terkejut, menyangkal, sedih, bahkan cemas.

Menurut filsuf politik Universitas Yale, Erica Benner (2017), ujung kematian demokrasi juga terlihat dari robohnya supremasi hukum yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi. Hal tersebut dilakukan dengan adanya intervensi secara agresif untuk kepentingan politik penguasa, tanpa pertimbangan moral dan etika kenegaraan. Akibatnya, upaya untuk mengembalikan supremasi hukum dirasa sulit, khususnya di tengah lingkup birokrasi yang sarat akan praktik KKN. Parahnya lagi, tindakan tersebut ditopang oleh para hakim sebagai penegak hukum dan oknum politikus oportunis yang hanya mengincar kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat ini, Tuhan telah membantu kita dengan mengungkap wajah-wajah asli dari para figur publik. Mereka yang selama ini kita lihat sebagai cerminan dari tokoh Pandawa, yang lekat dengan karakter bijaksana, jujur, sopan, kesatria, amanah, dan tahu balas budi (Tempo.co, 25/9/2022). Tetapi, pada kenyataannya mereka adalah cerminan dari tokoh Kurawa yang lekat dengan karakter buruk, jelek, jahat, dan tidak pantas dicontoh; meski masih ada sedikit sisi positifnya (2007).

Jika dulu pernah ada sosok yang digambarkan sebagai Arjuna yang bijaksana, pandai, sopan, dan suka melindungi yang lemah (Kompas.com, 1/6/2023). Namun, kenyataannya ia adalah sosok Dursasana yang angkuh, suka menghina orang lain, dan suka bersikap sewenang-wenangnya (Detik Jateng, 26/5/2023 & Wikipedia).

Apabila dulu ada figur publik yang sering digambarkan sebagai kesatria yang berpendirian teguh, gagah berani, patuh dan jujur, serta memiliki keteguhan sikap yang benar tetaplah benar dan yang salah tetaplah salah, bagaikan sosok Bima (ISI Yogyakarta, 2018). Tetapi kenyataannya ia adalah sosok Duryudana yang bengis, suka menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya, mudah terhasut, lemah pendirian, dan cenderung sombong dengan kekuatan kelompoknya sehingga berani mengobarkan perang (Detik Jateng, 26/5/2023).

Serangkaian fenomena tersebut telah mengantarkan Pemilu 2024 menjadi pesta para Kurawa, sekaligus ajang pertaruhan demokrasi. Ia bisa meregang nyawa secara tragis, atau selamat dari kematian. Namun, rangkaian politik menuju pemilu justru ditandai dengan kemerosotan demokrasi yang bergerak menuju ke ujung kematian. Sampai-sampai, tahun politik ini bisa disebut sebagai annus horribilis, yaitu tahun yang mengerikan (Tempo, 31/12/2023).

Sang Ilahi juga telah membuka semua kebobrokan mereka ke publik. Perihal tersebut didukung dengan adanya teknologi mumpuni, sehingga masyarakat mampu mengakses informasi di sosial media dengan sangat mudah. Berkat kemajuan teknologi dan informasi itulah, masyarakat dengan mudah mengetahui segala peristiwa yang terjadi, mengklarifikasi kebenaran sebuah berita, hingga melihat rekam jejak dari setiap paslon. Walau begitu, pada akhirnya semua kembali ke tangan dan hati nurani dari kita masing-masing.

Kita dapat merasa jemawa, bahwa masyarakat Indonesia kian hari semakin cerdas dan kritis berkat perkembangan teknologi dan informasi. Tetapi kita juga harus sadar, bahwa masih ada banyak dari saudara-saudari kita yang minim literasi dan rasa ingin tahu, sehingga mereka menjadi “gagal paham”. Alhasil, banyak dari mereka menjadi korban dari narasi yang menyesatkan, bergantung pada prinsip populis, terjebak oleh sandiwara playing victim, atau tertipu oleh pencitraan visual yang dangkal. Selain itu, masih ada juga dari saudara-saudari kita yang “diminta” untuk memilih suatu paslon, dengan diiming-imingi bansos (bantuan sosial) dan BLT (bantuan langsung tunai) yang dibingkai seolah itu hadiah langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan memakai uang pribadinya (Liputan 6, 4/1/2024). 

Apabila kita mengutip dari buku “Manusia Indonesia” (1977) karya Mochtar Lubis, salah satu ciri dari sebagian masyarakat Indonesia adalah hipokrit, dan hal tersebut telah berakar jauh sebelum zaman kolonial bangsa Eropa, di mana tuan feodal merajalela dengan menindas dan memeras rakyat di negeri ini. Walhasil, demi melindungi diri dan menghindari hukuman berat, maka masyarakat terpaksa “menggadai harga diri” dengan harus “memasang topeng” dan tunduk terhadap tuan feodal, raja, bupati, demang, dan sebagainya, meski bertentangan dengan nilai etika, logika dan hati nurani mereka. Di masa kini, kita lebih mengenalnya sebagai ABS (Asal Bapak Senang).

Akibatnya, sifat hipokrit tersebut semakin tertanam dan mengakar dalam diri masyarakat Indonesia, seiring berjalannya waktu. Mereka menjadi pandai menyembunyikan kata hati yang sebenarnya, perasaan yang sebenarnya, pikiran yang sebenarnya, dan keyakinan yang sesungguhnya. Perihal tersebut membuat masyarakat Indonesia terlihat lemah untuk memperjuangkan keyakinannya. Terlebih lagi, dengan adanya intimidasi dan iming-iming, mereka menjadi gampang goyah dengan alibi ABS agar dapat menyelamatkan diri. Sampai hari ini, sifat tersebut masih berlaku di dalam diri masyarakat Indonesia, meski banyak juga yang sudah meninggalkannya. 

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita sering melihat beberapa oknum figur publik dari berbagai macam latar belakang yang rela “melacurkan” diri, demi mengejar suatu jabatan atau perihal duniawi. Meski hal itu mengingkari idealisme mereka.

Kita boleh berharap, bahwa akan ada tokoh-tokoh dari penegak hukum yang berani menindak, sekaligus mengusut secara tuntas dan adil terhadap para oknum yang melakukan pelanggaran etik maupun hukum. Namun, karena situasi kita berada di titik terendah terhadap institusi hukum, maka rasanya sulit bagi harapan tersebut agar dapat terwujud.

Di luar dari siapapun yang kita dukung, pasti kita semua memiliki harapan yang sama, yakni kemajuan atau kemakmuran dari bangsa ini di masa yang akan datang. Agar dapat tercapai, maka sudah sangat jelas bahwa kita tidak boleh  salah untuk memilih pemimpin. Selain itu, kita juga wajib mengawal proses berjalannya pemilu, mengedukasi masyarakat atau menyuarakan kebenaran, dan terpenting adalah menghindari adanya pengkultusan individu. 

Agar tidak salah memilih pemimpin, maka kita harus melakukan riset yang dalam akan visi-misi dan rekam jejaknya (tidak punya dosa masa lalu, tidak pernah berafiliasi dengan organisasi terlarang, dan berintegritas). Selebihnya, kita kembalikan pada  masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan.

Apabila timbul rasa bimbang karena merasa tiap paslon tidak ada yang sempurna, maka kita bisa mengingat pernyataan dari seorang dosen dan guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF), Profesor Dr. Frans Magnis Suseno SJ (TribunNews, 5/3/2014). Ia mengatakan bahwa kita harus memilih yang kurang buruk di antara yang buruk. Sebab pemilu bukan hanya sekedar memilih yang terbaik, tapi juga mencegah yang terburuk berkuasa.

Mungkin pernyataan tersebut dinilai tendensius, karena dianggap sebagai sikap anti terhadap suatu paslon tertentu (Geotimes, 23/1/2019). Akan tetapi, jika membuka mata kita terhadap serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan ini, itu sudah sangat tendensius dan bahkan membahayakan demokrasi kita. Sampai-sampai banyak dari pakar, pengamat, akademisi hingga seniman yang menilai Pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk sekaligus paling mengkhawatirkan pasca reformasi.

Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat Indonesia dalam berpartisipasi menjaga demokrasi. Dengan mencegah terpilihnya pemimpin tidak berkualitas dan cacat etika serta memiliki rekam sejarah yang buruk, maka secara langsung kita sudah memulai perbaikan dari tahap awal. Sebab, hal ini dirasa dapat memutus rantai bencana yang mengalir ke masa yang mendatang.

Vox populi, vox dei!

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu