x

Iklan

Riduan Situmorang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Sabtu, 25 Mei 2024 06:25 WIB

Semakin Berdaulat dari Laut

Indonesia adalah negara maritim. Secara hisotris, Indonesia adalah pelaut. Karena itu, Indonesia harus berdaulat secara maritim, terutama dalam menghadapi tantangan konflik di Laut China Selatan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Takdir Indonesia adalah laut. Bagaimana tidak? Sekitar 5,9 juta kilometer persegi, atau 75,32 persen dari total area nasional adalah laut. Karena itu, kita selalu bangga dengan ungkapan nenek moyangku adalah pelaut. Dan memang demikianlah adanya: kita harus memandang laut. "Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan National Building bagi negara Indonesia, maka negara harus dapat menguasai lautan," kata Bung Karno pidatonya dalam National Maritime (1963). Kenyataan nilah yang meneguhkan Indonesia sebagai negara maritim dan tertuang di UNCLOS pada 1982 lalu.

Menurut sejarah panjangnya sebagai negeri bahari, terdapat beberapa milestone atau titik waktu ketika peradaban mencapai puncak-puncak pencapaian tertingginya. Ada yang luput dari ingatan dan ada pula yang belum kita pedulikan sehingga simpul-simpul generasi ke generasi lainnya seperti terputus. Sekadar menyebut contoh, misalnya, lihatlah bagaimana Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dapat menjadi kerajaan kuat hanya karena kemampuannya mengorkestrasi laut. Sekurang-kurangnyanya pada masa itu, ada beberapa periode yang membuat negeri ini diisi pencapaian luar biasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Relief Kapal Sriwijaya

Menurut penjelasan yang didapat dari kitab Negarakrtagama, Kerajaan Majapahit bahkan memiliki luas wilayah lebih besar daripada negara Indonesia saat ini. Itu berarti bahwa nadi Indonesia sejak dari sononya sudah ada pada laut dan kita adalah negara besar dalam produk-produk kultural positifnya, terutama dalam hal kelautan.

Tentu saja kerajaan pesisir besar lainnya seperti Tarumanagara, Samudera Pasai, Bantan, hingga Ternate, Tidore, Gowa, tak bisa diabaikan sehingga pada akhirnya kita lelap dengan lagu heroik ini: Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Lantas, bagaimana dengan Indonesia sekarang?

Seandainya Kita Lengah

Sejak Presiden Jokowi terpilih, ada kesan bahwa kita akan kembali fokus pada laut. Kita bermimpi menjadi poros maritim dunia. Secara kebudayaan, kita juga bermimpi membuat Jalur Rempah yang tampaknya lebih kokoh dibandingkan Jalur Sutra ala China. Maka, pada periode pertama, selepas pelantikannya, Jokowi berpidato dari Kapal Pinisi. Kenyataan itu menjadi metafora bahwa takdir kekuatan kita memang berpusat dari laut. Kita harus berdaulat sejak dari laut. Untuk itulah, ketika China berulah dan Indonesia merespons dengan tegas tindakan China, kita patut bangga. Kita tak boleh berkompromi dengan kedaulatan bangsa. 

Lebih teatrikal secara semiotik, Presiden Jokowi malah memimpin rapat di atas KRI Imam Bonjol. Semiotika ini jadi pesan bahwa Indonesia digdaya di laut. Laut adalah masa depan. Laut adalah penghubung, bukan pemisah. Sebagai penghubung,berarti Indonesia harus tangguh di laut. "Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal, melainkan dalam arti cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang laut itu sendiri,”  kata Bung Karno.

Daerah Konflik di Laut china selatan

Perkataan itu diungkapkannya saat meresmikan Insititut Angkatan Laut (IAL) tahun 1953 di Surabaya. Atas dasar nilai historis itu, Indonesia harus tegas dan berani dalam menyikapi sengketa Laut China Selatan. Sejauh ini, kita memang tidak terlalu sering berkonflik di Laut China Selatan. Hal itu terjadi karena kita masih disegani pihak yang berkonflik. Namun, jika saja kita lengah, bukan tak mungkin negara lain akan mengambil kesempatan untuk menggerus kekayaan laut Indonesia. Rusia menganeksasi sebagian Ukraina tentu saja karena Ukraina tidak terlalu tangguh untuk Rusia. Skema seperti ini bisa berlaku juga untuk Indonesia. 

Seandainya kita lengah dan tidak fokus pada maritim, jangan-jangan laut akan berubah jadi titik pemisah Indonesia. Kita harus melihat pada sejarah. Sriwijaya sempat menjadi kerajaan bahari terbesar. Namun, karena Sriwijaya kurang peduli pada pertahanan kebaharian, Kerajaan Colamandala akhirnya melakukan perang besar-besaran pada 1017 dan 1025. Sriwijaya pun menjadi sejarah. Untuk itu, Indonesia harus memperkuat wibawa di laut. Indonesia harus menjadi negara digdaya di maritim agar bisa didengarkan dalam proses perdamaian Laut China Selatan.  Kekuatan laut tak bisa dutawar-tawar lagi. 

Sea Power

Dalam hal ini, Rear Admiral Alfred Thayer Mahan dalam bukunya, The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, pernah menjelaskan bahwa sea power merupakan unsur yang sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa. Pasalnya, laut adalah kekayaan yang tak ternilai. Untuk setiap satu kilometer persegi air laut, selain oksigen dan hidrogen, terdapat 35 juta ton garam, 66.000 ton bromium, 200 ton litium, 50 ton yodium, serta 1 ton titanium, uranium, perak, dan emas. Di dasar lautan bahkan masih terdapat bungkalan-bungkalan berbentuk kentang yang mengandung mangan (30-50 persen), besi (15 persen), nikel (1-3 persen), sejumlah tembaga, kobalt, titanium, dan vanadium.

Lagipula, dalam teori pembangunan ekonomi dinyatakan, sebuah negara akan berhasil apabila pembangunannya didasarkan pada kondisi objektif geografis negara bersangkutan. Hal ini selaras dengan semboyan yang menyatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat memanfaatkan kekayaan sumber daya wilayahnya secara optimal. Sebagai arsipelago yang terbesar dari jenisnya di dunia, Indonesia tentu berposisi dan berpotensi strategis terhadap pola dari sirkulasi global samudra, termasuk pada konflik panas Laut China Selatan. Kehadiran Indonesia yang berwibawa dan powerfull sangat dibutuhkan di sini. 

Kehadiran itu bukan untuk memperkeruh, tetapi untuk mempertahankan kedaulatan bangsa. Visi bangsa kita adalah menjaga ketertiban dunia. Dengan menjaga kedaulatan bangsa, berarti kita juga menjaga kedaulatan negara lain yang dalam hal ini adalah ketertiban dunia. Laut China Selatan harus tertib. Tidak boleh satu negara pun yang kita izinkan untuk mendominasi, apalagi mengklaim. Membiarkan sebuah negara mendominasi, apalagi mengklaim, pada saatnya akan membuat wibawa kita lemah. Sebab, potensi di Laut China Selatan ini sangat besar. Membiarkan potensi itu dikuasai dan diklaim bangsa lain tentu akan menjadi ancaman kedaulatan kita. 

Apalagi China sudah semakin terang-terangan melakukan peta konsep tersendiri tentang Laut China Selatan. Dalam peta konsep itu, salah satu daerah potensial kita, yaitu Natuna masuk pada konsep Sembilan Garis Putus-Putus (Nine Dash Line). Tentu saja peta konsep ini sangat provokatif dan tak bisa dibiarkan. Ini mencederai sejarah kita sebagai negeri bahari yang besar. Oleh karena itu, kita bangga ketika pemerintah seia sekata menjaga Natuna. Termasuk ketika China mengatakan bahwa Natuna adalah area penangkapan ikan tradisional bagi China. 

"Di Natuna tidak ada traditional fishing zone. Tidak ada yang mengakui itu sebagai traditional fishing zone," kata Susi Pudjiastuti saat itu. Kalimat seperti itu harus selalu dirawat dan dijaga. Kita ini bangsa yang besar. Kita tak boleh takut pada bangsa apa pun, terutama ketika mereka mengklaim bangsa kita. Dalam hal ini, membiarkan Laut China Selatan penuh dengan provokasi agar dikuasai dan didominasi oleh sebuah negara adalah kerugian fatal bagi seluruh bangsa, terutama Inonesia yang dari akar historisnya adalah bangsa pelaut yang tangguh.

Setidaknya, kita akan rugi secara ekonomi. Sebab, Clive Schofield dalam tulisannya yang berjudul Competing Maritime Claims and Enduring Disputes in the South China Sea (2021) mengungkapkan bahwa LCS memiliki keanekaragaman hayati dan rumah bagi habitat terumbu karang yang membantu mendukung sekitar tiga ribuan spesies ikan laut. Tidak heran kawasan ini menghasilkan ikan mencapai 12 persen dari tangkapan ikan global atau senilai lebih dari 21 miliar dollar AS per tahun untuk sebagian kecil lautan. Lembaga Informasi Energi Amerika Serikat atau US Energi Information Administration (EIA) juga mencatat hal yang sama.

Sesederhana itu

Di sana disebutkan bahwa ladang minyak dan gas alam banyak ditemukan di kawasan Laut China Selatan yang tidak terkait sengketa seperti dekat dengan garis pantai masing-masing negara. Setidaknya, ada 3,6 miliar barel minyak bumi dan cairan lainnya serta 40,3 triliun kaki kubik (Tcf) gas alam dalam cadangan yang sudah terbukti dan diperkirakan berada di Laut China Selatan. Badan Geologi Amerika Serikat atau United States Geological Survey (USGS) juga melakukan analisa di Laut China Selatan pada tahun 2023. Hasilnya, USGS memperkirakan ada kandungan antara 2,4 miliar barel hingga 9,2 miliar barel minyak bumi.

Setidak, antara 62 triliun kaki kubik hingga 216 triliun kaki kubik gas alam yang belum dieksploitasi di wilayah itu. USGS juga mengatakan sumber daya bisa saja lebih besar karena penelitian itu hanya dilakukan pada 13 cekungan. Selain potensi sumber daya alam, perairan Laut China Selatan juga merupakan jalur perdagangan begitu penting. Berdasarkan data EIA, ada 10 miliar barel minyak bumi dan produk minyak bumi serta 6,7 triliun kaki kubik gas alam cair (LNG) yang dibawa melewati Laut China Selatan pada tahun 2023. Potensi sumber daya alam yang melimpah dan pentingnya kawasan tersebut tidak bisa luput dari perhatian kita. 

Oleh karena, apalagi secara kultural bangsa kita adalah bangsa pelaut, kita harus menunjukkan bahwa kita semakin berdaulat di laut. Kiranya, mimpi Poros Maritim Dunia dan mimpi kultural Jalur Rempah harus dilanjutkan oleh Presiden Terpilih, Prabowo Subianto. Kita tak bermimpi untuk menjadi penguasa. Hal itu sama sekali tidak sesuai dengan visi bangsa ini didirikan. Akan tetapi, kita harus memantapkan posisi bahwa kita tak boleh berkompromi dengan dominasi sebuah negara di Laut China Selatan. Dengan kata lain, secara diplomatik, jika kita berkompromi dengan dominasi negara tertentu, berarti kita juga sedang menawarkan kedaulatan kita.

Singkat saja: kita negara bahari, Natuna tidak boleh jatuh, dan Laut China Selatan tak bisa didominasi, diklaim, apalagi dikuasai oleh negara apa pun. Hanya itu harga wibawa untuk sebuah bangsa yang besar dari budaya bahari!

Ikuti tulisan menarik Riduan Situmorang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler