x

Ilustrasi menikmati musik dan kopi. Gambar/Foto oleh Jill Welington dari Pixabay.com

Iklan

purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 26 Mei 2024 19:00 WIB

Manakala Musik dan Kopi Jadi Melimpah

Musik dan kopi telah menjadi semacam komoditas curah, yang menjadikan pengalaman dalam menikmatinya cepat terhapus dari kenangan. Untung masih ada irisan lain dari tren itu yang mengembalikan preferensi terhadap mutu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada masanya ketika musik, bagi penggemarnya, adalah kenikmatan yang lengkap: sebagai pengalaman lahiriah sekaligus batiniah. Pada kurun waktu itu, mendapatkan sebuah karya identik dengan upaya yang terkadang tak mudah. Piringan hitam, kaset, juga CD yang diperoleh jadi mengkompensasi kesulitan-kesulitan yang dilalui dengan menyodorkan wujud fisik dan visual yang memanjakan indera pemiliknya, bahkan sebelum mencoba menyimak lagu-lagunya. Begitulah pula kopi.

Kombinasi musik dan kopi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada suatu kala kopi dicari dan kemudian dikonsumsi karena kualitasnya. Penampakan fisiknya, ketika masih berupa biji (baik sebelum maupun setelah disangrai), mungkin tak seelok produk fisik rekaman musik. Tapi dalam wujudnya yang lain, setelah digiling dan diseduh, sesudah menguarkan uap yang aromanya ibarat musik Pink Floyd atau Sigur Rós yang menerbangkan pendengarnya ke awan khayalan, kopi merupakan kenikmatan yang bukan sekadar minuman. Para sufi, di masa lalu, menyakini bahwa kopi, dalam kata-kata Syekh Ibni Ismail Ba Alawi al-Shihr, bisa membimbing ke keadaan “sukacita yang diresapi hamba Tuhan manakala menyaksikan misteri tersembunyi dan mencapai indahnya penyingkapan dan pewahyuan yang agung”.

Perkembangan belakangan ini sama sekali tak terbayangkan. Mendengarkan (dan tentu saja mendapatkan) musik sungguh jauh lebih mudah. Dalam 10-20 tahun terakhir--setelah CD, muncul MP3 dan kemudian layanan streaming--musik begitu mudah diakses, tersedia setiap saat bagi siapa pun yang membutuhkan hiburan. Orang juga tak harus membeli album berupa produk fisik lagi; banyak yang memilih melompati lagu-lagu yang tak mereka sukai dalam suatu album. Timbul kesan musik seakan-akan kehilangan maknanya, dan begitu pula mengkoleksi musik.

Kopi mengalami hal yang kurang lebih sama. Siapa saja, dan di mana pun, kini bisa memperolehnya. Nyaris tak ada area yang tanpa kedai kopi, terutama di kota-kota besar. Di mini market tertentu orang bisa menyeduh sendiri, di antaranya dengan memanfaatkan kopi dalam saset, karena di sana disediakan mesinnya atau dispenser air. Di jalan-jalan yang merupakan tempat keramaian tak jarang berseliweran penjaja kopi.

Kenyataan itu memperlihatkan betapa musik dan kopi telah menjadi semacam komoditas curah atau gelondongan. Karakteristiknya: gampang ditemukan, mudah diperoleh, bisa lekas dinikmati. Tapi ada sisi tak enaknya: pengalaman-pengalaman ini pun cepat terhapus dari kenangan begitu momennya lewat.

Yang melegakan adalah di dua dunia yang tampak berbeda tapi bernasib serupa itu ada hal lain yang juga sedang berlangsung: penjualan piringan hitam terus mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir; di saat yang sama fenomena yang disebut sebagai gerakan kopi gelombang ketiga menggeliat di mana-mana. Keduanya perlahan-lahan mengembalikan preferensi terhadap kualitas.

Saya menyukai kopi yang bercita rasa, yang melahirkan aneka jejak kelezatan--buah-buahan, kacang-kacangan, rasa cokelat, manis gula aren, dan lain-lain. Tapi, berbeda dengan pencinta kopi yang prigel memanfaatkan bermacam-macam alat seduh, demi mendapatkan cita rasa yang diharapkan, demi kualitas, saya tak pernah beranjak jauh dari metode tubruk. Saya, dalam meyeduh kopi sehari-hari, hanya “naik kelas” sedikit dengan memilih menggunakan french press (disebut juga, antara lain, cafetière, cafetière à piston, dan press pot.

Rutinitas yang mesti saya lalui untuk mencapai target tersebut tak sepelik banyak teman atau kenalan saya. Meski demikian, buat saya, kekhusyukan menyeduh yang saya jalani setara dengan proses yang biasa saya lalui ketika saya berniat mendengarkan musik dari media rekaman fisik--yang saya simpan di rumah hingga kini, sisa dari koleksi saya di masa lalu, adalah CD.

Di hadapan rak tempat saya meletakkan CD, hampir selalu saya memerlukan waktu yang boleh dibilang sama lamanya dengan yang saya butuhkan untuk mendapatkan kopi yang siap disesap. Tentu saja, durasi ini tak ada hubungannya dengan hasil yang saya harapkan: bahwa CD yang saya comot berisi musik yang...ya, tak sekadar manis di telinga. Soal ini, jelas, sudah selesai sejak saya memutuskan untuk membeli atau tidak sesuatu album. Yang saya mau: musik yang akan saya dengarkan cocok dengan suasana hati saya.

Tampak jelas bahwa, secara terpisah-pisah, baik mengapresiasi musik atau menyeduh kopi merupakan momen yang sungguh bernilai tanpa ada alat atau cara apa pun untuk menghitungnya dan sangat pantas dikerjakan dengan penuh gairah serta ketulusan; ia cenderung bersifat personal. Bagaimana bila keduanya digabungkan, dipadukan?

Sebetulnya, orang sudah lazim mengerjakan keduanya secara simultan, entah sejak kapan. Tapi, umumnya, terutama di kedai-kedai kopi, hal itu tampak sebagai langkah yang acak semata, tanpa pretensi yang “tinggi”: musik menjadi latar belakang belaka, sebuah muzak, yang memantas kegiatan utamanya, yakni mengopi. Bertumpu dari kebiasaan ini, begitulah, di berbagai layanan streaming kini bisa dijumpai playlist--sebuah daftar lagu-lagu terpilih yang siap diputar kapan pun dan di mana pun--khusus untuk mengopi.

Saya juga melakukannya, dulu. Tapi, dengan semakin menyadari nilai intrinsik ritual mendengarkan musik dan mengopi, saya mulai mengubah kebiasaan; saya bereksperimen dengan pilihan-pilihan jenis musik yang saya anggap sesuai sebagai pendamping rutinitas mengopi. Saya tak merasa khawatir pilihan itu terlihat “tak biasa”.

Saya ingin pengalaman yang saya rasakan adalah keadaan ketika mendengarkan musik maupun mengopi bisa saling menguatkan, saling memperuntungkan: kopi jadi terasa lebih lezat; musik pun terdengar lebih kaya. Itulah kombinasi yang menciptakan momen yang bersifat meditatif, menyentuh bukan saja keadaan lahir, tapi juga batin, yang mustahil datang dari kegiatan sambil lalu.

Ikuti tulisan menarik purwanto setiadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler