x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inovatif Saat Tersudut

Inovasi terkadang dilakukan karena terpaksa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Learning and innovation go hand in hand. The arrogance of success is to think that what you did yesterday will be sufficient for tomorrow."
--William Pollard (Pastur, 1828-1893)

 

Kejayaan dalam bisnis kerap melenakan orang-orang di dalamnya. Mereka lantas berpuas-diri, malah sebagian cenderung malas untuk menengok kiri-kanan, apa lagi sampai bersikap ‘paranoid’—seperti diistilahkan oleh Andy Grove, mantan CEO Intel yang legendaris itu. Bila tidak paranoid, bersiap-siaplah untuk mengubur diri.

Grove mengatakan hal itu berdasarkan pengalamannya sendiri. Di bawah Grove, perusahaan Intel nyaris mengubur diri seandainya tidak segera menyadari apa yang sedang berlangsung di pasar memory chip. Karena kehebatannya sebagai pembuat memory chip pertama, Intel pernah menguasai pasar hampir 100 persen. Inilah yang membuat orang Intel tenang-tenang saja, seolah semuanya aman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun mereka dikejutkan oleh Jepang. Menjelang pertengahan 1980an, Jepang sukses menciptakan chip yang menyaingi keunggulan chip buatan Intel dengan harga jual yang lebih murah. Pendatang baru ini memang siap memecah dominasi pasar selagi Intel merasa tidak ada pesaing yang sanggup menggoyahkan dominasi mereka. Apalagi ‘hanya’ pendatang baru.

Kendati merespons perubahan pasar, namun kekagetan melihat masuknya Jepang ke pasar memory chip menunjukkan bahwa mereka tidak mengantisipasi perubahan. Mereka tidak membaca kencenderungan pertumbuhan teknologi. Dalam bukunya, Only the Paranoid Survive, Grove mengakui bahwa Intel memang berkontribusi pada masalahnya sendiri karena terlalu lambat memasuki pasar dengan produk baru.

Setelah mengutak-atik sejumlah opsi, akhirnya Grove dan jajarannya sampai pada keputusan yang bersejarah untuk keluar dari bisnis memory chip. Mereka dipaksa mengurangi sekitar sepertiga ukuran perusahaan selama tiga tahun lantaran situasi sulit ini. Akhirnya mereka memilih fokus pada microprocessor yang merupakan masa depan, sebab memory chip hanya untuk menyimpan memori, sedangkan mircroprocessor mampu melakukan kalkulasi.

Sikap reaktif, karena terlena dan kemudian kaget melihat kemunculan pesaing baru, juga pernah dialami oleh IBM. Di masa jayanya, IBM dikenal oleh orang terkait dua hal yang berbeda, yakni pembuat komputer berukuran besar (mainframe) untuk pemerintah dan korporasi, dan pembuat mesin fotokopi dan mesin ketik listrik bagi bisnis kecil. Jangkauan pandangan Thomas Watson Sr. yang memimpin perusahaan ini pada 1940-an menggambarkan bagaimana IBM memandang industri komputer: “Saya kira di dunia ini ada pasar mungkin untuk lima komputer saja.” Maksud Watson, lima komputer mainframe.

Ketika ia digantikan oleh anak lelakinya, salah satu keputusan penting perusahaan diambil karena dipaksa oleh gugatan hukum anti-trust, yang membuka peluang bagi Microsoft dan Apple—yang lahir dari generasi kemudian—untuk menciptakan industri peranti lunak. IBM sepertinya juga kurang cepat mengantisipasi pasar ketika perusahaan lain mulai masuk industri komputer dengan menawarkan komputer kecil, jauh lebih kecil dari Big Blue-nya IBM yang seukuran lemari pakaian atau beberapa kali lipatnya malah.

Ketika akhirnya IBM masuk ke industri komputer pribadi (PC), produk pertamanya, 1981, dibeli oleh para manajer bisnis karena ada aplikasi VisiCalc Spreadsheet. Di saat pertarungan antara komputer segede lemari lawan komputer yang ditaruh di atas meja (mainframe versus workstation) menjadi isu kunci di industri ini, IBM sulit melepaskan diri dari warisan mainframe-nya. Akibatnya, banyak pelanggan yang pindah ke teknologi perusahaan lain.

Ketika kemudian IBM memasuki pasar workstation, muncullah apa yang disebut IBM PC compatible. Maksudnya, komputer sejenis workstation-nya IBM tapi rakitan non-pabrik--fitur-fiturnya dicontek habis. Ketika musim komputer IBM compatible tiba, banyak orang beralih ke komputer rakitan ini karena lebih murah—sebuah peluang yang dicium dan dikembangkan dengan cerdas oleh Michael Dell saat masih mahasiswa. Dell melayani pembelian komputer IBM compatible sesuai spesifikasi teknis yang diinginkan konsumen dan sekaligus diantar ke rumah atau kantor mereka. Hingga kemudian Michael Dell berhasil membangun mereknya sendiri, Dell.

Inovasi IBM di komputer kecil berhenti pada IBM ThinkPad. Perusahaan ini lalu menjual bisnis PC-nya kepada Lenovo Group dari China. IBM pun kembali ke habitat lamanya yang diwarisi berpuluh tahun, mainframe. Setelah bisnis PC didivestasi, mainframe pun berkuasa. Mare Nostrum-nya IBM adalah superkomputer paling digdaya di Eropa, sementara Blue Gene-nya merupakan superkomputer paling hebat di dunia: mampu beroperasi pada kecepatan 360 teraFLOPS (360 juta-juta operasi per detik). Usia panjang, kematangan akibat sukses dan kegagalan, pada akhirnya mendorong IBM sanggup menemukan lagi jati dirinya.  

Pengalaman Intel dan IBM ini dapat terjadi pada perusahaan manapun dan kapanpun. Bahkan, di era sekarang sekalipun. Ada dua kemungkinan bagi inovasi yang terlambat dilakukan: gagal sama sekali dan tersingkir dari persaingan, atau berhasil karena pilihan inovasi yang tepat. (sbr foto: extremetech.com) ****

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB