Advokat dan Konsultan Hukum, \xd Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership (Rebuild)
Menolak Lupa VOC
Selasa, 10 Juni 2025 13:49 WIB
Praktek penjajahan dan eksploitasi yang dilakukan VOC yang sudah berlalu beratus tahun lalu, perlu dijadikan sebagai cermin di masa kini
Prolog
Tjerita ini benar-benar terdjadi, di Batavia ratoesan taon jang laloe. Ditjatat dalam sejarah, tjerita kongsi dagang, jang lahir tanggal 20 Maart 1602. Ini adalah tjerita tentang VOC, satoe kongsi dagang atau dalam istilah sekarang, korporasi, jang kemoedian oleh pemerintah kerajaan Belanda diberi wewenang oentoek bertindak sebagai pemerintah, berbeda dari negari-negari bekas djadjahan di negari noon djauh, dimana pemerintah djustroe beroeperasi seperti korporasi.
Kala itu, pelabuhan Batavia belum seramai Jakarta hari ini. Namun debur ombak dan terik mentari di pesisir utara Jawa telah menyaksikan jejak langkah para pedagang dari negeri seberang lautan. Mereka datang bukan sekadar berdagang rempah dan barang dagangan, tapi juga membawa niat tersembunyi yang jauh lebih besar: kekuasaan. Di tengah pusaran sejarah itu, satu kongsi dagang muncul dan kelak menjadi lambang kolonialisme di kepulauan ini, Vereenigde Oostindische Compagnie, atau yang kita kenal sebagai VOC.
Bayangkanlah sejenak kota Batavia di awal abad ke-17. Kanal-kanal buatan mengalir seperti urat nadi di tubuh kota, bangunan bergaya Eropa menjulang dengan atap merah bata, dan bau cengkeh serta lada memenuhi udara. Tapi di balik keindahan permukaan itu, berdenyut ambisi dan tipu daya yang mengakar dalam.
Dari Kongsi Dagang Menjadi Penguasa
VOC bukanlah lembaga biasa. Ia lahir dari kongsi dagang, tetapi tumbuh menjadi kekuatan militer dan politik. Didirikan pada 20 Maret 1602 di Belanda, VOC hadir di Nusantara dengan satu tujuan yang teramat jelas, untuk monopoli rempah-rempah. Mereka tidak datang dengan niat menjelajah atau menjalin persahabatan. Mereka datang dengan niat menguasai, dengan strategi, dengan kekuatan senjata, dan yang paling ampuh, strategi perjanjian dengan raja-raja lokal.
Mereka sadar, kekuatan militer semata tak cukup untuk mengendalikan kepulauan seluas ini. Maka, VOC mulai menebarkan jaring halus, bukan untuk menangkap ikan, tapi untuk mengikat raja-raja lokal dalam tali kekuasaan yang tak tampak mata. Inilah awal dari politik devide et impera: pecah-belah dan kuasai.
Raja-raja yang Terjebak Jaring Emas
Para petinggi VOC tahu betul, bila ingin menguasai negeri ini, dekati para penguasanya. Jadikan mereka sekutu, lalu perlahan, tanpa disadari, jadikan mereka boneka. Dengan menyusup ke dalam konflik dinasti, menebar janji perlindungan, dan menawarkan bantuan senjata, VOC masuk ke dalam urusan dalam negeri berbagai kerajaan. Sebagai gantinya? Perjanjian yang menjerat.
Perjanjian itu tidak setara, tetapi asimetris, di mana satu pihak menyerahkan hampir segalanya, dan pihak lain memegang kendali. Salah satu contohnya adalah Perjanjian Bongaya tahun 1667 antara VOC dan Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin yang gagah berani terpaksa menandatangani dokumen yang menyakitkan hati bangsanya: mengakui monopoli VOC, menghancurkan kebun cengkeh, dan mengusir pedagang asing lainnya. Semua demi mempertahankan sepotong sisa dari kerajaannya.
Di Jawa, VOC bahkan lebih lihai. Mereka ikut campur dalam suksesi kerajaan Mataram, mengadu saudara dengan saudara. Hingga akhirnya pada Perjanjian Giyanti tahun 1755. Mataram terpecah dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Di balik pecahan itu, berdirilah VOC, tersenyum lebar, mendapatkan wilayah baru dan hak monopoli atas hasil bumi.
Raja-raja yang bersekutu dengan VOC mendapat imbalan: uang, keamanan, dan kekuasaan. Tapi mereka juga menjelma menjadi alat. Alat pemungut pajak. Alat pemadam pemberontakan. Alat untuk menekan rakyat sendiri. Maka lahirlah lingkaran setan, kolusi, korupsi, dan kemiskinan. Sebuah drama kelam di panggung kerajaan-kerajaan Nusantara.
Membangun Jalan untuk Mengeruk Harta
Dengan modal perjanjian di tangan, VOC membangun kota dan jalan. Tetapi jangan bayangkan jalan itu untuk rakyat bepergian atau membawa hasil panen ke pasar. Tidak. Jalan-jalan itu dibangun agar kopi dari Priangan, gula dari Jawa Tengah, dan rempah dari Maluku bisa mengalir lancar ke pelabuhan. Dari sana, kapal-kapal VOC membawanya ke Amsterdam, di mana kekayaan Nusantara dijual dengan harga berlipat ganda.
Batavia sendiri adalah panggung utama eksploitasi. Kanal-kanalnya cantik, arsitekturnya menawan. Tapi siapa yang membangunnya? Para pekerja paksa, yang dipungut dan dimobilisasi raja-raja lokal dari desa-desa, bekerja tanpa upah, kadang tanpa makanan cukup. Mereka bukan membangun kota untuk mereka tinggali, melainkan kota untuk mengokohkan dominasi VOC.
Kereta api, jalan raya, gudang besar, dan benteng kokoh. Semuanya dibangun demi kelancaran ekspor. Rakyat hanya menghirup debu dan bercucur keringat. Sementara VOC menghitung keuntungan.
Kebangkrutan
Namun, seperti kisah dalam dongeng kelam, kekuasaan yang dibangun di atas penindasan tak akan bertahan selamanya. VOC, yang dulunya disegani, akhirnya runtuh oleh penyakitnya sendiri, yaitu korupsi yang merajalela. Dari gubernur jenderal hingga pegawai kecil, semua ingin cepat kaya. Penyalahgunaan wewenang, penyelundupan, dan manipulasi menjadi penyakit menular.
Raja-raja lokal yang tadinya dijadikan sekutu pun ikut dalam permainan kotor. Mereka berpesta di atas penderitaan rakyat. Tapi pesta itu memakan biaya tinggi. Ditambah persaingan dari kongsi dagang lain, dan beban militer yang semakin berat, VOC akhirnya kehabisan napas.
Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dibubarkan. Bangkrut. Tinggal namanya yang tercatat di buku sejarah. Tapi jejaknya masih hidup di sistem pemerintahan kolonial yang menggantikannya, di struktur sosial yang timpang, dan di warisan kebudayaan yang dipenuhi luka. Bahkan warisan kebobrokan administasi bercampur praktek lumpur korupsi, kolusi nepotisme dan perampasan kekayaan alam terus berlangsung melitasi berbagai zaman.
Epilog
Tjerita ini benar-benar terdjadi, di Batavia ratoesan taon jang laloe. Boekan sekadar kisah lampau, tapi tjeremin retak jang memantoelkan wajah kita. Karna sejarah boekan hanja oentoek dikenang, tapi oentoek dipahami, agar kita tahu dari mana loeka ito berasal, dan mengapa ia tak koenjoeng sembuh. Karna sejarah, seloe berolang.
Baca Juga
Artikel Terpopuler