Sikap Nasionalisme dalam Novel Student Hidjo: Kritik Sosial terhadap Kolonialism

Kamis, 29 Mei 2025 16:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kegelisahan Setelah Membaca Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
Iklan

Student Hidjo kritik kolonialisme dan ketidakadilan, tampilkan semangat nasionalisme serta perlawanan budaya pribumi terhadap dominasi Barat.

***

Novel Student Hidjo karya Marco Kartodikromo bukan sekadar kisah tentang pemuda pribumi yang menuntut ilmu di Belanda, tetapi juga merupakan karya sastra yang sarat kritik sosial terhadap kolonialisme. Melalui tokoh Hidjo, Marco menyuarakan berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami rakyat pribumi, mulai dari ketimpangan status sosial, diskriminasi pendidikan, hingga benturan budaya antara Timur dan Barat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan gaya penulisan yang tajam namun menyentuh, novel ini menjadi wujud perlawanan kultural terhadap dominasi kolonial dan menunjukkan semangat nasionalisme yang tumbuh dari kesadaran untuk mempertahankan harga diri, identitas, dan budaya lokal.

Ketimpangan Status Sosial antara Pribumi dan Belanda

Kritik pertama yang sangat menonjol dalam novel ini adalah bagaimana pemerintah kolonial dan masyarakat Belanda memandang rendah rakyat pribumi. Mereka dianggap kotor, bodoh, dan malas. Dalam salah satu bagian novel, muncul kutipan yang menyatakan bahwa orang Jawa adalah bangsa yang "paling busuk sendiri." Pandangan ini jelas merendahkan martabat bangsa dan menunjukkan rasisme yang mengakar dalam sistem kolonial.

Ketidakadilan dalam Pendidikan

Novel ini juga mengkritik ketidakadilan dalam akses pendidikan. Meskipun Hidjo adalah anak muda yang rajin belajar, ia tetap dianggap rendah oleh orang-orang Belanda. Salah satu adegan menunjukkan bagaimana Hidjo disindir saat menonton pertunjukan teater, seolah-olah kecerdasannya tidak akan pernah sebanding dengan orang Eropa. Ini menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial membatasi perkembangan intelektual pribumi karena menganggap mereka tidak mampu.

Perlakuan Tidak Sopan dan Merendahkan

Dalam kisah ini, Hidjo juga sering diperlakukan tidak sopan oleh perempuan-perempuan Belanda. Misalnya, ketika ia disuruh mencarikan jalan kering agar sepatu dan pakaian mereka tidak kotor. Tindakan ini menunjukkan bagaimana orang pribumi diperlakukan seperti pelayan, bahkan ketika mereka sedang menempuh pendidikan tinggi di Eropa.

Perbedaan Budaya Timur dan Barat

Marco juga menyoroti perbedaan nilai-nilai budaya antara Timur dan Barat. Perempuan-perempuan Belanda digambarkan lebih bebas dan genit, sementara budaya Jawa dianggap lebih sopan dan penuh dengan tata krama. Hal ini menjadi pengingat bahwa tidak semua budaya asing cocok diterapkan di masyarakat pribumi, karena bisa bertabrakan dengan nilai-nilai lokal.

Perlakuan Berbeda terhadap Pribumi di Tanah Belanda

Ironisnya, ketika Hidjo berada di Belanda, ia justru diperlakukan lebih baik dibandingkan saat berada di tanah jajahan. Ini menunjukkan bahwa diskriminasi yang diterimanya bukan semata-mata berasal dari orang Belanda, tetapi dari sistem kolonial yang sengaja diciptakan untuk menekan rakyat pribumi. Orang Belanda baru menghargai pribumi jika mereka memiliki status atau kemampuan ekonomi.

Penolakan terhadap Perkawinan Campuran

Dalam novel ini juga diceritakan bahwa masyarakat, termasuk keluarga Hidjo sendiri, menolak pernikahan antara pribumi dan bangsa Eropa. Ibunya tidak ingin Hidjo jatuh cinta pada wanita Belanda karena dianggap bisa merusak tradisi. Marco menutup ceritanya dengan penegasan bahwa bangsa Timur tetaplah Timur, dan bangsa Barat tetaplah Barat, sebagai penolakan terhadap pencampuran budaya yang dianggap merugikan identitas lokal.

Nasionalisme dan Perlawanan Budaya

Melalui Student Hidjo, Marco Kartodikromo menyampaikan kritik sosial terhadap kolonialisme dan menunjukkan bagaimana rakyat pribumi berjuang mempertahankan harga diri dan budaya mereka. Novel ini tidak hanya menggambarkan ketidakadilan sistem kolonial, tetapi juga menunjukkan adanya perlawanan kultural atau cultural resistance—usaha mempertahankan budaya lokal dari pengaruh asing yang menindas.

Dalam pandangan teori poskolonial, apa yang dilakukan Marco dalam novelnya adalah bentuk dari epistemic violence (kekerasan dalam dunia pengetahuan) yang dilakukan oleh kolonialisme, dan bentuk perlawanan terhadapnya melalui karya sastra. Dengan kata lain, Student Hidjo adalah wujud nyata dari nasionalisme awal yang lahir dari kesadaran akan pentingnya menjaga harga diri, budaya, dan hak sebagai bangsa yang merdeka.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler