Demokratisasi di Tengah Gejala Partai-partai Kembali ke Setelan Awal

Selasa, 28 Mei 2024 06:53 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam proses kandidasi gejala kartel politik nampaknya akan marak. Pada fase ini partai-partai akan kembali ke “setelan awal,” default. Kembali pada watak purbanya, yakni berburu kekuasaan semata-mata untuk terus berkuasa dan selama mungkin menikmati berkah kekuasaan itu sambil diam-diam “mensterilisasi diri” dari semangat menawarkan perubahan di daerah.

Mei 2023 lalu buku saya yang kesekian terbit. Judulnya “Jalan Berliku Transisi Demokrasi.” Buku ini memuat tulisan-tulisan hasil riset, sebagiannya pernah dipublikasi di jurnal-jurnal ilmiah, dan kumpulan esai (selektif, sesuai kebutuhan topik utama buku) di berbagai media yang terbit antara tahun 2018-2023.

Sebagaimana bisa dibaca dari judulnya, buku ini membahas lika-liku perjalanan demokrasi Indonesia pasca berakhirnya rezim orde baru 1998 silam. Sebuah perjalanan yang tidak mudah dan banyak sekali rintangan problematik yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tetapi gejala itu memang bukan khas Indonesia. Ia terjadi di hampir semua negara yang mengalami transisi dari fase otoritarianisme ke era demokrasi. Perkembangan demokrasi dalam ruang sejarah transisi perjalanan politik di berbagai negara tidaklah berlangsung dalam pola garis lurus. Melainkan, ibarat sebuah rute perjalanan, ia berliku, bahkan kerap harus melewati jalanan serba terjal yang membahayakan.

Sebagaimana pernah diungkapkan Samuel Huntington di bagian akhir bukunya yang populer, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991). Bahwa selama satu setengah abad setelah pengamatan Tocqueville mengenai munculnya demokrasi modern di Amerika, gelombang-gelombang demokratisasi silih berganti melanda pantai kediktatoran. Disangga oleh pasang naik kemajuan ekonomi, masing-masing gelombang bergerak maju lebih jauh dan mundur lebih sedikit daripada gelombang sebelumnya.

 

Democraduras dan Dictablandas

Atau seperti yang dijelaskan dalam studi Guillermo O’Donnell, dkk (1986). Bahwa transisi demokrasi, fase peralihan dari era rezim otoriter ke pemerintahan demokratis menyimpan peluang surutnya kembali proses demokratisasi ke bentuk otoritarianisme baru (neo-otoritarianisme) yang disebutnya dengan istilah Democraduras dan Dictablandas.

Gejala Democraduras disematkan O’Donnell pada rezim yang dibentuk dan dihasilkan melalui proses pemilihan umum sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi namun dengan menciptakan alienasi publik dari kekuasaan. Tak pelak lagi, ini merupakan gejala pemerintahan yang buruk karena mengandalkan sarana pemilu sekedar untuk mendapatkan dukungan rakyat.

Demokrasi yang sesungguhnya, yang seharusnya menyertakan rakyat secara inklusif dan partisipatif dalam setiap proses-proses politik tidaklah menjadi prioritas.  Gagasan tentang demokrasi deliberatif dari Bessette (1980-an) dan dikembangkan Jurgen Habermas masih sangat jauh panggang dari api. Namun begitu, O’Donnell menganggap Democraduras masih dapat dikategorikan sebagai rezim demokratis.

Fenomena yang lebih buruk dan jauh dari demokratis adalah rezim Dictablandas. Sama dengan rezim Democaduras, rezim Dictablandas juga menggunakan Pemilu sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi rakyat. Namun diselenggarakan dengan pelbagai pembatasan politik, kecurangan-kecurangan terstruktur dan sistemik, serta cacat prosedur disana-sini.

Sementara itu, jauh sebelum O’Donnell dkk memetakan potensi terjadinya rekonsolidasi kekuatan-kekuatan otoritarianisme, Dankwart A. Rustow menggunakan 3 (tiga) diksi menarik dalam menjelaskan proses transisi demokrasi, yakni : battle, stalemate, dan habituation phase.

Diungkapkan dalam artikel berjudul “Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model” (Jurnal Comparative Politics, April 1970), Rustow menguraikan masa transisi menuju demokrasi yang diwarnai dengan the battle, pertarungan atau perseteruan antara pendukung demokrasi dengan para pembela status quo. Dalam situasi ini, proses demokratisasi berada dalam kegamangan, hingga memicu hadirnya the stalemate (situasi kebuntuan) karena para elit yang berkuasa mengalami kelelahan oleh sebab perseturuan yang tak habis-habis dan berkepanjangan tadi.

Demikianlah, proses transisi menuju demokrasi akhirnya memasuki fase akhir, fase konsolidasi yang disebutnya dengan istilah the habituation phase.  Di fase ini terjadi tawar-menawar, kompromi-kompromi antar faksi atau kelompok yang berseteru. Sialnya, dalam banyak kasus pada fase kompromis inilah gejala neo-otoritarianisme kerap menyelinap diam-diam lalu kembali menguasai panggung politik, menggeser demokrasi yang belum sepenuhnya terkonsolidasi.

 

Ironi dan Distorsi

Dalam pola dasar yang sama, meski dengan ekspresi kasus yang beragam, transisi demokrasi di Indonesia juga menunjukkan gejala yang tidak jauh berbeda. Pemilu misalnya sebagai salah satu instrumen penting sekaligus penanda paling assertif dari proses demokratisasi, memang telah berhasil digelar dan berlangsung dengan relatif baik.

Kekuatan-kekuatan non-demokratik seperti militer berhasil direposisi pada lokus yang seharusnya. Partisipasi politik rakyat terus meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan, otonomi lokal berhasil diperluas untuk memastikan rakyat di daerah berperan efektif dan determinatif mengurus daerahnya sendiri-sendiri. Ringkasnya, pada bagian-bagian tertentu, demokrasi sudah terkonsolidasi dengan baik.

Akan tetapi di sisi capaian-capaian prestatif itu, sepanjang lebih dari dua dekade pasca orde baru ini sesungguhnya juga terus hadir sejumlah problematika sosio-politik, deretan paradoks yang menyertai perjalanan transisi demokrasi sekaligus potensial dapat merusak capaian-capaian baik yang telah ditorehkan.

Mulai dari fenomena local strongman dan local boss yang menghegemoni kepolitikan lokal di berbagai daerah, gejala shadow state, praktik politik transaksional, politisasi identitas dan polarisasi berbasis primordialisme, serta hasrat memberi ruang kembali pada kekuatan politik non-demokratik (militer). Hingga yang terbaru dan paling riuh diperbincangkan belakangan ini. Yakni gejala bengkitnya politik dinasti di level nasional, hidupnya kembali praktik kolusi, korupsi dan nepotisme, serta dominasi oligarkhi di panggung kekuasaan.

Meski ikhtiar bersama mengonsolidasikan demokrasi sudah berlangsung lebih dari dua dekade, Pemilu 2024 yang baru saja selesai dihelat dan perkembangannya belakangan ini mengisyaratkan bahwa fase transisi demokrasi Indonesia masih akan berlangsung dan menghadapi berbagai kemungkinan terjadinya setback. Kembali ke watak otoritarianisme warisan sejarah rezim orde baru.

Dalam konteks ini berbagai paradoks demokratisasi seperti kooptasi kekuasaan terhadap lembaga hukum dan peradilan, praktik nepotisme, mobilisasi aparatur negara, dan dugaan adanya intervensi terhadap penyelenggara Pemilu yang menyertai proses perhelatan Pemilu 2024 lalu merupakan gejala-gejala indikatif yang jika dibiarkan dapat menjadi faktor perusak demokrasi yang sebetulnya relatif sudah cukup terkonsolidasi sebelumnya.

 

Politik Kartel

Demikian pula kecenderungan makin menguatnya gejala kartelisasi partai politik pasca Pemilu 2024, yang ditandai dengan hasrat besar partai-partai untuk bergabung kedalam pemerintahan baru. Partai politik kartel adalah partai yang memanfaatkan segala sumberdaya negara untuk mempertahankan posisi (zona nyamannya) dalam sistem politik.

Premis dasar dari teori politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain. Melainkan berkolusi untuk saling melindungi kepentingan kolektif mereka di dalam sistem politik atau dalam konteks tatakelola kekuasaan negara. Berubahnya dengan cepat haluan politik Nasdem dan PKB pasca Pemilu kemarin merupakan salah satu contoh sederhana yang mudah dibaca dan difahami.

Fenomena kartelisasi partai politik ini nampaknya bakal makin marak dan vulgar dalam waktu dekat, yakni ketika proses kandidasi Pilkada dimulai. Dalam proses kandidasi ini nanti partai-partai praktis akan kembali ke “stelan awal,” default. Kembali pada watak purbanya, yakni berburu kekuasaan semata-mata untuk terus berkuasa dan selama mungkin menikmati berkah kekuasaan itu sambil diam-diam “mensterilisasi diri” dari semangat menawarkan perubahan di daerah.

Maka fokus mereka dalam pengajuan kandidat-kandidat kepala daerah adalah bagaimana menjadi pemenang atau ikut menjadi bagian dari barisan koalisi yang potensial memenangi kontestasi. Tidak peduli bahwa pada Pemilu kemarin visi dan program mereka saling berseberangan, bahkan secara ideologis berada posisi saling berhadapan.

Pun tidak akan merasa penting dengan berbagai persoalan kedaerahan, yang seharusnya menjadi perhatian serius untuk dicarikan jalan keluarnya melalui momentum rotasi kekuasaan kepala daerah dengan memajukan kandidat-kandidat yang kompeten, berpengalaman dan memiliki integritas serta siap dengan gagasan-gagasan visioner.

Merawat demokrasi yang sudah terkonsolidasi baik sejauh ini memang tidak mudah. Berbagai hambatan dan batu sandungan datang silih berganti. Namun demikian, harapan tidak boleh meredup. Dan Pilkada mendatang, semoga saja masih bisa menjadi pintu masuk untuk menggelorakan harapan pembaruan di berbagai daerah.   

  

Bagikan Artikel Ini
img-content
Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler