Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno

Jejak KH. Anwar Nur dan Lahirnya Pesantren An-Nur Bululawang

Minggu, 27 Juli 2025 18:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sejarah Pondok Pesantren Annur Bululawang
Iklan

Dari langgar bambu sederhana di Bululawang, lahirlah cahaya ilmu yang kini menerangi ribuan santri. Inilah kisah perjuangan KH. Anwar Nur,

 

I. Jejak Awal: Langgar Kecil dan Niat Besar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ndalem KH Anwar Nur

Tahun 1940. Sebuah kampung di Bululawang, Malang, tampak tak ada bedanya dengan perkampungan lainnya di Jawa Timur. Namun, di tengah kesunyian kampung yang masih tertata alami, lahirlah sebuah langkah kecil yang kelak akan menjadi cahaya besar. Adalah KH. Muhammad Anwar bin H. Nuruddin, seorang kiai muda yang sederhana, penuh semangat mengabdi, dan berhati lembut, mulai mendirikan sebuah langgar kecil di sebelah barat rumahnya.

 

Langgar ini dibangun secara gotong royong bersama warga kampung. Tidak megah. Tidak luas. Tapi cukup untuk memulai: tempat mengaji, tempat sholat jamaah, tempat berkumpulnya anak-anak desa yang haus ilmu. Kyai Anwar tidak membangun dengan dana besar, tetapi dengan tekad kuat, dan semangat pelayanan tanpa pamrih. Ia tahu, jika ingin umat bangkit, maka harus dimulai dari menyinari hati-hati mereka dengan ilmu agama.

 

Di sanalah, di bawah sinar pelita minyak, anak-anak kampung mulai membaca al-Qur'an. Satu per satu, mereka belajar mengeja huruf hijaiyah, mengenal bacaan sholat, hingga menghafal do'a harian. Kyai Anwar tak hanya mengajar, tetapi juga membimbing, mengayomi, mendengarkan keluh kesah mereka, dan yang paling penting: mencintai mereka seperti anaknya sendiri.

 

II. Rumah Tamu yang Menjadi Pondok

 

Tahun 1942, dua tahun setelah langgar itu berdiri, sebuah peristiwa kecil membuka jalan bagi lahirnya sistem pondok pesantren. Kyai Anwar bermaksud membangun sebuah rumah kecil di belakang rumah utama, niatnya hanya untuk beristirahat. Namun tiba-tiba datanglah seorang lelaki tua yang tak dikenal. Ia menyampaikan keinginan untuk membantu pekerjaan apa pun yang bisa ia lakukan, asal diizinkan tinggal bersama Kyai.

 

Tanpa banyak tanya, Kyai Anwar menerimanya. Rumah yang sedang dibangun pun dialihkan ke sisi selatan langgar, dan dijadikan tempat tinggal lelaki tua itu. Tak disangka, keputusan sederhana ini menjadi titik awal perubahan besar.

 

Santri-santri yang datang mengaji pun semakin banyak. Mereka tak hanya berasal dari Bululawang, tapi mulai berdatangan dari luar desa, seperti Segenggeng (Kec. Pakisaji), Jambearjo (Kec. Tajinan), bahkan hingga Probolinggo. Mereka tidak sekadar ingin mengaji, tetapi juga tinggal dan menetap di dekat kiai, sebagaimana tradisi nyantri di pesantren salaf kala itu.

 

Karena belum ada asrama, Kyai Anwar menyiasati dengan cara sederhana: rumah lelaki tua itu disekat dengan gedek menjadi dua bilik. Kemudian ditambah satu bilik lagi. Inilah cikal bakal pondok: bilik bambu, langgar kecil, dan santri-santri yang tidur beralaskan tikar pandan. Tapi dari sanalah jiwa pesantren mulai hidup.

III. Kitab Kuning dan Keheningan Malam

 

Malam-malam di pondok itu selalu diiringi suara khas. Suara santri yang membaca kitab, suara lantunan doa, dan suara lembut Kyai Anwar menjelaskan makna kata demi kata dari kitab-kitab salaf. Sulam Safinah, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah menjadi bahan pelajaran utama.

 

Di sinilah letak keunikan Kyai Anwar. Beliau mengajar dengan cara ngalap berkah, tidak tergesa, tidak menyamaratakan pemahaman. Santri diajak memahami dasar agama, bukan hanya hafal dalil tapi juga mampu hidup dengan ilmu itu.

 

Pendidikan di pesantren waktu itu bukan formal, bukan pula berbasis ijazah. Tetapi nilai-nilainya sangat mendalam: adab, sopan santun, kesabaran, dan keberanian hidup mandiri. Pesantren menjadi rumah bagi anak-anak yang haus akan tuntunan hidup, bukan hanya pengetahuan.

 

IV. Kembali dari Pengungsian: Pesantren Bertumbuh

 

Tahun 1950, situasi keamanan pasca agresi militer mulai stabil. Kyai Anwar dan keluarganya yang sempat mengungsi kembali ke kampung. Para santri yang sempat pulang pun berdatangan kembali. Langgar kembali hidup, bilik-bilik pondok kembali terisi.

 

Tahun 1952, seorang tokoh masyarakat datang membawa gagasan: "Kyai, bagaimana jika langgar ini diberi nama? Agar dikenal, agar menjadi identitas." Kyai Anwar menyambut baik.

 

Akhirnya dipilihlah nama “An-Nur”, singkatan dari:

 

AN: dari Anwar

 

NUR: dari Nuruddin, nama ayah beliau

 

 

An-Nur, dalam bahasa Arab, berarti Cahaya. Sebuah nama yang menggambarkan niat, semangat, dan harapan. Maka sejak saat itu, langgar kecil itu berubah nama menjadi Langgar An-Nur, dan cahayanya pun mulai menyebar lebih luas.

V. Antara Madrasah dan Sekolah Formal

 

Pada periode 1952–1953, masyarakat Bululawang mulai menyuarakan kebutuhan akan sekolah lanjutan. Sebagian mengusulkan pendirian Madrasah Mu’alimin, sebagian lagi ingin mendirikan SMP NU. Banyak yang berharap sekolah tersebut bisa berdiri di dalam kompleks pesantren An-Nur.

 

Namun Kyai Anwar memilih untuk tidak mencampuradukkan fungsi pesantren dengan pendidikan formal negara. Beliau menolak secara halus pendirian SMP NU di area pondok. Akhirnya, sekolah tersebut dibangun di tepi jalan raya Bululawang, sebelah utara stadion, dan berjalan sendiri di luar pondok.

 

Kyai Anwar memilih fokus pada pembinaan santri. Hal ini terlihat pada tahun 1963, ketika beliau membangun empat kamar bilik memanjang ke timur — bukan untuk sekolah, tapi untuk menampung lebih banyak santri yang ingin mondok.

 

Pesantren, bagi beliau, bukan tempat menumpuk gelar, tapi tempat menanam iman dan adab. Maka selama lebih dari dua dekade, pondok An-Nur berjalan sebagai pesantren murni, tanpa lembaga formal.

 

VI. Babak Baru: Madrasah Tsanawiyah dan Keluarga Penerus

 

Perubahan besar terjadi pada tahun 1965. Kyai Anwar menerima menantu pertamanya, seorang pemuda alim bernama KH. Burhanuddin Hamid, sekaligus mulai melibatkan putra sulungnya, KH. M. Badruddin Anwar, dalam manajemen pondok.

 

Dari diskusi antar keluarga, lahirlah gagasan untuk membuka madrasah formal. Sebuah bentuk adaptasi terhadap zaman, agar para santri tak hanya bisa mengaji, tapi juga mendapatkan pendidikan sistematis. Gagasan ini didukung banyak tokoh masyarakat Bululawang:

 

H. Abd. Manan Ibrahim

 

Muso Abdul Aziz

 

Hasyim Alwan

 

Buadin Hadi Kusma

 

Pramu Turmudzi

 

H. Mahmud, dan lainnya.

 

 

Akhirnya, pada 3 Januari 1968, dibukalah Madrasah Tsanawiyah Agama Islam An-Nur. Meski belum memiliki gedung, semangat tak padam. Pembelajaran dilakukan di gudang tembakau bekas, 100 meter dari pondok. Siswa 76 orang, dibagi menjadi dua sesi: pagi untuk putra, sore untuk putri.

 

Tahun berikutnya, pada 19 September 1968, dibangunlah pondok putri dan langgar putri. Pengasuhan diserahkan kepada putri Kyai Anwar, Nyai Hj. Lilik Zubaidah, dibantu Ibu Maslamah, Munawwaroh, dan Nidhomah.

 

Lalu, pada 31 Desember 1968, dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung madrasah permanen: tiga lokal berukuran 7 x 7 meter. Enam bulan kemudian, bangunan tersebut selesai, dan pendidikan formal An-Nur berjalan secara mandiri.

 

Dengan keberadaan pondok putra, pondok putri, dan madrasah, maka lembaga ini resmi dikenal sebagai Pondok Pesantren dan Madrasah An-Nur Bululawang.

VII. Profil Sang Pendiri: Seorang Kiai, Seorang Ayah, Seorang Guru Bangsa

 

KH. Muhammad Anwar bin H. Nuruddin lahir pada tahun 1901 di Desa Sumber Taman, Kabupaten Probolinggo. Sejak muda, beliau menempuh pendidikan pesantren secara klasik:

 

1. Pondok Pesantren Bladu Gending Probolinggo (diasuh pamannya, KH. Fathullah Umar)

 

 

2. Pondok Pesantren Sono Buduran Sidoarjo (KH. Zyarqasi)

 

 

3. Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan

 

 

4. Mengaji kepada KH. Abdul Aziz di Probolinggo

 

 

5. Pondok Pesantren Panji Sidoarjo (KH. Chozin dan KH. Hasyim)

 

 

 

Beliau dikenal sebagai pribadi khusyuk, sabar, tidak banyak bicara, tetapi penuh perhatian. Keputusannya untuk tidak mengejar ketenaran, tetapi lebih memilih berkhidmat di kampung, menunjukkan keluhuran niatnya.

 

KH. Anwar wafat pada tahun 1992, dalam usia 91 tahun. Namun cahayanya tetap hidup. Dalam doa-doa ribuan santri. Dalam sujud anak-anak pesantren yang kini tidur di bangunan kokoh, yang dulu hanya bilik bambu.

 

VIII. Warisan Cahaya yang Tak Pernah Padam

 

Pesantren An-Nur hari ini mungkin telah berubah secara fisik: gedung-gedung baru berdiri, sistem pendidikan semakin mapan, santri datang dari seluruh penjuru negeri. Tapi satu hal yang tidak pernah berubah adalah ruh perjuangan KH. Anwar Noer.

 

Pesantren ini adalah bukti bahwa cahaya besar bisa lahir dari tempat kecil. Bahwa yang paling dibutuhkan untuk memulai bukanlah modal, tapi ketulusan. Sebuah langgar bambu bisa menjadi cikal bakal pendidikan besar, jika dibangun dengan cinta, keikhlasan, dan keinginan memberi manfaat.

Dari Langgar ke Cahaya

 

Pesantren bukan sekadar bangunan. Ia adalah ruang pertumbuhan manusia. Di An-Nur, kita tidak hanya belajar ilmu, tapi juga makna. Kita tidak hanya membaca kitab, tapi juga mengenal kehidupan. Dan semuanya dimulai dari satu orang yang percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari langgar kecil.

 

KH. Anwar Noer telah tiada. Tapi cahayanya masih menyala. Di setiap azan yang berkumandang dari masjid pondok. Di setiap malam saat santri membuka kitab. Di setiap langkah alumni yang membawa nilai-nilai pesantren ke tengah masyarakat.

 

Dari langgar ke cahaya. Dari Bululawang untuk Indonesia.

 

Ditulis oleh: Lutfillah Ulin Nuha

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lutfillah Ulin Nuha

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing

8 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler