x

Warga berjalan keluar dari bilik suara setelah menggunakan hak suaranya saat pencoblosan ulang di TPS 046 Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur (13/4). Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bilik Suara

Memilih di antara dua pasangan calon presiden dan wakilnya sungguh tidak mudah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di saat hari pemilihan, saya mendatangi bilik suara 07 dengan rasa bimbang: haruskah saya memberikan suara saya yang hanya satu untuk salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya ini? Saya bimbang, sebab ini bukan sekedar perkara mencoblos selembar kertas bergambar wajah mereka, melainkan menyerahkan nasib negeri dan bangsa ini kepada mereka.

Kendati saya hanya punya satu suara—dibandingkan dengan jumlah pemilih pilpres yang mencapai sekitar 190 juta jiwa, saya tetap bertanya: Layakkah mereka? Mampukah mereka?

Hingga hampir memasuki bilik suara, pertanyaan masih berkecamuk di benak saya: Apakah yang mereka cari dengan mencalonkan diri menjadi presiden dan wakilnya? Berkuasa untuk apa? Sungguhkah mereka berhasrat merebut kesempatan untuk menyejahterakan rakyat? Atau seperti kebanyakan penguasa yang lebih menikmati perannya sebagai orang nomor 1 yang suaranya harus didengar, orang yang berharap dapat menentukan siapa harus jadi apa, orang yang berharap dapat mencopot siapapun dari jabatannya, orang yang merasa senang tatkala dipuji dan memelas ketika dikritik karena merasa menjadi korban.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di dalam lingkungan kekuasaan yang demikian besar, jika terpilih bagaimana mereka akan mengatasi kepentingan yang berbeda, kepentingan apapun yang mendompleng, kepentingan keluarga dan orang-orang dekat atau yang merasa dekat, kepentingan yang bertentangan dengan tujuan kuasa diamanahkan oleh rakyat. Bahkan, pertama-tama dan yang terutama, pertanyaannya adalah bagaimana mereka mengendalikan hasrat kuasa dan kesewenangan yang ada dalam diri masing-masing?

Hasrat kesewenangan itu memiliki begitu banyak wajah: merasa benar sendiri, enggan mendengarkan suara orang lain, sukar berempati, mementingkan kelompok, merasa harus selalu diperlakukan dengan hormat, dan tidak ingat lagi kepada rakyat yang memberikan suaranya kepada mereka. Saya lantas teringat kata-kata Marquis de Flers Robert (aristokrat dan dramawan yang hidup antara 1872-1927), “Demokrasi adalah nama yang kita berikan kepada orang-orang kebanyakan tatkala kita membutuhkan mereka.”

Kerap dikatakan oleh kaum cendekia kita, rakyat membutuhkan pemimpin yang jujur, amanah, mendahulukan rakyat, memiliki integritas, adil, pemberani, pekerja keras, dan seterusnya—begitu banyak label yang dilekatkan pada harapan rakyat. Dapatkah semua itu dipenuhi oleh kedua pasangan calon?

Terus terang saja, memilih di antara yang dua itu bukanlah hal mudah; bahkan, seandainya ada calon ketiga sekalipun. Mencalonkan diri menjadi presiden dan wakil presiden merupakan tindakan yang sangat berani: mereka mungkin, sekali lagi mungkin, terpikat oleh kekuasaan yang demikian mempesona, sehingga tidak mengatakan—untuk tidak menyebutnya lupa—tentang apa konsekuensi dari berkuasa. Dalam lima kali debat yang dilangsungkan, tidak ada pertanyaan sederhana seperti ini: Mengapa Anda berhasrat menjadi presiden dan wakil presiden? Jika Anda menjadi presiden, akan Anda gunakan untuk apa kekuasaan yang diamanahkan kepada Anda?

Akhirnya, di bilik suara 07 itu, saya berusaha tetap menggunakan nurani dan nalar sehat, dengan ditemani dua malaikat, dan disaksikan Yang Ada di Langit, untuk membuat keputusan. Satu keputusan di antara 190 juta keputusan. Keputusan apa? Biarlah rahasia tersimpan di bilik itu. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler