Indonesia dalam Jebakan Demokrasi Prosedural

Senin, 20 Mei 2024 11:47 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, demokrasi Indonesia berada pada situasi yang stagnan bahkan berjalan mundur ke belakang. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada sebuah lubang jebakan bernama Demokrasi Prosedural. Namun, rasa-rasanya kita masih bisa menghidupkan harapan untuk paling tidak bangkit agar perlahan maju mengembalikan demokrasi pada substansi sebenarnya.

Kondisi demokrasi global saat ini sepertinya berada pada titik stagnansi bahkan kemunduran. Situasi yang sama hari ini di Indonesia rasa-rasanya keyakinan itu semakin menguat. Dalam konsep demokrasi, kita memahami bahwa kekuasaan dan kedaulatan itu berada di tangan rakyat. Kita menyadari konsep tersebut diwujudkan melalui sebuah sarana yang bernama pemilihan umum (Pemilu).

Lima  kali sudah di negeri ini rakyat ikut secara langsung memilih pemimpinnya termasuk yang terakhir pada Pemilu 2024. Itulah gelaran pemilu yang penuh tanda tanya keraguan bahkan kecemasan akan masa depan demokrasi kita di masa mendatang. Situasi yang sama juga kemudian menempatkan demokrasi Indonesia pada flawed democracy[1] atau demokrasi cacat.

Belajar dari pengalaman pada Pemilu 2024 dan demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir, kita bisa menangkap sebuah sinyal peringatan. Indonesia sedang diingatkan oleh dirinya sendiri untuk belajar dari pengalaman dan menjawab keraguan tanda tanya serta kecemasan yang disebutkan tadi. Demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja, ketika proses pemilu yang ‘katanya’ menjadi daulat rakyat, tapi entah kemana kedaulatan itu berada.

Aturan konstitusi yang ugal-ugalan, intervensi struktur dan kekuatan negara, hingga sumber daya negara yang dikerahkan hanya untuk kepentingan tertentu, menjadi sinyal nyata bahwa demokrasi kita sedang pelan-pelan terjebak dalam ‘lubang’. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh elit penguasa tertentu untuk mengendalikan situasi demi memuluskan kepentingan tertentu. Apa yang bisa kita harapkan dari upaya menguatnya dinasti politik, ruang masyarakat sipil yang semakin menyempit, atau oposisi yang semakin melemah. Sampai pada titik ini, saya memahami bahwa mungkin kita hanya sedang menjalankan pemilu formalitas atau sekadar demokrasi prosedural.


Demokrasi prosedural memang cenderung menitikberatkan pada pelaksanaan pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat tersebut. Namun, lebih lanjut demokrasi prosedural memiliki 3 unsur yaitu prosedur, legalitas, dan kelembagaan[2]. Prosedur diartikan sebagai keberlangsungan proses demokrasi yang menekankan penyelenggaraan pemilu menurut hak-hak konstitusional tiap warga negara. Legalitas artinya terpenuhinya aturan-aturan formal yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan pemilu.

Kelembagaan adalah keteraturan fungsi lembaga-lembaga yang membersamai pemilu yakni partai politik, penyelenggara pemilu, pers, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Artinya, hal yang dimaksud adalah demokrasi hanya dipahami dengan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil, aturan hukum yang jelas dan mengikat, serta adanya fungsi-fungsi lembaga negara yang teratur. Semua hal inilah yang menjadi benteng penguasa dalam banyak peristiwa janggal yang kita rasakan waktu belakangan kemarin. Pemilu memang dilaksanakan, aturannya semua memang ada, tapi apakah semua sesuai prosedurnya, apakah semua lembaga negara itu melaksanakan dengan benar-benar tugas serta fungsinya pasca pelanggaran etik berat yang dilakukan aparaturnya?


Realitas sosial dan politik inilah yang bagi saya menempatkan demokrasi Indonesia pada jebakan demokrasi prosedural. Kita hanya disuguhkan pada kontestasi politik 5 tahunan sebagai tradisi politik formalitas bagi 'kedaulatan rakyat' atau bukti dari munculnya konsep competitive authoritarianism[3] yang disampaikan oleh Levitsky dan Way (2020), dimana hadirnya lembaga-lembaga demokrasi, namun pelanggaran serius yang dilakukan oleh petahana justru diupayakan untuk menghasilkan persaingan pemilu yang nyata, namun tidak adil. Jadi, kita seolah-olah ada pemilu, ada demokrasi, tapi pemimpinnya otoriter, pemilunya ada, tapi proses dan hasilnya tidak adil. Situasi ini juga diperkuat dengan kenyataan bahwa masyarakat kita semakin abai (ignore) dan elit politik semakin terkonsolidasi pada lingkaran koalisi, dan melemahkan oposisi.


Oleh karena itu, merefleksikan dari kondisi tersebut, situasi yang sulit memang menempatkan demokrasi kita pada persimpangan jalan bahkan sebuah jebakan pada demokrasi yang semakin mundur ke belakang. Namun, di waktu yang bersamaan paling tidak kita bisa berupaya untuk berangsur bangkit lewat demokrasi substansial yang tidak hanya fokus pada prosedur semata bagi demokrasi, tetapi juga pelaksanaan nilai-nilai esensial demokrasi itu sendiri dalam politik dan pemerintahan. Kita membutuhkan nilai kritis dan partisipasi aktif publik termasuk anak muda serta masyarakat sipil yang terkonsolidasi secara kuat. Membangun kritisme dan kesadaran publik adalah kewajiban bersama agar masyarakat yang abai bisa disadarkan dan membangun kecerdasan publik.

Seluruh masalah ini tentunya tidak akan pernah muncul jika kapasitas negara dan jiwa kepemimpinan dari pemimpin bangsa ini memiliki komitmen yang kuat pada penegakan demokrasi substantif. Demokrasi kita membutuhkan nilai-nilai baru yang bertumpu pada demokrasi substantif lewat etika dan moralitas, kebebasan sipil, hingga kolaborasi antar stakeholder. Maka dari itu, lewat hal tersebut, kita bisa berupaya keluar dari jebakan prosedural dan mengembalikan kedaulatan yang sebenarnya pada rakyat.

 

Referensi:


[1] Economist Intelligence Unit. (2023). Democracy Index 2023 Age of conflict. January, 1–13.

[2] Firmansyah, F. A. (2015). Gagasan Demokrasi Prosedural Robert Alan Dahl. 9(2), 1–12.

[3] Levitsky, S., & Way, L. (2020). The New Competitive Authoritarianism. Journal of Democracy31(1), 51-65.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hilarius Bryan Pahalatua Simbolon

Penulis Indonesiana & Co-founder Lab Demokrasi

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler