x

Iklan

Irfansyah Masrin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Januari 2020

Jumat, 5 April 2024 06:17 WIB

Ketergantungan Terhadap Hegemoni Penguasa

Kecenderungan pemerintah yang mengutamakan kekuasaan adalah tidak ingin masyarakatnya jadi pintar-pintar. Bahkan kalau bisa dibuat bermental bodoh dan miskin. Kenapa? Karena kalau SDM terlalu baik dan mumpuni akan berbahaya buat pemerintah. Mereka akan susah diatur serta tidak bisa direkayasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di beberapa portal media online, ada satu yang menarik perhatian saya tentang mahasiswa yang terpaksa bayar kuliah pakai cicilan pinjol. Ada pula berita tentang lebih dari 400 ribu ASN dengan gaji dibawah Rp8 juta dianggap masih miskin oleh Kemendagri dan berhak menerima zakat. dua berita ini cukup menarik untuk dikaji secara psikologis. 

Jadi begini, salah satu isi konstitusi Marchant Athena yang pernah saya baca, disebutkan bahwa kecenderungan pemerintah yang mengutamakan kekuasaan dalam menjalankan pemerintahannya itu tidak ingin masyarakatnya jadi pintar-pintar. Bahkan kalau bisa mereka dibuat bermental bodoh dan miskin. Kenapa? Karena kalau sumber daya manusianya terlalu baik dan mumpuni, akal sehatnya itu berbahaya buat pemerintah, nalar kritisnya jalan dan nanti jadi susah diatur serta tidak bisa direkayasa. Saat masyarakat bermental miskin dan bodoh, maka masyarakatnya akan bergantung kepada pemangku kebijakan, sehingga apapun yang pemerintah inginkan, suka tidak suka, mau tidak mau akan dituruti. 

Baik, kita akan kupas lebih dalam persoalan ini. Miskin secara definitif itu saat penghasilanmu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Miskin secara hakikat adalah ketika sebesar apapun penghasilan, kita tetap akan merasa kurang, yang pada akhirnya kamu akan terus-menerus menuntut dirimu ataupun orang lain. Nah, kalau sudah berbicara mental berarti sudut pandangnya yang dipakai adalah sudut pandang hakikat. Bukan hanya sebatas definisi yang umum kita dengar dan sering kita bicarakan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penderitaan, kemiskinan, dan kebodohan, adalah desain penjajah kolonialisme agar dapat berkuasa lebih lama. Bagaimana dengan penjajah moderen? Sepertinya tetap akan konsisten melanjutkan warisan penjajah demi kelanggengan kekuasaan mereka juga. Jadi, agar rakyat tetap menderita, miskin, dan bodoh, itu adalah bagian terbesar dari program mereka. Sehingga yang diuntungkan adalah satu pihak tertentu yang mendesain hal tersebut. 

Dalam buku Eko Prasetiyo yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah dijelaskan intisarinya bahwa wajah pendidikan semakin dicemari oleh mahalnya biaya sekolah dan kekerasan yang terjadi di dalamnya. Para korban, lagi-lagi adalah orang miskin yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini. Kepercayaan masyarakat atas pendidikan kian luntur, apalagi jaminan masa depannya juga kabur. Sehingga keuntungan hanya berpihak pada kepentingan segelintir orang yang memiliki uang dan bergelimang dengan harta. Ibarat kata kamu punya uang, kamu punya kuasa.

Pertambangan dan penguasaan kebun kelapa sawit yang dikuasai oleh salah seorang menteri menghasilkan lebih dari Rp100 triliun pertahun. Semua itu tidak terlepas dari hegemoni yang didudukinya di istana. Beberapa lahan pertanian masyarakat tercemar dan tidak ada tanggung jawab jangka panjang akan masa depan mereka. Sengaja di miskinkan agar masyarakat bergantung pada kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Maka tidak heran bisnis kekuasaan dan jabatan menjadi pundi-pundi terbesar di negeri ini. 

Keterbatasan para koorporasi dalam mengelola bisnisnya karena dibatasi oleh regulasi, menjadikan para koorporasi ini beralih dan merangkap menjadi penguasa. Pengusaha menjadi penguasa. Mental bisnis menjadi pejabat, yang terjadi jabatan dibisniskan dan banyak masyarakat dikorbankan, dimiskinkan.

Kembali pada persoalan awal tentang narasi miskin terhadap ASN dengan gaji di bawah 8 juta itu secara psikologis sangat berpotensi membuat mereka bergantung kepada siapa lagi kalau bukan pemerintah. Dan ketika mentalnya sudah penuh dengan tuntutan, maka apapun yang pemerintah inginkan mau tidak mau harus dituruti. Mulai terasa memang bahwa banyak pula beberapa ASN yang mencari tambahan penghasilan dari menjadi ojek atau taksi online. Karena nilai gaji itu bergantung lagi pada naiknya mata uang yang berpengaruh pada naiknya kebutuhan pokok. Inflasi dan ketimpangan nilai. Mata uang seperti mainan, besar nominalnya, kecil nilainya.

Sebagian besar dari para ASN bergantung pada Bank dengan menggadaikan SK kepegawaiannya. Antara tingginya kebutuhan hidup dan gaya hidup sih. Semua terpampang pada realita bahwa itu sengaja dimiskinkan oleh sistem dan regulasi yang ada. Menurut data badan pusat statistik, masyarakat miskin di Indonesia pada tahun 2023 tercatat 25,90 juta jiwa, jika dibagi 271 triliun yang dikorupsi oleh suami seorang artis itu, secara detail matematisnya bisa mendapatkan 10,5 juta rupiah per orang. Belum lagi kita bicara korupsi-korupsi fantastis lainnya. Atau pertambangan yang di kelola asing. Tentu dapat mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia.

Bagaimana soal bayar kuliah pakai cicilan pinjol yang ada bunganya? ini menurut saya ada dua kemungkinan impact, orang jadi malas kuliah karena mahal atau kalaupun kuliah yang dipikir mahasiswa itu bagaimana bayarnya daripada berpikir untuk meningkatkan kualitas rasionalnya, ya ujung-ujungnya balik lagi, jangan sampai mahasiswa atau masyarakat kita pintar-pintar amat. Karena nalar kritis terhadap hegemoni itu tidak akan terbendung. Apalagi kalau sudah terdata sebagai penerima bansos, ya pada akhirnya nalar kritisnya tumpul 

Perlu dipahami satu hal, bahwa kita jangan berpikir ini urusan politik bernegara saja. Anggap saja itu terlalu jauh. Dalam konteks paling kecil hubungan rumah tangga ketika asas yang dipakai adalah kekuasaan, suami berkuasa atas istri atau sebaliknya. Maka, Salah satu pihak akan dibuat tidak berdaya seperti dibuat jangan pintar-pintar amat, agar banyak menuntut dan bergantung, sehingga kalau sudah bergantung, dia akan mudah untuk dimanipulasi. Perlu diketahui bahwa kita tidak perlu jadi ahli dalam politik, tapi setidaknya kita sadar secara psikologi bahwa berpolitik itu perlu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Realitanya kita tidak dalam keadaan baik-baik saja (realita sosial)

 

Lain urusannya dengan ilmu hikmah, bahwa kita merasa baik-baik saja. Itu hanya persoalan individu yang berusaha menerima segala kondisi dengan hati yang tenang. Walaupun demikian, sikap personal yang berusaha qonaah dengan segala keadaan ini perlu terpatri dalam diri kita. Karena meski realita hidup tidak memberi hal yang berarti, paling tidak kita mampu menguatkan diri dan berusaha menenangkan hati.

 

Salam.

 

Blok RE, Dasana Indah. Castell Afista.

Ikuti tulisan menarik Irfansyah Masrin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler