Iklan Menyesatkan dan Promosi Produk Ilegal oleh Influencer

Sabtu, 3 Mei 2025 19:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Media Sosial
Iklan

Kasus Pepsodent dan Rachel Vennya mencerminkan tantangan etika komunikasi di era digital dan pasar bebas.

***

Dunia pemasaran dan media sosial kembali diguncang oleh dua kasus besar yang menyorot pelanggaran serius terhadap etika komunikasi. Satu kasus melibatkan perusahaan multinasional dengan iklan yang dinilai menyesatkan publik, dan kasus lainnya berasal dari kalangan influencer media sosial yang secara tidak bertanggung jawab mempromosikan produk kesehatan tanpa izin resmi.

Fenomena ini menunjukkan bahwa baik institusi besar maupun individu di era digital memiliki tanggung jawab moral dan hukum dalam menyampaikan informasi kepada publik.

Kasus 1: Iklan Pemutih Gigi Pepsodent Disorot BPOM

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada awal 2025, iklan produk Pepsodent White Now menjadi perbincangan setelah dinilai menyesatkan publik. Dalam tayangan televisi dan digitalnya, iklan tersebut mengklaim bahwa pasta gigi ini mampu “memutihkan gigi dalam 3 hari dengan hasil seperti treatment klinik.”

Namun, hasil investigasi BPOM dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menemukan bahwa tidak ada uji klinis independen yang membuktikan klaim tersebut. Bahkan, dalam kemasannya sendiri tidak dijelaskan bahwa efek "pemutihan" yang dimaksud bersifat sementara karena hanya menutupi noda melalui efek optik, bukan memutihkan secara medis.

Pelanggaran Etika:

Kasus ini merupakan pelanggaran terhadap kode etik periklanan, khususnya prinsip truthfulness, evidence-based claims, dan non-deception. Konsumen memiliki hak atas informasi yang akurat dan tidak menyesatkan. Ketika sebuah merek menyampaikan klaim berlebihan yang tidak disertai bukti ilmiah, itu termasuk manipulasi psikologis terhadap konsumen.

Solusi dan Rekomendasi:

Pepsodent sebagai brand besar seharusnya lebih berhati-hati dalam menyusun pesan iklan. Klaim seperti “memutihkan dalam 3 hari” sebaiknya dilengkapi dengan bukti klinis atau disampaikan dengan penjelasan yang lebih akurat, misalnya menyebut bahwa efek hanya bersifat kosmetik sementara. Selain itu, pihak agensi dan penyiar iklan juga seharusnya menjalankan proses verifikasi internal untuk menyaring konten sebelum tayang.

Regulator seperti BPOM perlu menegakkan sanksi tegas dan memberikan pedoman khusus untuk iklan-iklan yang menyangkut produk kesehatan atau kebersihan diri.

Kasus 2: Selebgram Rachel Vennya Promosikan Produk Tanpa Izin Edar

Pada bulan Maret 2024, selebgram terkenal Rachel Vennya menuai kritik setelah mempromosikan suplemen herbal bernama GlutaGlow+, yang diklaim mampu “membersihkan kulit dari jerawat dan membuat putih natural hanya dalam seminggu.” Produk tersebut ternyata belum memiliki izin edar dari BPOM dan tidak tercatat sebagai suplemen kesehatan resmi.

Dalam unggahan di Instagram, Rachel tidak mencantumkan label paid partnership, padahal diketahui bahwa ia menerima bayaran untuk promosi tersebut. Lebih buruknya, ia menyarankan konsumsi harian tanpa anjuran dokter atau label dosis resmi.

Pelanggaran Etika:

Rachel melanggar beberapa prinsip etika media sosial, termasuk:

  • Transparency: Tidak mengungkapkan bahwa konten tersebut adalah iklan berbayar.

  • Responsibility: Mempromosikan produk kesehatan tanpa izin, yang dapat membahayakan pengikutnya.

  • Accountability: Tidak memverifikasi legalitas dan keamanan produk sebelum menyebarkannya ke jutaan audiens.

Solusi dan Rekomendasi:

Sebagai figur publik dengan pengaruh besar, Rachel seharusnya menerapkan prinsip disclosure dan due diligence sebelum menerima kerjasama komersial, terutama yang menyangkut kesehatan. Influencer wajib mencantumkan tagar seperti #Iklan atau #KerjasamaBerbayar agar audiens tahu bahwa konten tersebut bersifat promosi.

Platform seperti Instagram juga harus aktif mengedukasi kreator tentang kewajiban hukum dan etika promosi, serta memperkuat sistem pelaporan publik untuk konten yang menyesatkan atau ilegal. Sementara itu, masyarakat diharapkan semakin kritis terhadap rekomendasi produk dari tokoh publik.

Refleksi: Kepercayaan Publik Harus Dijaga oleh Semua Pihak

Kasus Pepsodent dan Rachel Vennya mencerminkan tantangan etika komunikasi di era digital dan pasar bebas. Ketika informasi disampaikan melalui media massa dan media sosial, ada potensi besar untuk mempengaruhi keputusan publik, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Kepercayaan adalah aset jangka panjang dalam komunikasi publik. Tanpa kejujuran dan tanggung jawab, baik brand maupun influencer akan kehilangan kredibilitas. Oleh karena itu, edukasi etika harus menjadi bagian dari budaya industri kreatif dan pemasaran, agar komunikasi publik tetap sehat dan berpihak pada kepentingan konsumen.

 

*)  Artikel ini adalah tugas dari mata kuliah Kampanye Promosi Multimedia yang diampu Rachma Tri Widuri, S.Sos.,M.Si.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler