x

Elite Politik

Iklan

Christian Romario

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 September 2023

Senin, 18 Maret 2024 16:50 WIB

Mendekati Kebenaran Popperian dalam Pilpres 2024

Masyarakat terbuka diperlukan untuk membangun demokrasi yang sehat. Dalam konteks pilpres 2024, Masyarakat terbuka tidak hanya memverifikasi realitas, tetapi juga mesti memfalsifikasi realitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dilema Legitimasi Pasca Pilpres 2024

Negara demokratis menempatkan rakyat sebagai pusat dari pemerintahan. Rakyat diberikan kebebasan untuk menggunakan hak-hak sipil dan hak-hak politiknya untuk membangun tatanan pemerintahan dan mengawasi kekuasaan politik. Idealnya bahwa dengan berdaulatnya rakyat, potensi otokrasi dapat terbendung. Itulah yang diwujudkan oleh rakyat Indonesia lewat pilpres 2024 yang mana rakyat memberikan suara politisnya kepada calon presiden dan calon wakil presiden.

Namun, kebebasan politis tidak berhenti pada hak untuk memilih, tetapi berlanjut pada kritik terhadap hasil pemilu 2024. Narasi besar yang muncul berupa dugaan kecurangan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) melihat bahwa dugaan kecurangan dan pelanggaran Pemilu 2024 cukup besar. Logistik surat suara yang tercoblos, tertukar, hilang serta anggapan bahwa Bawaslu kurang cepat menanggapi masalah turut memicu dugaan kecurangan. Alhasil kritik dari sejumlah elemen politik pun berdatangan. Kritikan terhadap proses pemilu yang dianggap kurang fair, upaya untuk mengumpulkan dugaan kecurangan, polemik soal sirekap, hingga wacana hak angket pada akhirnya mengarah pada dilema legitimasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dilema legitimasi muncul mana kala pemilihan umum yang secara formal diakui sebagai mekanisme demokratis untuk mencerminkan preferensi politik rakyat, ternyata dalam praktiknya diwarnai dengan dugaan kecurangan. Dilema legitimasi berangkat dari kelompok dan elemen politik yang merasa bahwa hasil rekapan pemilu kurang mencerminkan kehendak umum rakyat, tetapi memperkuat hegemoni politik tertentu. Alhasil, ketidakpuasan terhadap proses dan rekapan hasil pemilu berpotensi memperkuat polarisasi politik dan menyebabkan pengucilan atau alienasi terhadap sistem politik yang ada.

Mendekati Kebenaran Popperian Pasca Pilpres 2024

Kritikan terhadap rekapitulasi hasil pemilu yang dianggap kurang fair dan dugaan kecurangan memang akan menciptakan ketegangan politik dan kontroversi di tengah masyarakat. Namun itu adalah harga yang harus dibayar untuk setiap peningkatan pengetahuan, rasionalitas, dan tatanan demokratis yang terbuka. Dalam pilpres 2024, rakyat memang tidak mungkin untuk memastikan sepenuhnya keadilan dalam setiap aspek proses pemilu, namun rakyat  dapat terus menganalisis dan mengkritik sistem untuk memperbaiki kekurangan dan memperbaiki keadilan. Karena itu, ketegangan politik dan kontroversi pasca Pilpres 2024 tidak dilakukan untuk mengejar kebenaran mutlak.

Kebenaran mutlak tidak mungkin dicapai, namun rakyat dan segenap elemen politik dapat terus mendekati kebenaran terkait proses dan hasil Pemilu 2024 melalui uji coba dan penolakan. Dalam konteks ini, rakyat dan segenap elemen politik mesti terbuka terhadap kemungkinan bahwa pilpres 2024 tidak sempurna dan siap untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi. Hal itu berarti bahwa pilpres 2024 tidak harus berhenti pada upaya memverifikasi data dan memastikan kebenaran pernyataan atau data yang disampaikan, tetapi mesti sampai pada upaya falsifikasi terhadap proses dan hasil pemilu pasca Pilpres 2024.

Filsuf dan epistemolog Karl Popper menjelaskan bahwa falsifikasi berpusat pada kemungkinan untuk melihat adanya kesalahan.(Karl Popper, 2005). Paradigma ini merupakan langkah yang lebih kritis dan memadai untuk menguji validitas proses dan hasil pemilu 2024 dari pada sekedar mengkonfirmasi atau memverifikasi realitas pasca Pilpres 2024. Karena itu, segenap eleman politik tidak perlu merasa tabu untuk mengkritik dan membuktikan adanya dugaan pelanggaran dalam pilpres 2024. Tabu hanya akan melahirkan dominasi institusi atas tanggungjawab pribadi (Karl Popper, 1966). Tabu untuk mengkritisi dan membuktikan adanya dugaan pelanggaran dalam pilpres 2024 berpotensi mengurangi kualitas demokrasi yang sehat. Demokrasi yang sehat tidak berhenti pada prinsip bahwa rakyat memerintah, tetapi mesti sampai pada prinsip memerintah dengan rasional.(Karl Popper, 1966).

Masyarakat Terbuka Pasca Pilpres 2024

Masyarakat terbuka merupakan spirit yang perlu dijaga pasca Pilpres 2024. Dalam masyarakat terbuka, proses dan hasil pilpres 2024 tidak dilihat secara seragam. Keseragaman pandangan dinegasikan sementara sebab dianggap meniadakan perbedaan yang merupakan bagian dari pengalaman rakyat untuk memajukan sistem politik. Itulah sebabnya dalam masyarakat terbuka, orang sulit menemukan kenyamanan dan kepastian bahkan ketika hasil pemilihan nampak menunjukkan adanya dominasi dalam perolehan suara rakyat.

Karenanya masyarakat terbuka akan selalu dibayang-bayangi oleh kekuasaan politis yang organik. Kekuasaan yang organik akan berupaya menghindari konflik dan perbedaan karena lebih mementingkan kerja sama, kenyamanan, dan kepastian. Dalam konteks ini, origarkilah yang paling berperan dalam membangun kekuasaan yang organik dengan cara menawarkan kesepakatan-kesepakatan dan imbalan agar suara-suara kritis pelan-pelan diredam dan menghilang.

Realitas ini pernah terjadi di Athena tatkala oligarki menawarkan kesepakatan dengan kelompok ekslusif Sparta untuk menggulingkan demokrasi. Namun upaya itu tidak berhasil karena warga Athena setia terhadap demokrasi (Karl Popper,1966). Barangkali kesetiaan warga Athena relevan untuk masyarakat Indonesia Pasca-Pilpres 2024. Rakyat dan berbagai elemen politik perlu menjaga kesetiaan sebagai masyarakat terbuka dalam memfalsifikasi proses dan rekapan hasil Pilpres 2024. Penting bagi setiap elemen politik dari rakyat hingga pemerintah untuk berfokus pada kemungkinan kesalahan atau manipulasi dari Pilpres 2024 dan bersedia untuk menguji dan menantang hasil tersebut melalui proses yang adil dan terbuka, seperti audit pemilu atau pengujian ulang data yang terverifikasi.

Akan tetapi, kebebasan untuk memfalsifikasi proses dan hasil Pilpres 2024 tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan intoleransi, kebencian, atau propaganda yang merusak. Kritik dan falsifikasi terhadap Pilpres 2024 mesti berasal dari ke dalaman nurani, yang bertujuan untuk memperbaiki dan memperkuat demokrasi dengan mempertanyakan dan memperjelas aspek-aspek yang mungkin kurang sempurna atau berpotensi menimbulkan masalah. Karl Popper menyarankan agar kritik yang bersifat demokratis lebih diutamakan dalam masyarakat terbuka ketimbang kritik yang bersifat totaliter yang dapat merusak demokrasi (Karl Popper, 1966). Hal ini karena yang dicari pasca Pilpres 2024 bukanlah kebenaran mutlak, melainkan mendekati kebenaran.

 

Pustaka

Popper, Karl R. (1966). The Open Society and Its Enemies Vol. I  The Spell Of Plato. London: Rouledge & K. Paul.

Popper, Karl R. (2005). The Logic and Scientific Discovery. London And New York: Taylor & Francis Group.

Ikuti tulisan menarik Christian Romario lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler