Mempertanyakan Eksistensi Pilkada dan Ketiadaan Demokrasi

Kamis, 16 Mei 2024 07:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) hanya menjadi ladang tumbuh suburnya Koorporasi dibarengi lahirnya Anak Haram Demokrasi. Ini bukan lagi persepsi biasa, sudah menjadi penemuan jika Pilkada menjadi ladang tumbuh suburnya Koorporasi dibarengi lahirnya Anak Haram Demokrasi

Sudah menjadi catatan khusus jika saat ini Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia, setelah AS dan India. Pengakuan dunia pada demokrasi Indonesia setidaknya mengacu pada pelaksanaan pemilu (dan pilkada) yang berhasil diselenggarakan pasca reformasi dan sampai saat ini.

Menurut pengukuran EIU Democracy Index tahun 2021, Indonesia berada di kategori Flawed Democracy dengan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia dari total 165 negara. Merangkum dari EIU Democracy Index dan Freedom in the World.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setidaknya sudah ada beberapa indeks demokrasi Indonesia dimana parameter tersebut dinilai sangat baik dari fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, proses pemilu. Selain itu juga dalam hal pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, otonomi personal dan hak individu.

Jika benar apa yang dilakukan demokrasi yang berakhir sudah pada fungsinya, hal ini seharusnya sudah membuktikan Indonesia cukup matang dalam berdemokrasi. Namun demikian, apa yang menjadi pengakuan dunia terhadap demokrasi di Indonesia setidaknya menjadi cerminan harapan dunia agar warisan demokrasi benar-benar mengakar dan menjelma menjadi bagian kesehatan dan kecantikan wajah demokrasi secara keseluruhan yang terjadi di Indonesia saat ini dan mendatang.

Apakah benar demokrasi di Indonesia dalam kondisi baik-baik saja? Lalu sebenarnya siapa sebenarnya yang diuntungkan dalam pesta demokrasi?

Salah satu wujud keberlangsungan demokrasi yang dijalankan adalah diadakannya pemilih langsung untuk memikih keterwakilan baik di legislatif dan eksekutif. Dalam hal ini penulis membahas kondisi dan situasi persoalan yang terkandung dalam penyelenggaraan pemilihan langsung di daerah (Pilkada).

Payung hukum untuk mengesekusi pemilihan kepala daerah dengan diterbitkannya produk Undang-undang Nomor 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum Menjadi Undang.

Rencana Pilkada serentak akan digelar di seluruh Indonesia. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Dikatakan jika pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat.

Untuk menjadi bagian pelaku aktif terutama stage holder terkait yakni calon kepala daerah dan juga partai pengusung harus paham dan mengerti persyaratannya. Ketentuan wajib calon kepada daerah menghancurkan pada Pasal 59 ayat (1) UU nomor 32 tahun 2004 menyebutkan “Peserta Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”.

Syarat dan kewajiban bagi seorang calon yakni Warga Negara Republik Indonesia yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah yang memenuhi syarat-syarat: a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah; c. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati dan sebagainya.

Selain calon kepala daerah harus memenuhi syarat administrasi personal, seorang atau pasangan kepala daerah harus menyelesaikan tahapan politik baik bersifat tehnis dan administratif.

Selengkapnya Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan, “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan.”

Secara tehnis, setidaknya ada delapan tahapan penting pilkada. Mulai dari (1) pembentukan panitia, (2) pendaftaran calon, (3) penyaringan tahap I, (4) penyaringan tahap II, (5) penetapan pasangan calon, (6) pengiriman berkas pemilihan, (7) pengesahan, hingga (8) pelantikan. Pilkada dikatakan berhasil, jika delapan tahapan tersebut dapat dijalankan dengan baik, tanpa halangan yang berarti seperti terjaminnya keamanan, partisipasi pemilih, dan terpenuhinya logistik pilkada.

Belanja politik untuk pilkada menjadi bagian yang tidak terelakan dan terbantah. Porsi anggaran belanja Pilkada terdiri pembiayaan yang bersifat belanja pribadi atau partai dan pembiayaan politik yang ditanggung oleh pemerintah.

Biaya penyelenggaraan pilkada dibebankan pada APBD Pemda masing-masing. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1/2015 mengenai Penetapan Perppu No 1/2014 yang mengatur tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada pasal 166 ayat (1) UU tersebut diatur bahwa pendanaan kegiatan Pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada APBD dan dapat didukung melalui APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Uang menjadi persoalan serius bagi calon kepada daerah adalah belanja politik pribadi dan juga kontribusinya ke partai pengusung. Setidaknya terdapat dua porsi anggaran belanja politik yang super jumbo yang tentunya harus ditanggung oleh pribadi calon kepala daerah. Pertama dana untuk kendaraan politik dari partai pengusung.

Aturan UU Pilkada menyatakan jika calon pilkada akan diusung oleh partai politik atau kolaborasi partai setidaknya memenuhi 20 persen jumlah kursi DPRD . Dengan demikian dana yang harus dialokasikan sudah tentang benderang. Pertama untuk biaya pengkondisian kursi DPRD dan biaya untuk mendapatkan rekomendasi partai.

Dalam catatan khusus yang didapati oleh penulis ditemukan besaran anggaran belanja untuk belanja parpol didasarkan dari perolehan kursi DPRD. Kisaran satu kursi diharga Rp 350 juta hingga Rp 500 juta.

Untuk mendapat rekomendasi dari DPP Partai Politik penulis memperkirakan seorang calon harus mengeluarkan kocek kisaran Rp 10-15 milyar, besaran ini untuk rekomendasi dari partai papan tengah dengan kursi suara harus melibatkan koalisi agar dapat tiket maju sebagai calon.

Sedangkan biaya rekomendasi semakin selangit bilamana rekomendasi tersebut harus didapatkan dari partai pemenang pileg. Menguasai kursi setidaknya 20 persen dari keseluruhan kursi di daerah. Seorang calon kepala daerah harus berani tutup mata menyodorkan mahar kisaran Rp 25-35 Milyar.

Ditambahkan jika belanja politik tersebut akan semakin bengkak ketika Calon Kepala Daerah bukan kader atau pengurus partai. Jika birokrasi lobi pencalonan salah mengakibatkan belanja politik semakin mahal. Misalnya dalam proses pendaftaran dan juga pencarian rekomendasi dari DPP melibatkan banyak tangga atau bagian. Jenjang keputusan dan juga peroleh rekomendasi yang salah orang atau partner menyebabkan terjadinya bujet anggaran pembelian kursi dan rekomendasi menjadi bengkak.

Berikutnya biaya akan terus mengucur deras yakni dana kampanye. Paska diusung oleh partai politik, calon kepala daerah harus mengeluarkan anggaran yang tidak terbatas. Penemuan yang didapatkan di wilayah tinggal penulis, disebutkannya jika seorang maju untuk melanggengkan menjadi calon kepala daerah di daerah Kota dan Kabupaten dengan katagori "subur '' APBD-nya, seorang calon harus bersiap mengisi tabungannya berkisar Rp 60- 100 Milyar. Sedangkan jika maju di daerah 'gersang" APBD-Nya, calon harus mengeluarkan anggaran kisaran Rp 15-35 Milyar.

Kesiapan dana harus teruji dan adanya pembuktian jika sang calon betul-betul miliki kecukupan biaya. Jika tidak ada, calon wajib menunjuk pihak yang akan menggaransi dan membiayainya.

Perlu dicatat, jika pengeluaran biaya politik harus ready dan harus disiapkan dalam infrastruktur dua porsi. Pertama, belanja politik untuk penyiapan infrastruktur pemenang dan berikutnya biaya operasional pemenang.

Perburuan pengeluaran pembiayaan politik tidak terpatok dengan biaya dan kesiapan dana yang disebutkan di atas. Hal yang paling menakutkan dan menantang adalah belanja politik tanpa batas disaat menjelang dilakukan pencoblosan. Disebutkannya jika puncak pengeluaran biaya politik paling tinggi terjadi di Hari H -1 pencoblosan. Publik menurutnya sebagai sebagai serangan fajar atau money politics. Bedasarkan belanja politik dari masing-masing caleg Daerah dipileg 2024, untuk merebut 1 suara di daerah kota sebesar Rp 100-300 Ribu sedangkan untuk biaya serangan fajar kisaran Rp 50-100 Ribu. Besaran anggaran belanja ini tidak juah merdeka dengan belanja politik dari seorang kepala daerah.

Begitu mahalnya infrastruktur politik dan juga biaya politik yang begitu selangit mengharuskan calon kepala daerah putar otak. Timbullah peluang untuk menyiasatinya dengan menyasar para pemilih modal baik perorangan atau korporasi.

Simbiosis mutualisme politik menjadi trend perekat kuat kepentingan. Menjadikan praktek ini menjadi keniscayaan untuk ditinggalkan dan ditanggalkan. Hubungan gelap hingga hubungan terlarang akhirnya terjalin dan menjadi bagian holding kepentingan.

Jika tarik kesimpulan akhirnya dipahami jika proses demokrasi yang bekerja dalam berbagai level naik pilpres, pileg dan pilkada tidak akan jauh dan terlepaskan dengan Toxic Demokrasi. Racun demokrasi yang begitu mematikan fan menjadi bagian proses penting hubungan gelap dan terikat hingga menimbulkan jebakan dan pada akhirnya proses demokrasi ideal itu remuk redam.

Ambyaar dan berwujud demokrasi namun sebenarnya demokrasi yang dihasilkan dan dilanjutkan adalah produk anak haram dari lapangan biologis kandidat Pilkada dan pemilik otoritas keuangan atau oligarki.

Gurita anak haram dalam pusaran kekuasaan daerah akan memberikan dampak bagi calon kepada daerah terpilih dan juga keseluruhan pembuat kebijakan. Pastilah Pemilih yakni masyarakat hanya akan mendapatkan residu atau sampah kepentingan pribadi atau korporasi. Incaran korporasi sudah jelas yakni besaran anggaran belanja daerah atau APBD. Semakin besar postur anggaran daerah samakin mengiurkan pembagian "Cuan".

Dua produk politik dari pemilih kepala daerah atau pilkada yakni melahirkan anak haram demokrasi dan menyuburkankan Padang galian pundi-pundi Cuan bagi koorporasi atau oligarki. Ini sudah menjadi fenomena dan menjadi preseden buruk bagi tujuan dan alasan diadakan pemilihan langsung kepala daerah.

Legasi politik pilkada itu sebenarnya sudah dikondisikan, di biayai dan juga dikoordinasikan hingga pada akhirnya keseluruhan akhir proses demokrasi itu sudah diborong oleh korporasi dari hulu sampai hilirnya. Kemenangan demokrasi bukan lagi esensial tujuan pelembagaan dan juga bagian milik rakyat akan tetapi sejatinya hiruk-pikuk perayaan demokrasi didesain secara keseluruhan menyenangkan korporasi atau oligarki.

Rakyat sebagai pemilih hanya dijadikan ladang suara yang sudah dibeli, sementara Calon kepala daerah terpilih harus tergopoh-gopoh menjadi hamba dan pekerja koorporasi atau oligarki.

Pertanyaan, sampai kapan sinkronisasi demokrasi fiktif ini terungkap dan segera dilakukan revitalisasi demokrasi ? Bukannya negara mempunyai produk, kebijakan dan juga aturan untuk menganulir ketiadaan anak haram demokrasi serta koorporasinya ? Jangan -jangan proses awal politik sudah terbeli dan instrumen vital negara sudah dikuasai dan digunakan untuk memproduksi dan mempertahankan keseluruhan kepentingannya ?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler