Norma Sosial Tokoh Midah dalam Novel Midah Simanis Bergigi Emas

Jumat, 30 Mei 2025 19:04 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Midah Simanis bergigi emas
Iklan

Midah dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas tertekan norma agama, sopan santun, susila, dan hukum tak tertulis yang batasi kebebasan ekspresi.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu tidak terlepas dari norma-norma sosial yang membentuk perilaku dan pola pikirnya. Begitu juga dalam karya sastra, norma-norma ini seringkali menjadi tema yang diangkat oleh pengarang untuk menggambarkan realitas sosial. Dalam novel Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Midah menjadi representasi dari benturan berbagai norma sosial yang berlaku di masyarakat, khususnya dalam hal agama, kesopanan, kesusilaan, dan norma hukum tidak tertulis.

Norma Agama dan Fanatisme

Hadji Abdul, ayah Midah, adalah seorang tokoh yang sangat taat beragama. Dalam novel ini, ia digambarkan menjalani kehidupan dengan penuh keyakinan terhadap ajaran agama yang diyakininya. Namun, ketegasan imannya sering kali berubah menjadi fanatisme, yang mengarah pada pengekangan kebebasan, terutama terhadap anak perempuannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai contoh, ketika Midah memutar lagu keroncong yang dianggapnya haram, Hadji Abdul langsung marah dan menampar Midah tanpa memberikan ruang untuk berdiskusi. Tindakan ini mencerminkan bagaimana norma agama, yang seharusnya menjadi pedoman hidup untuk menciptakan kedamaian, malah menjadi alat untuk menekan kebebasan individu, terutama perempuan. Fanatisme agama seperti ini bisa membatasi perkembangan pribadi dan emosi anak dalam keluarga.

Norma Kesopanan dalam Masyarakat

Selain norma agama, norma kesopanan juga memainkan peran besar dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap individu, terutama perempuan. Ketika Nyonya Hadji Abdul mendengar bahwa Midah bekerja sebagai penyanyi di radio dan tampil di restoran, ia merasa malu. Menurut pandangannya, menjadi penyanyi, apalagi tampil di restoran, tidak sesuai dengan statusnya sebagai anak seorang haji. Norma sosial yang ada menganggap pekerjaan Midah sebagai sesuatu yang tidak pantas, meskipun itu adalah bentuk usaha dan kreativitas. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat, seringkali profesi dan pilihan hidup seorang wanita sangat bergantung pada status sosial dan pandangan orang lain, bukan pada usaha dan niat baiknya.

Norma Kesusilaan dan Stigma terhadap Perempuan

Dalam Midah Simanis Bergigi Emas, perempuan juga sering kali dihakimi berdasarkan norma kesusilaan yang ada di masyarakat. Salah satu contohnya adalah ketika bidan mengomentari kondisi Midah yang melahirkan tanpa pernikahan yang sah. Bidan tersebut menilai Midah berdasarkan penampilannya dan keadaan pribadinya tanpa mengetahui latar belakang atau apa yang telah terjadi pada dirinya. Dalam hal ini, perempuan sering menjadi sasaran penilaian dan stigma sosial hanya karena mereka tidak memenuhi standar moral yang ditetapkan oleh masyarakat. Midah tidak merespons ucapan bidan itu, bukan karena tidak mendengarnya, tetapi karena ia sedang berjuang dengan rasa sakit fisik dan mental yang besar.

Norma Hukum Tidak Tertulis: Tekanan terhadap Kehormatan Keluarga

Tekanan terhadap perempuan juga bisa datang dari norma hukum tidak tertulis yang mengatur tentang kehormatan keluarga. Midah merasa cemas ketika memikirkan pandangan masyarakat tentang dirinya dan anak yang dikandungnya. Ia khawatir anaknya akan dicap sebagai "anak jadah" hanya karena ia melahirkan tanpa pernikahan yang sah. Dalam masyarakat, norma sosial yang ketat seringkali mengharuskan perempuan untuk menjaga harga diri dan kehormatan keluarga, bahkan jika itu bertentangan dengan kenyataan yang mereka hadapi. Label buruk seperti ini sering kali melekat pada perempuan, bahkan sebelum anak itu lahir. Masyarakat menilai perempuan tidak hanya berdasarkan perbuatannya, tetapi juga pada bagaimana perilaku mereka dianggap mencerminkan kehormatan keluarganya.

Novel Midah Simanis Bergigi Emas memberikan gambaran yang kuat tentang bagaimana norma sosial, baik yang bersumber dari agama, kesopanan, kesusilaan, maupun hukum tidak tertulis, dapat membentuk dan memengaruhi kehidupan seorang perempuan. Midah, sebagai tokoh utama, menjadi cerminan dari perempuan yang terjepit oleh berbagai norma yang ada di masyarakat. Novel ini juga mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana norma-norma sosial, ketika diterapkan secara kaku dan tanpa empati, dapat menekan kebebasan individu, terutama perempuan, dan menghalangi mereka untuk berkembang dan menjadi diri mereka sendiri.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler