x

Cover buku antologi puisi Mata Sukma Mata Cinta karya penyair nasional asal Sumbawa Dinullah Rayes

Iklan

Yin Ude

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 Januari 2022

Rabu, 27 Maret 2024 06:15 WIB

Buku Puisi yang Menjaga Hubungan Cinta

Resensi atas buku antologi puisi Mata Sukma Mata Cinta karya penyair nasional asal Sumbawa Dinullah Rayes

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul buku: Mata Sukma, Mata Cinta

Penulis: Dinullah Rayes

Prolog : Riyanto Rabbah

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Epilog : Agus Muhammad Jihad

Penerbit: Buana Grafika

Tempat diterbitkan: Yogyakarta

Warna: Merah, hitam

Edisi: Cetakan Pertama, Januari 2020

Jumlah halaman: xiv + 134 hlm

Ukuran buku: 14,5 x 21 cm

ISBN: 978-623-7358-25-1

 

Dinullah Rayes adalah penyair besar Sumbawa yang aktif menulis sejak tahun 1959. Ia telah menghasilkan 75 judul buku baik tunggal maupun antologi bersama. Dalam semua bukunya itu ia menampilkan tema bervariasi, namun dengan bingkai khas religiusitas yang terbentuk dari simbol-simbol, metafora dan memadukan antara alam nyata dan alam maya.[1]

Demikian pula buku terakhirnya yang berjudul Mata Sukma, Mata Cinta ini. Buku ini tersusun atas dua bagian. Bagian pertama Mata Sukma, terdiri atas 41 sajak, ditulis dari tahun 2017 hingga 2018, dan bagian kedua Mata Cinta, memuat 40 sajak yang dihasilkannya pada tahun 2019. Jumlah seluruhnya 81 sajak dengan tema yang beraneka ragam.

Mata Sukma diambil dari judul puisi pembuka bagian pertama. Puisi ini ditujukan kepada Habiburrahman El Shirazy. Sedangkan  label Mata Cinta merupakan judul puisi pembuka bagian kedua.

Ada yang mencolok dalam buku Mata Sukma, Mata Cinta ini. Dalam keragaman temanya terdapat 49 sajak -yang berarti lebih dari setengah jumlah sajak- yang fokus pada upaya mengabadikan kesan dan kenangan terhadap orang-orang yang pernah bersentuhan dengan hatinya, entah tokoh, entah orang biasa.

Nama-nama tersebut berjumlah hingga 52 (lima puluh dua). Latar profesinya berbeda-beda dari penyair, budayawan, seniman, ilmuwan, pejabat, politisi hingga orang biasa serta mendapat  mendapat tempat masing-masing dalam keempat puluh sembilan sajak dimaksud. Mereka antara lain adalah Habiburrahman El Shirazy, dan Marwah Gilang Rosadha (Ocha).

Dari judul prolog yang ditulisnya, Riyanto Rabbah mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh Dinullah Rayes adalah “Lewat Puisi Menjaga Hubungan Cinta Yang (Pernah) Ada”. (hlm. v)

            Dalam isi prolognya klaim ini ia jelaskan lebih jauh:

            Dinullah memiliki sahabat yang tidak sedikit. Setiap dari mereka menjadi bagian dari aliran darah. Sekali saja bertatap muka, ceritanya berhamburan dalam pesan bait-bait sajak tentang siapa pun. Tak pernah lenyap senda gurau walau dalam sekejap.

            Dinullah bisa merangkai sajak dari siapa pun yang ditemuinya, yang menyisakan waktu bagi sebuah oase hidupnya. Semua begitu mendalam. Setiap tokoh atau yang biasa, adalah untaian puisi perjalanan. Mereka yang ramah, berapi-api meladeni atau misteri, selalu bersama penanya. Dinullah merekam dan membawa apa yang tersisa dari sedikit saja yang menyentuhnya.

            Setiap cengkerama selalu saja melahirkan sesuatu yang menggema dalam batin karena sajak selalu hadir dari realita, imajinasi membumbuinya menuju jalan sutera. Hanya itulah yang bisa ia beri seperti rangkaian dari setiap langkah yang beriringan dengan arus searah waktu.

            Usianya memang sudah menuju petang. Karena itulah Dinullah ingin menyapa dalam mata remang, menggapai yang pernah terjalin untuk terus kukuh lewat jalinan kata yang ia punya. Dinullah ingin mengingat setiap orang dengan apa yang ia miliki. Tidak ada yang lebih baik dari kenang selain menuliskannya. Mencatat, adalah cara terbaik mengingat sesuatu. (hlm. v)

            Benar, Habiburrahman El Shirazy –misalnya- adalah tokoh. Tokoh sastra yang novelis. Dinullah merekam kegemilangan Novel Ayat-ayat Cinta-nya, merekam pertemuan mereka dalam acara Komite Sastra Indonesia (KSI) di Puncak Bogor, 23-25 Maret 2012.[2] Dan rekaman yang tentu saja menyentuhnya, yang ingin ia kenang,  mendorongnya untuk menulis sajak Mata Sukma buat tokoh ini.

Mata Sukma

:Habiburrahman El Shirazy

Yang esais format dunia

 

“ayat-ayat cinta” roman langitmu

milik manusia berotak kubah bulan sabit

bintang gemintang bercerita cahaya cinta

pada flora fauna

bagi mata ikan-ikan

lahirkan pendaran muka lautanMu

 

napas, sayap itu

gerakan literasi

membuka mata pena untuk menulis:

langit biru cinta

laut biru cinta

bumi biru cinta

Dia Mahapesona

Tuhan Maha Melembaga

dalam senyum tawa

 

Bandara Praya, 09.03.2018

(hlm. 2)

 

Marwah Gilang Rosadha (Ocha) adalah orang biasa, putri tercinta Nurdin Ranggabarani, politisi NTB, yang meninggal di usia muda. Ia dikenang dalam sajak berjudul Setelah Maut Itu (halaman 52).

            Terkait dengan penciptaan puisi khusus bagi seseorang di atas, ada klaim lain pula, dari penulis epilog buku ini, Agus Muhammad Jihad. Menurutnya apa yang dilakukan oleh Dinullah Rayes adalah manifestasi kehendak sang penyair untuk selalu memelihara silaturrahim dengan banyak orang.

            Dan, Dinullah Rayes, melalui puisi-puisinya, sebagai wujud cintanya, sangat memelihara kehidupan silaturrahimnya dengan banyak orang. Orang-orang tersebut dapat merupakan sosok penyair-budayawan-seniman-ilmuwan, bahkan pejabat dan politisi. Silaturrahim ala Dinullah Rayes tersebut menjangkau segala umur dan gender. Perhatikan puisi-puisinya yang kerap kali mencantumkan nama-nama sosok dimaksud dengan menyertai suatu kesan tertentu yang menyejukkan. Kesemuanya melukiskan betapa pentingnya silaturrahim menghargai dan memelihara hubungan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan semesta. (hlm. 100)

            Silaturrahim, lagi-lagi adalah merupakan wujud cinta, akhirnya mengukuhkan juga klaim Riyanto Rabbah bahwa apa yang dilakukan oleh Dinullah Rayes adalah “Lewat Puisi Menjaga Hubungan Cinta Yang (Pernah) Ada”. Sehingga, sekali lagi, buku ini merupakan buku puisi yang menjaga hubungan cinta.

            Karena kehadiran 49 sajak yang menjaga hubungan cinta yang (pernah) ada –yang tampak mencolok- inilah maka buku Mata Sukma, Mata Cinta ini hadir dengan nyawa berbeda. Bahkan keempat puluh sembilan sajak itulah yang menjadi ruh buku ini. Dalam kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya, motif menjaga hubungan cinta seperti ini ada juga, namun karena jumlahnya kurang, alih-alih lebih dari setengah, maka tak mencolok, tak menjadi ruh, dan bukunya pun relatif tak berbeda dari buku-buku pendahulunya.

            Jika pembaca menutup sajak yang 49 tersebut, lalu fokus pada sajak lain yang berjumlah 32 judul, (hanya) akan kembali seperti membaca buku-buku lain Dinullah yang berisi puisi-puisi bening yang mengajak kita memandang lanskap alam dan kehidupan dengan cara yang religius. Bukan tidak bagus, bukan membosankan. Ketiga puluh dua sajak itu tetap terbaik. Tapi kita telah terlanjur berpikir: sajak yang 49 itu menarik.          

            Dinullah Rayes telah berusaha menjadi penyair yang menjaga hubungan cinta dan silaturrahim. Kiranya ia mendapat ganjaran dari sang Maha Agung berupa anugerah kelapangan pikiran untuk menciptakan 49 sajak tersebut, agar di usianya yang menuju petang ia tetap bisa menghadiahkan buku yang bercahaya bagi para pembaca setianya. Yang kemudian akan menambah alasan ia dikenang.

            Lalu karenanya kelak giliran Dinullah yang menjadi tokoh yang dicatat nama besarnya di bawah judul sajak-sajak terindah[.]

 

Yin Ude, penulis Sumbawa Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis sejak 1997. Karyanya berupa puisi, cerpen, novel dan artikel terpublikasi di media cetak dan online dalam dan luar daerah Sumbawa, antara lain Lombok Pos, Suara NTB, Sastra Media, Elipsis, Sastramedia, Suara Merdeka, Kompas, Republika dan Tempo. Memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Buku tunggalnya adalah Sepilihan Puisi dan cerita Sajak Merah Putih (Rehal Mataram, 2021) dan Novel Benteng (CV Prabu Dua Satu Batu Malang, Mei 2021) dan antologi puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang Banyumas, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama para penyair Indonesia.

 

[1] https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Dinullah_Rayes, diakses 15 Januari 2024.

[2] Dinullah Rayes, Mata Sukma, Mata Cinta, (Yogyakarta: Buana Grafika, 2020), hlm. 132.

Ikuti tulisan menarik Yin Ude lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

25 menit lalu

Terpopuler