Di era digital yang semakin kompleks, bagaimana kita mengelola dan mengintegrasikan informasi menjadi tantangan yang fundamental. EDAS (Eksternal Detection Akumulatif Strategic) muncul sebagai metodologi revolutionary yang mengubah cara kita memahami pengembangan informasi data dalam jaringan integral. Metodologi ini tidak hanya berkaitan dengan teknologi, melainkan juga dengan bagaimana struktur matematika mempengaruhi sistem bahasa dan komunikasi manusia. EDAS beroperasi melalui prinsip-prinsip yang sederhana namun powerful. Eksternal Detection memungkinkan sistem untuk mengidentifikasi pola-pola informasi dari luar sistem yang sedang dianalisis, menciptakan objektivity yang necessary untuk accurate assessment. Komponen Akumulatif memastikan bahwa data yang dikumpulkan tidak fragmentary, melainkan terintegrasi dalam progression yang meaningful dan comprehensive. Strategic element mengarahkan seluruh proses menuju tujuan yang specific dan measurable, memastikan bahwa pengembangan informasi memiliki directionality yang clear.

Kongkrisitas Hukum dan Kontekstualisasi Analisis Studi Kasus Tersangka Lokataru

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
CNN Indonesia Lokataru Ungkap Kronologi Penangkapan Aktivis Delpedro Marhaen
Iklan

Keadilan pidana hanya akan tegak bila hukum membaca realitas dengan jernih

EDAS

EDAS


Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.


Dalam dinamika sosial-politik, demonstrasi merupakan sarana artikulasi suara rakyat yang dijamin oleh konstitusi. Namun, di titik tertentu, demonstrasi bisa bertransformasi menjadi kerusuhan. Pertanyaan hukum yang krusial adalah siapakah yang harus bertanggung jawab atas kerusakan, baik materil maupun immateril, yang ditimbulkannya? 

 CNN Indonesia Lokataru Ungkap Kronologi Penangkapan Aktivis Delpedro Marhaen

- Delpedro Marhaen.

Kasus yang menimpa Direktur Lokataru menghadirkan tantangan analisis. Ia dituduh menghasut, tetapi apakah tuduhan itu berdiri di atas bukti kongkrit, atau sekadar interpretasi hukum yang ditarik ke ranah kriminalisasi? Di sini penting membedakan antara kongkrisitas hukum dan kontekstualisasi peristiwa. 

Kongkrisitas hukum menuntut adanya bukti faktual: ujaran, tindakan, atau instruksi yang dapat dibuktikan memiliki hubungan kausal langsung dengan kerusuhan. Tanpa bukti itu, maka hukum kehilangan pijakan objektifnya. Sebaliknya, kontekstualisasi peristiwa mengingatkan bahwa kerusuhan bisa lahir dari akumulasi faktor: emosi massa, respon aparat, situasi ruang publik yang tidak terduga. Dalam kondisi ini, menyematkan tanggung jawab pidana pada satu individu berisiko reduksionis. 

Analogi sederhana bisa diambil dari api dan bensin. Api yang kecil bisa padam, tetapi jika ada bensin di sekitarnya, api bisa meledak menjadi kebakaran besar. Apakah salah sepenuhnya pada si pembawa korek api? Atau ada tanggung jawab konteks lain, yaitu keberadaan bensin yang memperbesar dampak? Demikian pula kerusuhan: ada faktor struktural, psikologis, dan sosial yang bekerja. 

Dengan demikian, dalam menilai kasus penghasutan, hukum tidak cukup berhenti pada teks ujaran atau status media sosial. Ia harus diuji dalam konteks: apakah ujaran itu benar-benar ditujukan sebagai pemicu kerusuhan, ataukah ia bagian dari kebebasan berekspresi yang kemudian dimaknai berbeda oleh massa dalam situasi emosional? 

Kesimpulannya, kerusuhan bisa lahir dari kesepakatan, bisa pula dari kelalaian. Tetapi pertanggungjawaban pidana haruslah kongkrit, bukan asumtif. Jika hukum memaksakan diri pada tafsir yang tidak sejalan dengan realitas kontekstual, maka ia berisiko menjadi alat kriminalisasi, bukan keadilan. 


 Catatan Kaki Akademik 

1. Simons, G. (2015). Criminal Law: Doctrine and Theory. Oxford University Press. — Membahas asas personal liability dalam hukum pidana. 

2. Hart, H.L.A. (1968). Punishment and Responsibility. Oxford: Clarendon Press. — Menjelaskan perbedaan antara dolus (kesengajaan) dan culpa (kelalaian). 

3. Muladi & Priyatno, D. (2012). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Bandung: Alumni. — Relevan dalam memahami pertanggungjawaban kolektif. 

4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, Pasal 160–161 tentang penghasutan. 

 


Penutup 

Keadilan pidana hanya akan tegak bila hukum membaca realitas dengan jernih. Kasus Direktur Lokataru membuka ruang refleksi: apakah kita sedang menegakkan hukum, atau justru sedang mempermainkan tafsir hukum untuk tujuan politik? Di sinilah kongkrisitas dan kontekstualisasi menjadi kunci: hukum harus berdiri di atas bukti nyata, dan pada saat yang sama, tidak boleh mengabaikan kompleksitas sosial yang melingkupi peristiwa. 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler