Tak usalah dipungkiri dan memainkan sebuah basa-basi
Dalam tampilan wedang kopi yang tersaji diseruput dan dinikmati
Di kediaman, kedai kopi, pos jaga kamling, kafe-resto, rapat mapun di seminar dan diskusi
Bila seruputan wedang kopi kita
Adalah pantulan sebuah fenomena menggejala
Nasib antara petani kopi dan juragan bandar
Senjang nan timpang
Timpang oleh rusaknya alam yang melingkup
Lantaran kerakusan dan keserakahan
Dalam balutan nafsu yang membabi buta
Terasa begitu pahit manakala menyaksikan
Mereka yang bergulat di kebun kopi
Yang tak beranjak dalam kesehariannya
Sebagai subsisten
Ketimbang berdaya tawar
Berhadapan dengan segelintir sang kapital
Dengan sindikasi korporasi yang kian menggurita
Sementara, kita tinggal menikmati seduhan
Dalam cangkir gelas dan poci
Terasa begitu manisnya bila pantulan
Dari industri, kafe resto kokoh nan megah
Mendulang manisnya keuntungan
Dalam memainkan komoditi kopi
Di atas peluh buruh dan petani kopi
Seruputan wedang kopi saban hari
Marilah dimaknai
Dalam untaian ruh pohon kopi
Petani, konservasi dan alam semesta
Sebagai kreasi absolut dari Sang Ilahi
Yang harus dijaga dipelihara keseimbangannya
Dari hulu hilir hinga muara
Begitulah amanah-Nya kepada kita manusia
Jangan ada penghisapan penyeruputan antar sesama
Jangan ada keuntungan di atas kebuntungan
Bagai petani kopi yang diseruput
Oleh raksasa korporasi
Hanya tinggal menelan harapan
Dari nyanyian janji yang dilantunkan
Oleh mereka bersama punggawa sindikasi
Dalam rancang bangun segelintir orang-orang
Yang bertengger di puncak menara gading ...
*****
Kota Malang, Maret di hari keempat, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.