Tatangan dan Peluang untuk Peningkatan Keadilan Fiskal
Kamis, 19 Juni 2025 21:47 WIB
REFORMASI HUKUM PAJAK DI INDONESIA
1. Tantangan dalam Reformasi Hukum Pajak di Indonesia
Dasar hukum pajak di Indonesia mencakup sejumlah undang-undang dan peraturan yang mengatur sistem perpajakan di negara ini. Undang-undang inti termasuk Pajak Penghasilan (PPh) yang mengatur pajak penghasilan individu dan badan usaha, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku untuk penjualan barang dan jasa. Terdapat juga undang-undang yang mengatur pajak materai, kepabeanan, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak atas dokumen hukum, dan pajak hiburan.
Hal lain yang menjadi dasar hukum ini yaitu peraturan pemerintah, kebijakan pajak, dan interpretasi otoritas pajak juga memengaruhi praktik perpajakan di Indonesia. Penting bagi semua pihak yang terlibat dalam urusan perpajakan di Indonesia untuk memahami dasar hukum ini dan menyadari bahwa peraturan dan ketentuan perpajakan dapat berubah seiring waktu melalui perubahan undang-undang, peraturan pemerintah, dan interpretasi pajak, oleh karenanya terjadi ketidakpastian hukum pajak di Indonesia.
Ketidakpastian hukum pajak di Indonesia merupakan kompleksitas dan ketidakjelasan yang kerap mewarnai sistem peraturan perpajakan di negara ini. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh dalam hal termasuk seringnya perubahan aturan pajak, interpretasi yang ambigu dari peraturan, serta perbedaan dalam praktik administrasi pajak di berbagai daerah. Ketidakpastian ini memengaruhi berbagai pihak mulai dari wajib pajak hingga investor (Fauzukhaq et al., 2020).
Wajib pajak sering kali merasa sulit untuk memahami tata cara perpajakan yang berubah-ubah, sedangkan investor mungkin merasa enggan untuk berinvestasi dalam situasi di mana ketentuan pajak dapat berubah sewaktu-waktu. Dampak dari ketidakpastian ini adalah rendahnya kepatuhan pajak dan potensi hilangnya investasi yang seharusnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi.
Upaya reformasi hukum pajak menjadi penting untuk menciptakan lingkungan hukum yang lebih stabil dan dapat diandalkan, serta untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia.
Salah satu masalah yang paling mencolok adalah ketidakmampuan otoritas pajak untuk mengumpulkan pajak dengan efisien. Terdapat kesenjangan besar antara potensi pendapatan pajak dan yang sebenarnya terkumpul. Faktor-faktor seperti rendahnya kepatuhan wajib pajak yang hanya mencapai 14,76 juta dari total 19,01 juta, praktik pencucian uang, dan praktik perpajakan ilegal telah menjadi penyebab utama dari masalah ini serta terdapat juga masalah serius dalam sistem pelaporan dan pengawasan yang memungkinkan praktik-praktik perpajakan yang meragukan berkembang tanpa kendali.
Rendahnya kepatuhan pajak tersebut Ketidakmampuan pemerintah untuk mengumpulkan pajak dengan efisien berdampak negatif pada penerimaan negara dan pembangunan berkelanjutan yang dalam waktu panjang juga mengarah pada ketidaksetaraan dalam pembayaran pajak, di mana sebagian wajib pajak menghindari kewajiban mereka sementara yang lain memenuhinya serta dapat mengancam stabilitas fiskal negara dan kredibilitas sistem perpajakan.
Upaya perbaikan dalam administrasi pajak menjadi sangat penting dan diperlukan investasi dalam pelatihan petugas pajak, penguatan peraturan perpajakan, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pajak. Perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman wajib pajak tentang kewajiban mereka dan konsekuensi dari pelanggaran pajak. Indonesia dapat mengoptimalkan pendapatan pajaknya, menciptakan lingkungan perpajakan yang lebih adil, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengatrasi masalah-masalah ini.
Perlu juga dilakukan perlawanan terhadap pihak-pihak terkait yang mengacu pada berbagai tindakan atau upaya yang dilakukan oleh kelompok atau individu yang memiliki kepentingan terhadap menjaga status quo atau kebijakan perpajakan yang menguntungkan mereka, sehingga mereka menentang atau menghambat usaha-usaha reformasi dalam sistem perpajakan.
Pihak-pihak terkait ini bisa termasuk: 1) Pelaku Industri: Beberapa sektor industri atau perusahaan mungkin merasa bahwa reformasi perpajakan dapat mengurangi keuntungan mereka. Mereka dapat melakukan lobi atau kampanye melalui asosiasi industri mereka untuk mempengaruhi kebijakan perpajakan agar tetap menguntungkan bagi mereka; 2) Lobi dan Pengaruh Politik: Beberapa kelompok memiliki hubungan politik yang kuat dan memanfaatkannya untuk melobi agar reformasi pajak tidak dilaksanakan. Mereka dapat mendekati pejabat pemerintah atau anggota legislatif untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan perpajakan;
Lalu 3) Pejabat Pajak yang Korup: Sebagian pejabat pajak mungkin memiliki keterlibatan dalam praktik korupsi dan memperoleh keuntungan dari ketidakpastian atau pelanggaran pajak. Mereka dapat melakukan perlawanan terhadap reformasi yang akan mengurangi peluang korupsi mereka; 4) Wajib Pajak Kaya dan Penghindar Pajak: Individu atau perusahaan yang memiliki aset besar dan telah mendapatkan keuntungan dari celah-celah pajak atau praktik penghindaran pajak mungkin akan berusaha keras untuk menghambat reformasi yang dapat mengurangi peluang mereka untuk memanfaatkan celah tersebut; dan 5) Kelompok Kepentingan Khusus: Terdapat pihak-pihak yang memiliki kepentingan khusus dalam menjaga ketidakpastian hukum pajak, seperti perusahaan yang beroperasi di wilayah dengan pajak khusus atau insentif.
Mereka mungkin menentang reformasi yang dapat mengurangi insentif mereka.
Perlawanan terhadap reformasi oleh pihak-pihak terkait ini dapat menjadi tantangan serius bagi upaya perbaikan sistem perpajakan karena reformasi hukum pajak harus memperhitungkan dinamika politik dan kepentingan yang beragam, dan tetap berfokus pada upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan transparan demi kepentingan umum.
Selain mempertimbangkan pihak-pihak yang mungkin menghalangi kepentingan reformasi, terdapat juga beberapa isu politik dan kebijakan yang mungkin berdampak pada tujuan reformasi hukum pajak itu sendiri, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pajak Digital dan E-Commerce
Isu global tentang perpajakan perusahaan teknologi besar seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple (dikenal sebagai perusahaan GAFA) terus berkembang. Indonesia dan banyak negara lain berjuang untuk mengenakan pajak atas pendapatan yang diperoleh dari operasi mereka di negara tersebut, hal ini telah memicu perdebatan tentang kebijakan pajak internasional.
b. Revisi Peraturan Perpajakan
Pemerintah Indonesia terus merevisi undang-undang dan peraturan perpajakan untuk memperbaiki kerentanannya terhadap praktik penghindaran pajak dan pelanggaran pajak. Beberapa isu yang berkaitan dengan ini termasuk pengenakan pajak atas aset luar negeri, pengurangan tarif pajak, dan penghapusan insentif pajak tertentu.
Revisi peraturan perpajakan dapat mencakup perubahan dalam undang-undang pajak, yang merupakan landasan hukum utama untuk seluruh sistem perpajakan, hal tersebut bisa melibatkan perubahan pada tarif pajak, definisi penghasilan, insentif pajak, dan aturan lain yang mengatur perpajakan. Revisi peraturan pajak seringkali bertujuan untuk menutup celah pajak atau praktik penghindaran pajak yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk mengurangi kewajiban pajak mereka.
c. Pajak Karbon dan Lingkungan
Pajak karbon adalah salah satu instrumen kebijakan yang dirancang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengatasi perubahan iklim. Pajak ini dikenakan pada emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas ekonomi, seperti pembakaran bahan bakar fosil. Pajak karbon bertujuan untuk memberikan insentif bagi perusahaan dan individu untuk mengurangi emisi karbon dengan cara yang ekonomis, sekaligus menghasilkan pendapatan untuk pemerintah. Isu perubahan iklim dan perlindungan lingkungan semakin mempengaruhi kebijakan pajak di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia juga sedang mempertimbangkan pengenakan pajak karbon dan insentif pajak bagi usaha-usaha yang berkelanjutan dari segi lingkungan. Pendapatan yang diperoleh dari pajak karbon biasanya dapat digunakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah untuk mendukung investasi dalam energi terbarukan dan proyek lingkungan, serta untuk mengkompensasi dampak pajak pada konsumen dan bisnis. Salah satu pertimbangan penting dalam perancangan pajak karbon adalah dampaknya pada keadilan sosial, serta kebijakan harus mempertimbangkan cara untuk melindungi kelompok yang rentan terhadap dampak ekonomi dari pajak ini, seperti kelompok berpendapatan rendah.
d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di E-Commerce
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di e-commerce adalah pajak yang dikenakan pada barang atau layanan yang diperjualbelikan secara online. PPN adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambah yang dihasilkan dari setiap tahap distribusi atau penjualan. Dalam konteks e-commerce tersebut berarti bahwa PPN dikenakan pada barang-barang atau layanan yang dijual melalui platform online. Perubahan dalam regulasi PPN untuk e-commerce adalah isu penting, terutama karena perkembangan bisnis online di Indonesia. Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengenakan PPN pada penjualan barang dan layanan e-commerce. PPN di e-commerce dapat membantu mengatasi ketidakadilan dalam sistem perpajakan. Seringkali bisnis konvensional yang memiliki toko fisik membayar PPN, sementara bisnis e-commerce mungkin terhindar dari kewajiban ini. Dengan menerapkan PPN di e-commerce tersebut tentunya semua jenis bisnis diharapkan dapat dikenakan pajak yang sama, menciptakan keadilan dalam sistem pajak.
e. Ketidakpastian Politik
Situasi politik di Indonesia juga berdampak pada reformasi perpajakan. Perubahan pemerintahan dan perubahan dalam komposisi DPR bisa berdampak pada kebijakan perpajakan dan prioritas reformasi. Selama tahun politik ini pemerintah sering kali lebih fokus pada agenda politik dan pemenangan pemilu. Reformasi pajak mungkin tidak menjadi prioritas utama, dan upaya reformasi dapat tertunda atau terhenti sementara. Perubahan kepemimpinan akibat pemilihan umum dapat mengakibatkan perubahan dalam visi dan prioritas kebijakan. Kebijakan perpajakan yang telah direncanakan atau dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya dapat mengalami perubahan signifikan. Sebagai bagian dari upaya kampanye tersebut para politisi sering menjanjikan insentif pajak atau pengurangan tarif pajak untuk mendapatkan dukungan pemilih. Hal ini dapat mengarah pada perubahan dalam kebijakan pajak setelah pemilihan yang dapat memengaruhi penerimaan pajak dan anggaran negara. Situasi politik yang tidak stabil atau ketidakpastian selama tahun politik dapat membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit. Reformasi yang telah direncanakan sebelumnya mungkin tertunda atau terhenti jika ada ketidaksepakatan politik.
f. Pajak Rokok dan Minuman Beralkohol
Pajak rokok dan minuman beralkohol adalah komponen penting dalam sistem perpajakan Indonesia dan memiliki pengaruh signifikan pada reformasi hukum pajak di negara ini. Kenaikan tarif pajak pada produk tembakau dan minuman beralkohol menjadi isu politik yang kontroversial karena melibatkan masalah kesehatan masyarakat dan pendapatan negara. Pajak rokok dan minuman beralkohol adalah salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah Indonesia. Penerimaan pajak dari dua sektor ini berkontribusi signifikan terhadap anggaran negara, yang digunakan untuk mendukung berbagai program dan proyek pemerintah. Tingginya pajak pada rokok dan minuman beralkohol juga dapat menjadi faktor dalam praktik penghindaran pajak atau perdagangan illegal, yang pada jangka yang panjang akan mempengaruhi kepatuhan pajak dan kemampuan negara untuk mengumpulkan pendapatan pajak yang diharapkan.
2. Peluang untuk Meningkatkan Keadilan Fiskal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan yang diambil untuk meningkatkan transparansi dalam pengumpulan, pelaporan, dan penegakan pajak telah membawa dampak positif. Transparansi yang lebih baik telah membantu pemerintah dalam mendeteksi praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak. Upaya pemerintah dalam memberikan informasi yang lebih mudah diakses kepada wajib pajak telah meningkatkan pemahaman mereka tentang kewajiban perpajakan.
Dengan peningkatan transparansi maka penghindaran pajak dan penggelapan pajak dapat dicegah lebih efektif, yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan penerimaan pajak. Dampak positif lainnya adalah peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan, karena mereka melihat bahwa dana pajak digunakan secara adil dan efisien untuk kepentingan public. Dalam praktiknya tersebut masih terdapat banyak tantangan yang perlu diatasi dalam upaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Diperlukan investasi dalam teknologi informasi dan pelatihan pegawai pajak untuk menjaga momentum ini. Perlu juga peran aktif dari semua pihak baik pemerintah, wajib pajak, ataupun masyarakat dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam perpajakan.
Perubahan kebijakan pajak yang dapat meningkatkan keadilan dapat dilakukan melalui beberapa langkah dengan dasar hukum yang sesuai disajikan dalam paragraf berikut:
a. Peningkatan Pajak atas Pendapatan Tinggi
Pajak atas Pendapatan Tinggi diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang merupakan salah satu undang-undang pokok yang mengatur perpajakan. Pasal 17 UU PPh mengatur tentang tarif pajak penghasilan bagi wajib pajak pribadi yang memiliki penghasilan bruto atau penghasilan kena pajak dalam jumlah yang lebih tinggi, yang dikenakan tarif pajak progresif. Salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan keadilan adalah dengan meningkatkan tarif pajak atas pendapatan tinggi. Hal ini bisa dilakukan dengan dasar hukum Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia karena wajib pajak dengan pendapatan yang lebih tinggi seharusnya membayar pajak yang lebih besar untuk mendukung layanan publik dan redistribusi pendapatan.
b. Pajak Harta Kekayaan
Menerapkan pajak atas kekayaan pribadi, seperti aset berharga dan properti mewah, dapat menjadi sumber pendapatan yang signifikan. Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam peraturan perpajakan yang mengatur pajak atas harta kekayaan yang diatur dalam Pasal 16B dan Pasal 16C Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 16B UU PPh mengatur pajak atas harta kekayaan yang berlaku pada harta kekayaan bergerak, seperti kendaraan bermotor, kapal, dan pesawat udara, serta perhiasan. Pasal 16C UU PPh mengatur pajak atas harta kekayaan yang berlaku pada harta kekayaan tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pajak atas harta kekayaan tidak bergerak ini sering disebut sebagai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
c. Revisi Insentif Pajak
Intensif pajak diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia. Pasal 21 UU PPh mengatur tentang pajak penghasilan yang dipotong oleh pemotong pajak (biasanya majikan) dari penghasilan wajib pajak dalam bentuk gaji, upah, honorarium, dan pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima oleh wajib pajak. Pasal 21 UU PPh juga mengatur tarif pajak yang harus dipotong oleh pemotong pajak sebelum membayarkan penghasilan kepada wajib pajak. Tarif pajak ini akan berbeda tergantung pada penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang perpajakan. Pemerintah dapat memeriksa ulang insentif pajak yang diberikan kepada sektor-sektor tertentu. Jika ditemukan bahwa insentif-insentif ini menguntungkan kelompok tertentu tanpa memberikan manfaat yang seimbang kepada masyarakat, maka dapat dipertimbangkan untuk mengurangi atau menghilangkan insentif tersebut.
d. Pajak Lingkungan
Pajak atas emisi karbon atau pajak atas penggunaan sumber daya alam dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mempromosikan keadilan sosial serta mendukung tujuan perlindungan lingkungan. Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam undang-undang dan peraturan lingkungan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan). Pasal ini memberikan dasar hukum untuk pengenaan pajak atas polusi lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu. Pajak Lingkungan merupakan salah satu instrumen kebijakan yang diterapkan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari kegiatan ekonomi tertentu, seperti emisi polutan atau penggunaan sumber daya alam. Dasar hukum ini digunakan untuk mengenakan pajak atas emisi karbon atau polusi lainnya yang bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan negatif dan mendorong praktik yang lebih ramah lingkungan.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan layanan publik yang adil dan menciptakan kesetaraan dalam masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan peraturan perpajakan yang mengatur tanggung jawab negara terhadap warga negara. Perubahan kebijakan pajak yang mendukung keadilan juga sejalan dengan hukum dan regulasi yang mengatur prinsip-prinsip ekonomi sosial dalam negara, yang menekankan distribusi pendapatan yang adil.
Perubahan kebijakan pajak harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi secara menyeluruh, termasuk bagaimana kebijakan tersebut akan memengaruhi masyarakat, pertumbuhan ekonomi, dan keadilan dalam jangka panjang. Pembuatan kebijakan pajak yang memprioritaskan keadilan perlu didasarkan pada analisis dan pertimbangan yang cermat, serta mematuhi prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Teknologi juga dapat memberikan akselerasi serta memberikan dampak positif dalam refromasi pajak, karena pemerintah dapat mengurangi birokrasi, mempercepat proses perpajakan, dan meningkatkan transparansi. Ini membantu mengurangi praktik penghindaran pajak dan penggelapan pajak.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Tatangan dan Peluang untuk Peningkatan Keadilan Fiskal
Kamis, 19 Juni 2025 21:47 WIB
Tantangan dalam Pemungutan Pajak
Rabu, 18 Juni 2025 15:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler