x

Iklan

Wahyu Umattulloh AL

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 Maret 2022

Selasa, 30 Januari 2024 10:20 WIB

Obralan Gagasan Paslon Menjadi Sarang Konsumen Masyarakat

Tulisan ini membahas mengenai konsumerisme masyarakat akhir-akhir ini. Mereka bukan hanya mengonsumsi barang-barang dan sumber protein, melainkan komunikasi dan obralan gagasan tuan-tuan akan kita lahap demi menjalankan konsep pemilu yang demokratis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Konsumerisme kami tidak hanya makanan dan baju,
melainkan komunikasi dan obralan gagasan tuan-tuan
akan kami lahap demi menjalankan konsep pemilu".

 

     Kontestasi pemilu tengah dimulai, saatnya semua paslon berubah mode mengemis meminta-minta kepada masyarakat. Pertanda demokrasi masih ada dan terus tumbuh sampai kapan-pun, terkecuali mereka-mereka yang mencalonkan diri menjadi pemimpin tidak lagi mengemis kepada rakyat. Apabila perubahan mode sebelumnya menjadi mode “ngantong” (Meminta jalan pintas) kepada penguasa, atau kepada Kepala Negara sekalipun. Hal tersebut menjadi pertanda jikalau demokrasi mulai tidak berfungsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

    Setiap paslon selalu mengharapkan memperoleh suara paling banyak di setiap daerah melalui gagasan yang dimilikinya, seperti gerakan Indonesia perubahan, Indonesia emas dengan keberlanjutan program Presiden sebelumnya, dan Indonesia bebas KKN. Semua gagasan dikampanyekan melalui aksi turun ke jalan, turun ke pelosok-pelosok daerah, dan menyebarkan semua gagasan untuk membangun ketegasan bangsa serta ketangkasan rakyat dalam menjalani hidup di negaranya sendiri. Strategi gagasan yang diberikan kepada ruang publik dilakukan dengan model komunikasi langsung di depan rakyat, atau berkomunikasi melalui kecanggihan teknologi, live tiktok, youtube,  dan iklan TV.

     Kita pahami bersama saat ini semua media masa sedang membahas atau membangun citra setiap paslon dengan berbagai narasi yang diberikan kepada khalayak umum. Di sisi lain, hampir semua informasi atau berita disajikan melalui etalasE digital. Etalase tersebut secara tidak langsung memberikan suguhan untuk dikonsumsi oleh setiap individu, sehingga saat ini dunia obrolan gagasan paslon terletak di khasanah homo digitalis.

      Homo digitalis menurut Budi Hardiman adalah manusia sebagai komponen media komunikasi. Setiap pengguna hanya dijadikan komponen mesin digital, yang dikendalikan oleh artificial untuk menguntungkan penguasa media. Saat ini kita amati bersama siapa yang menguasai media di Indonesia?, siapa yang mengendalikan media TV atau dunia maya untuk para paslon berorasi atau saling menjatuhkan pesaingnya?. Para paslon memiliki kepentingan berkomunikasi secara bebas melalui ruang publik agar aspirasinya dapat dikonsumsi dan direalisasikan untuk membangun kepentingan bersama. Namun saat ini obrolan gagasan mereka di distorsi dalam  kehidupan golongan masyarakat tertentu saja.

     Gagasan yang disuguhkan di media tersebut secara inheren telah kita konsumsi, sehingga opini kita atau cara pandang kita terhadap paslon direduksi menjadi pelayan kepentingan penguasa yang berakibat terjadinya penghancuran terhadap emansipatoris kolektif. Sering kita lihat para tim kemenangan  dan buzzer-buzzer paslon membagikan gambaran ambivalensi atau perasaan yang tidak sadar untuk saling bertentangan di media digital. Seperti menganggap bahwa paslon tertentu yang lebih pantas untuk memimpin sebuah negara ketimbang lainnya. Selain itu, mengarahkan untuk saling membenci satu sama lain akibat perbedaan memilih.

     Fenomena seperti itu memang selalu terjadi dari tahun ke tahun, di setiap kontestasi pemilu selalu terulang dengan model dan bentuk yang sama ketika membranding setiap paslon-paslon. Jika kita melirik konsep konsumsi milik Jean Paul Baudrillard. Konsumsi modern tidak hanya mengonsumsi barang untuk memenuhi kebutuhan, namun saat ini fokus konsumsi postmodern menjadi lebih luas yakni konsumsi non-fisik dan non-material.

   Konsumsi non-fisik dan non-material dapat berupa ide, ideologi, pemikiran, gagasan, jasa, dan hubungan antara manusia. Saat seseorang yang terlibat dalam psuedo ide atau gagasan orang lain, secara tidak langsung orang tersebut mengonsumsi setiap kata dan pernyataannya. Dalam pembahasan ini apabila kita elaborasikan dengan situasi pemilu saat ini. Setiap paslon berusaha membuat simulasi untuk membangun citranya melalui gagasan-gagasan yang mungkin nantinya tidak sesuai janjinya. Mereka menjadikan dunia digital dan narasi menjadi kebohongan atau kepalsuan semata, yang akan direduksi sebagai sebuah gagasan tanpa adanya pembuktian realitas, melalui rekam jejaknya selama menjadi pejabat atau hanya melalui gimmick-gimmick belaka.

    Hal itu akan kita konsumsi secara terus menerus di dalam dunia digital, algoritma digital akan terus menunjukan wacana-wacana yang kita konsumsi selama rekam jejak digitalisasi kita ada. Setiap gagasan atau ide paslon akan memengaruhi setiap wacana dan interkasi komunikasi masyarakat. Contoh apabila kita melihat salah satu chanel yang membahas dehumanisasi salah satu paslon, pasti disetiap jam dunia digital akan memberikan kode atau tanda kepada kita melalui format pembahasan yang sama seperti sebelumnya.

   Masyarakat mau tidak mau harus mengonsumsi semua gagasan paslon, sekalipun semua gagasan yang diutarakan tidak sesuai dengan khasanah keberlanjutan rakyat. Kita hanya diberikan pilihan (disajikan pilihan yang sudah ditetapkan), bukan memilih secara bebas dan luwes. Pilihan hanya direduksi oleh segolongan partai politik bukan ditentukan oleh rakyat sendiri. Dengan kata lain, pengarahan konteks keuntungan paslon lebih condong kepada si yang mengajukannya untuk maju menjadi seorang pemimpin.

   Betapa masifnya ruang-ruang publik sering kali dihancurkan oleh penguasa melalui powernya dalam mengendalikan berbagai tindakan komunikatif demi kepentingan kapital dan penguasa, lebih-lebih untuk membangun citra kepemimpinan. Membangun citra calon pemimpin dengan menjajakan berbagai macam gagasan agar dikonsumsi oleh masyarakat sebagai sebuah komoditi di dalam ruang publik. Manipulasi wacana yang di gaungkan oleh para paslon mampu mengarah terhadap bentuk wacana tidak objektif, sebagai instrumen kekuasaan. Manipulasi digunakan sebagai alat mempertahankan atau merancang strategi untuk mengejar kekuasaan politik.

    Mengapa wacana distorsi para paslon dan pendukungnya menjadi kekacauan di ruang-ruang pubik ?. Situasi seperti ini disebabkan oleh refleksi kondisi material dan dominasi kelompok. Tim kemenangan dan para paslon bekerja bukan hanya ide atau strategi pengetahuan, tetapi dorongan material untuk memegang alat kekuasaan. Mengingat politik kita padat akan bagi-bagi jabatan politik, sehingga mereka memanfaatkan kecanggihan digital sebagai ruang publik masyarakat dalam berinteraksi maupun mensublimasikan informasi kepada orang lain.

   Masyarakat sebenarnya memiliki dua cara kecenderungan dalam memahami dan mengonsumsi sebuah gagasan. Pertama masyarakat yang berpendapat bahwa sebuah informasi (gagasan paslon) yang kami konsumsi dapat dikendalikan atau dimanipulasi oleh pembuat informasi. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang pasif dan akan mudah didominasi oleh praktik kekuasaan. Kedua makna informasi (gagasan paslon) tidak dapat dikontrol karena masyarakat aktif membaca, menganalisis, menafsirkan, dan mengimplikasikan ke dalam realitas saat ini. Secara inheren masyarakat sebenarnya mampu menentang agar tidak mudah termakan gagasan nonsens (omong kosong), apabila menggunakan keaktifan berpikir tentang informasi gagasan yang mereka dapat dari manapun.

    Harapan terbesar kita hanya pandai-pandailah dalam mengonsumsi gagasan setiap ucapan paslon, sebab sistem pemilu mewajibkan kita bergulat di dalam kontes politik. Maka konsumsi pengetahuan dan informasi tidak boleh dilakukan secara charity (kemurahan hati), melainkan menggunakan konsep tauhid (Ke-Esaan Allah) yang menegaskan tidak terkooptasinya manusia dari sesuatu yang lain, termasuk materi atau demagogi gagasan, selain hanya kepada Tuhan. Sebaik-baiknya manusia sosial harus memunculkan kepantasan sosial daripada mengejar kekuasaan pragmatis.

   Pintar-pintarlah kita dalam membaca atau menganalisis dengan membuat kriteria menurut pandangan subjektif, sebab arah evolusi negara dimulai dari rakyat yang memilih. Mari kita mempunyai kriteria untuk menentukan arah evolusi negara, tidak sekedar mengonsumsi obralan gagasan paslon belaka, tetapi mari menjadi rakyat yang tidak murahan dengan memegang kriteria.

Jombang-Bareng, 17-01-24.

*Penulis:
Wahyu Umattulloh AL* 

Ikuti tulisan menarik Wahyu Umattulloh AL lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu