x

Iklan

Benny Obon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hegemoni Januari dan Keberpihakan Politik

Kita memulai tahun dengan Januari, bulan yang mempunyai spiritualitas menengok ke belakang dengan pelbagai keberhasilan, kesuksesan, maupun kegagalan yang dialami, dan memandang ke depan dalam suatu visi-misi, idealisme dan optimisme

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak terasa kita sudah meninggalkan tahun 2014. Suatu tahun yang tentu di dalamnya kita telah mengukir banyak cerita kesuksesan, kejatuhan serta sejumlah litani kegagalan lainnya. Tahun yang sudah berlalu bukan cuma sebuah angka: 2014. Ada nama, sejarah, kesedihan, luka dan kekecewaan, ada kegembiraan dan suka cita, persahabatan dan persaudaraan yang ikhlas. Ada bekas yang sangat nyata dan konkret pada rentang arus waktu yang berlalu. Arus waktu membawa pergi yang sekarang, namun bukan tanpa sisa.

Kini kita sudah memasuki tahun baru, 2015. Rentang waktu ini adalah hamparan peluang. Peralihan tahun menyadarkan kita bahwa waktu selalu terbatas, bahwa ada akhir yang menanti. Adanya kesadaran akan batas selalu membangkitkan rasa tanggung jawab untuk membangun diri, membangun semangat solidaritas dalam memenangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan, kita selalu memulai suatu tahun baru dengan bulan Januari. Januari menjadi yang pertama dari 365 hari yang akan kita lewati. Beberapa orang mungkin bertanya: mengapa mesti dimulai dari Januari, bukan Mei, Oktober, Desember, dll.

Penempatan Januari sebagai yang pertama, bukan suatu kebetulan atau suatu kecelakaan sejarah yang patut mengundang sikap kiriekalisme. Glorifikasi atas Januari tidak terlepas dari asal-usulnya sendiri. Nama bulan pertama ini diadopsi dari nama dewa bangsa Romawi Kuno, Janus. Dewa Janus diyakini sebagai penjaga pintu gerbang. Mitologi bangsa Romawi menjelaskan bahwa dewa Janus memiliki dua wajah yang bertolak belakang. Satu wajah menatap ke depan, sedang yang lainnya menoleh ke belakang. Pada kedua wajah tersebut masing-masing memiliki sepasang mata. Hal ini memungkinkannya mampu melihat ke segala arah. Sebagai penjaga pintu gerbang, kualitas dewa Janus tersebut menjadi suatu keniscayaan.

Kedua wajah dengan masing-masing sepasang mata tersebut merupakan lambang tatapan masa lalu dan pandangan ke masa depan. Janus yang kemudian menjadi Januari adalah gambaran bulan untuk selalu mawas diri, yaitu sebagai pemisah tahun lalu dan tahun baru. Januari karena itu, memungkinkan kita melihat segala yang telah kita lakukan: kegagalan, kejatuhan maupun kesuksesan. Januari berada pada sisi yang tipis antara saat yang lalu dan sekarang. Januari mengajar kita untuk tidak melupakan masa lalu, tetapi menjadikan masa lalu sebagai acuan untuk membenah diri, untuk mengubah dan diubah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Januari membawa kita menghitung waktu dan membangun impian selama satu tahun. Januari membuat kita melihat waktu seolah waktu tergambar jelas di depan kita bagai gelombang yang datang, mengempas waktu sekarang ke masa lalu. Peralihan selaput tahun yang begitu tipis mencampakkan kita ke dalam Januari yang memungkinkan kita menuju ke dalam sudah, menerjang sekat tipis pembatas waktu di depan dan saat sekarang.

Masa depan tersebut adalah suatu hamparan peluang. Hamparan peluang tersebut menjadi panggung ekspresi diri dalam pelbagai idealisme. Idealisme memungkinkan setiap orang meletakkan dasar atau membangun fundasi hidup selama satu tahun. Fundasi diri yang kuat memungkinkan seseorang mampu mengejar hidup yang bernilai. Tentang hal ini John Harris dalam karyanya, ‘The Value of Life, an Introduction to Medical Ethics’, bertanya, “What makes human life valuable?” Dia menegaskan bahwa membincangkan hal yang bernilai dalam hidup manusia berarti kita menerima bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dalam segala hal dan serentak mempunyai kebajikan yang sama dalam dirinya. Kebajikan yang sama tersebut memungkinkan semua orang memperjuangkan kebaikan bersama. Usaha mengejar kebaikan bersama menurutnya tidak terlepas dari asumsi dasar bahwa semua orang sama di hadapan hukum.

Usaha mengejar kebajikan hidup bermuara pada keprihatinan, respek dan perlindungan terhadap sesama. Di sini idealisme seorang individu akan menjadi idealisme bersama yang mempunyai telos kepada penciptaan hidup bersama yang layak. Dalam konteks ini, idealisme tersebut mesti berangkat dari suatu titik start. Titik mulai dalam satuan waktu tersebut adalah Januari. Januari menjadi pintu gerbang bagi terbangunnya idealisme-optimisme selama satu tahun. Inilah hegemoni suatu Januari. Namun, hegemoni suatu Januari hanya akan bernilai jika individu-individu berusaha memenangkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai tema idealismenya.

Jean Kazze, dalam bukunya, ‘The Weight of Things: Philosophy and the Good Life’, menegaskan bahwa dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut unsur moralitas mesti ditempatkan pada bagian yang pertama. Moralitas memungkinkan seseorang untuk menempatkan kebaikan bersama di atas kepentingan diri sendiri. Dia menulis, “The person who makes morality first priority will keep promises, tell the truth, be fair to friends, employees, students; he will express gratitude, take care of his aged parents. Or at least, if he ever strays from these ideals, he will do so because of unusual circumstances, and with justification. With morality as your first priority, you would give up a lot for yourself and do a lot for others.”

Selanjutnya, filsuf kontemporer, Susan Wolf, menyebut pribadi-pribadi seperti ini sebagai orang dengan ‘moral saints’. Menurutnya, orang dengan moral saints lebih mengutamakan kesejahteraan bersama. Moral saints memungkinkan setiap orang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan, dalam konteks negara kita, pribadi dengan moral saints sangat dibutuhkan di tengah realitas bangsa yang sedang mengalami krisis multi-nilai.

Krisis multi-nilai tersebut membuat bangsa kita semakin sengkarut. Carut-marut moral bangsa kian diperparah oleh praksis politik para politisi kita yang tidak memunyai opsi/keberpihakan politik yang jelas. Para anggota DPR yang sibuk bertengkar merebut kekuasaan. Praksis politik nol keberpihakan seperti ini juga dapat kita lihat dalam diri para politisi lokal yang lebih mengutamakan uang/kepentingan pribadi.

Selain itu, kurangnya inisiatif pemerintah untuk memperjuangkan nasib masyarakat yang selalu dimarginalkan. Praksis politik seperti ini tampak dalam sikap para anggota dewan/politisi yang tidak menaruh perhatian pada pelbagai kasus seperti, korupsi, narkoba dan trafiking yang selalu terjadi di negara kita. Karena itu, kalau para politisi kita benar-benar mempunyai keberpihakan politik, maka mereka mesti menjadi orang yang terdepan dalam memerangi kasus-kasus tersebut.

Di tengah maraknya aksi vandalisme, premanisme dan semangat penggerusan moral bangsa, keber­pihakan politik menjadi suatu keniscayaan. Keberpihakan politik sangat penting untuk membangun kembali moralitas bangsa yang kian sengkarut. Keberpihakan politik memungkinkan para elit politik menyelenggarakan roda pemerintahan dengan baik. Hal ini berhubungan dengan sebuah orientasi untuk membangun masyarakat yang lebih makmur, sejahtera dan visioner. Roda pemerintahan yang baik niscaya menciptakan iklim sosial-politik yang kondusif. Iklim politik yang baik pada gilirannya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam politik.

Keberpihakan politik menjadi suatu keniscayaan dan selalu terarah kepada suatu kepentingan. Apapun yang dilakukan, dibuat karena kepentingan tertentu yang mendasarinya. Kepentingan menjadi rahim bagi lahirnya setiap keputusan atau aksi. Yang perlu bagi kita di sini adalah arah kepentingan tersebut. Artinya, sejauh mana kepentingan tersebut melekat dengan keberadaan diri kita. Kalau keberadaan kita bertujuan untuk memenangkan nilai-nilai kemanusiaan, maka telos kepentingan kita mesti mengarah ke sana. Karena itu, keberpihakan dalam politik sangat penting. Keberpihakan politik mesti selalu melihat realitas masa lalu untuk kemudian membangun opsi-opsi politik yang konkret ke depan. Dalam konteks ini, keberpihakan politik menjadi seperti Januari yang membuat kita menengok ke konteks masa lalu masyarakat untuk membangun visi-visi politik di masa depan.*

Ikuti tulisan menarik Benny Obon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB