x

Iklan

Keitaro Elba Alfarizi

Penikmat Politik dan Sepak Bola
Bergabung Sejak: 20 Januari 2024

Senin, 4 Maret 2024 14:23 WIB

Oposisi, Siapa Berani?

Indonesia sedang krisis oposisi. Politik oportunis dan pragmatis menghilangkan nyali partai-partai untuk berseberangan dengan pemerintah. Beranikah PDIP (kembali) jadi oposisi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemenangan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di kontestasi pemilihan presiden, menurut hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menimbulkan pertanyaan. Apakah pemerintahan selanjutnya dapat merangkul lawan bergabung dalam koalisi baru pemerintah? Mengingat di periode ini hanya terdapat satu partai sebagai oposisi.

Fenomena bergabungnya partai politik yang kalah ke kubu pemenang pasca perhelatan pemilihan presiden bukan hal baru. Menahan godaan untuk berkoalisi dengan rezim baru atau petahana rasanya sulit ditolak. Politik pragmatis dan oportunis yang dilakukan partai politik, membuat posisi berada di luar kekuasaan menjadi tidak menarik.

Pasca Orde Baru, praktis hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mampu bertahan selama sepuluh tahun tahun menjadi oposisi. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dapat menyamai iman politik PDI-P jika tidak bergabung rezim Jokowi dalam kurun waktu tujuh bulan kedepan. Partai Demokrat yang sudah menjadi oposisi selama hampir sepuluh tahun pada akhirnya tidak mampu menolak bergabung dengan pemerintahan Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terdapat tiga partai lain yang berada di parlemen namun tidak bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran selain PDI-P dan PKS, yaitu Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). NasDem, PKB, dan PPP memiliki riwayat tidak pernah menjadi oposisi. Rasanya sulit melihat ketiga partai tersebut untuk menolak bujukan Prabowo atau Jokowi bergabung dengan pemerintahan selanjutnya.

Menjadi oposisi memang tidak mudah. Berada diluar kekuasanan berarti tidak mendapat keuntungan finansial dan tidak mendapat posisi strategis di pemerintah, hal-hal tersebut membuat partai politik berpikir dua kali sebelum menentukkan posisinya. Konflik internal yang dapat terjadi jika partai politik berada di kubu oposisi juga menjadi pertimbangan.

Partai politik yang tidak memiliki ideologi memang mudah dirayu. Kekuasaan nomor satu, sisanya dapat dikompromikan. Pemikiran tersebut yang menyebabkan partai politik berbondong-bondong bergabung dengan koalisi pemerintah.

Di periode kedua Jokowi, peran oposisi sangat minim. Sampai saat ini, dari sembilan partai yang ada di parlemen, hanya terdapat satu partai yang beroposisi. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang sebelumnya sempat lima tahun menjadi oposisi pada akhirnya bergabung pemerintah, dengan alasan menjaga persatuan. Begitu juga dengan Demokrat, batal menjadi oposisi selama dua periode karena Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono masuk kabinet Jokowi.

Prabowo nampaknya ingin mengikuti langkah Jokowi. Melalui pernyataannya usai pemilu, Ketua Gerindra tersebut ingin merangkul semua pihak. Kesalahan cara berpikir Jokowi dan Prabowo bahwa suatu pemerintahan dapat berjalan efektif tanpa adanya oposisi dapat berakibat fatal.

Hasil dari terlalu “gemuknya” koalisi partai politik yang bergabung dengan pemerintah menciptakan masalah. Pengawasan dan kontrol terhadap pemerintah menjadi sangat berkurang. Akibatnya pemerintah dapat membentuk aturan-aturan tanpa adanya perlawanan berarti di parlemen.

Kontroversi pembentukkan produk hukum yang buruk seperti, undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) tercipta akibat dari sedikitnya oposisi yang berada di parlemen. Pada pembentukkan UU Ciptaker hanya ada dua partai yang menolak. Lebih buruk lagi ketika pengesahan RUU KPK yang diajukan oleh pemerintah, tidak ada satupun partai yang menolak, beberapa partai hanya memberi catatan.

Lemahnya peran oposisi di parlemen menyebabkan masyarakat turun ke jalan. Masyarakat beraksi mengisi kekosongan oposisi. Khususmya mahasiswa, mereka mewakilkan suara yag tidak diwakilkan pemerintah.

Sebagaimana yang dikatakan pengamat politik Adi Prayitno, partai yang kalah di pilpres harus menjadi oposisi. Penulis sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Partai politik yang kalah di pilpres harus menerima konsekuensi menjadi oposisi.

Partai politik harus tetap mewakili suara pemilih di pilpres. Kebiasaan kompromi antar partai politik harus dihilangkan. Pilpres akan menjadi tidak bermakna jika pada akhirnya semua partai politik bergabung menjadi satu di kubu pemerintah.

Rasa legowo menjadi oposisi dapat tercipta jika seluruh partai politik memiliki idealisme pandangan membangun negara. Manfaat idealisme di dalam pemikiran partai politik menciptakan proses demokrasi yang ideal dapat berjalan.

Menjadi oposisi bukan berarti pecundang, tujuannya tetap sama, yaitu menjalankan fungsi pemerintahan yang baik dan menjaga demokrasi. Tanpa oposisi, pemerintah akan kehilangan checks and balances sehingga dapat menciptakan kebijakan yang sewenang-wenang. Partai politik harus mempunyai ideologi dan prinsip agar mempunyai pendirian yang kokoh.

Ikuti tulisan menarik Keitaro Elba Alfarizi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler