x

Cover buku Kepak Sayap Rasa: Kitab Puisi

Iklan

Yin Ude

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Januari 2022

Senin, 4 Maret 2024 12:30 WIB

Kitab Puisi dengan Kata Sebagai Wahyu

Resensi atas buku kumpulan puisi Kepak sayap Rasa: Kitab Puisi karya sastrawan Sumbawa Nusa Tenggara Barat A. Rahim Eltara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul buku: Kepak Sayap Rasa: Kitab Puisi

Penulis: Rahim Eltara

Kata pengantar: Ahmad Kekal Hamdani

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kendi Aksara

Tempat diterbitkan: Yogyakarta

Edisi: Cetakan Pertama, Juli 2011

Jumlah halaman: 142 hlm

Ukuran buku: 14 x 20 cm

ISBN: 978-602-99907-0-6

 

A. Rahim Eltara adalah penyair Sumbawa Nusa Tenggara Barat yang kiprahnya telah sampai pentas nasional. Ditunjukkan dengan –salah satunya- terdaftar dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia tahun 2017 dan 2018, yang diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi. Bukunya Kepak Sayap Rasa: Kitab Puisi ini merupakan salah satu dari 3 buku tunggal dan 98 buku antologi bersama penyair Indonesia yang telah ia hasilkan.[1]

Buku ini terdiri dari 101 sajak. Dibuka dengan Tradisi dan ditutup oleh Badai Tengah Malam.

Jika diklasifikasikan menurut tema, maka ke-100 satu sajak tersebut terbagi atas enam kelompok tema, yaitu keimanan, sosial, alam, budaya, tema pribadi dan eksistensi puisi.

Yang termasuk dalam kelompok tema keimanan, atau ke-Tuhan-an atau religi adalah sajak-sajak halaman 13, 14, 15, 16, 18, 22, 25, 34, 42, 43, 65, 66, 79, 81, 84, 87, 92, 93, 97, 102, 103, 109, 110, 111, 117, 119, 120, 122, 124 dan 129. Total jumlahnya 30 judul.

Dua puluh tiga sajak sosial ditemui pada halaman 20, 23, 24, 26, 29, 30, 32, 36, 44, 47, 49, 50, 56, 60, 72, 74, 75, 83, 100, 101, 104, 116 dan 125.

Sajak yang mewakili persentuhan batin A. Rahim dengan alam hanya 2 buah yaitu sajak halaman 46 dan 114.

Demikian pula sajak bertema budaya, yakni pada halaman 12 dan 27.

Yang terbanyak adalah sajak bertema pribadi atau sajak-sajak individual, yang mencapai 43 buah, tersebar di halaman 17, 21, 28, 35, 38, 40, 45, 51, 53, 54, 57, 58, 62, 64, 68, 70, 71, 76, 78, 80, 85, 86, 88, 90, 94, 95, 96, 98, 99, 105, 106, 108, 112, 113, 115, 118, 121, 123, 126, 127, 128, 130 dan 131.

Satu sajak yang memproklamirkan eksistensi puisi, sekaligus eksistensi A. Rahim sebagai penyair bertengger di halaman 19.

Seperti umumnya, sajak keimanan dalam buku ini berisi romantisme manusia dengan Sang Pencipta, penghambaan diri dan pengharapan, penghayatan atas suasana keseharian yang bermuatan religius, kesadaran akan akhirat, dosa, dan keinsafan akan kematian serta pertanggungjawaban yang mengikutinya.

Sajak bertema sosial merupakan hasil kontemplasi sang penyair atas fenomena-fenomena sosial. Ada sajak yang mendorong pembaca untuk berbuat bagi negeri, ada yang sarkastis menyentil kualitas guru, ada yang bicara tentang penyimpangan oleh penguasa dan aparatnya, ada pula yang menyesali perubahan zaman yang berdampak buruk pada kehidupan dan masa depan.

Rahim berasal dari sebuah desa kecil bernama Baru Tahan di Sumbawa. Sebagai orang yang lahir dan dihidupkan oleh alam desa ia pasti selalu akrab dengannya. Dan ia piawai menggambarkan wajah serta tabiat alam lewat sajak.

Demikian pula dengan sajak-sajak bertema budaya. Disinyalir kekentalan dan konservatisme budaya Sumbawa yang melingkupi hidupnya telah mendorongnya untuk menulis sajak yang mewakili kesadaran akan kekhilafannya yang hendak melawan tradisi leluhur dan sajak romantisme keriangan anak-anak Sumbawa bermain-main dalam hujan lalu pulang dan mengambil air wudhu untuk belajar mengaji.

Tema pribadi atau individual yang diangkat oleh sastrawan yang guru ini adalah seputar cinta dan pengagungannya akan kemuliaan sosok ibu, di samping tentang cinta, rindu dan romantisme lelaki perempuan.

Sajak “Kata” pada halaman 19 adalah sajak yang dengan tegas memproklamirkan bahwa imaji yang ia (tentu saja puisinya pula) miliki adalah syarat agar kehidupan ini bisa dijalani oleh “mu”, “kamu”, siapa saja di luar diri penulis. Dan ini jelas sama dengan proklamasi eksistensi puisi-puisinya, sekaligus –sebagai efek ikutannya- eksistensi kepenyairannya.

Kata

 

Laparmu tak akan kenyang

Gusarmu tak akan reda

Cicitmu tak akan henti

Dahagamu tak akan hilang

Lambaimu tak akan sampai

Pelukmu tak akan erat

Pada hasrat

Bila kau tak akrab

Dengan imajiku

 

Sumbawa, 1996

 

Seperti umumnya sajak A. Rahim, sajak-sajak dalam buku ini hampir seluruhnya merupakan sajak prismatis, yang diksinya pekat. Kalau pun terdapat sajak diafan, itu masih bisa disebut “cenderung”, sebab bening diksinya, sederhana metaforanya tak serta merta membuat pembaca gampang menangkap maksudnya. Kemudahan memahami masih beririsan dengan kesukaran menafsirkan secara pasti. Sayap-sayap kata tetap berkepak membawa pembaca terbang menuju berbagai cabang arah pemahaman. Lalu sayap-sayap rasa pembaca akan menjadi berkepak pula dari saat perjalanan hingga tiba tujuan.

Banyak diksi vulgar yang memancing tafsir erotis dalam buku ini. Buah dada, gairah jalang, zakar Adam, bugil, telanjang, puting susu, gerbang rahim, kristal mani, selaput layar kemaluan dan anyir darah menstruasi adalah diksi dimaksud, yang tertulis jelas. Tercatat ada 7 sajak yang menampungnya, pada halaman 54, 64, 80, 81, 96, 99 dan 127.

Namun kehadiran diksi-diksi tersebut tak lantas membuat sajak-sajaknya jatuh pada pornografi. Diksi-diksi vulgar justeru membuat sajak-sajak yang menampungnya berseru lebih, lebih dari amanat yang terbentuk karena teksnya: bahwa sesungguhnya memang ada masalah besar terkait buah dada, zakar, bugil, telanjang, puting susu, rahim, mani dan kemaluan. Kita sedang menghadapi itu, tapi malu-malu mengakuinya, segan menguaknya.

Atau memang dalam objek-objek vulgar itu ada estetika yang bisa dieksplorasi,  dieksploitasi dan diberdayakan, asal kita tak buru-buru membebaninya dengan asosiasi seksual kita yang melenceng dari tujuan estetik. Ini nilai lebih seorang A. Rahim. Ia berani sekaligus jeli dan cerdas.

101 sajak apik yang layak dinikmati dalam buku ini sudah memenuhi harapan pembaca untuk mendapatkan bacaan sastra yang berkualitas. Sayangnya label “Kitab Puisi” terkesan ambisius, disinyalir untuk membangun keyakinan bahwa sajak-sajaknya bisa menjadi pedoman hidup. Padahal tanpa embel-embel “Kitab Puisi” pun buku ini harus diakui  kemanfaatannya, yaitu memenuhi kebutuhan kita akan amanat dan hikmah dari sebuah karya sastra.

Pemilihan “Kepak Sayap Rasa” sebagai judul pun kurang bijak. Jika harus meminjam judul salah satu sajak, seyogyanya dipertimbangkan –minimal- sajaknya adalah sajak yang  terbaik dari segi isi. Bukan sekadar melihat keindahan judul sajak. Prinsipnya, sajak yang judulnya dipilih sebagai judul buku adalah sajak unggulan.

Pembaca mungkin akan sedih mendapati bahwa sajak “Kata” tak diunggulkan.

Padahal, jika buku ini harus tetap menjadi “kitab”, maka sajak “Kata” lah yang berisi “wahyu sastra” atau “sabda sang pandita sastra”, sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat sastra[.]

 

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

 

[1] Wawancara dengan A. Rahim Eltara, 17 Januari 2024

Ikuti tulisan menarik Yin Ude lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB