x

Buah impor. TEMPO/Eko Siswono Toyudho

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jeruk Makan Jeruk, Sebuah Gengsi atau Kebutuhan

Masyarakat kita cenderung tersugesti bahwa buah-buah impor punya kualitas yang jauh lebih bagus daripada buah lokal. Mereka lebih fasih menikmati asamnya ponkam timbang manis dan berairnya keprok Malang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernah mendengar nama durian Petruk? Apel Malang? Jeruk Brastagi, atau pisang Ambon? Pernahkah anda mencicipi rasanya? Atau mungkin buah-buah tersebut terbiasa terhidang di meja makan anda?

Durian Petruk adalah salah satu varian durian yang ada di nusantara. Sama halnya dengan jeruk Brastagi, pisang Ambon maupun apel Malang. Masing-masing nama buah diikuti dengan nama daerah tempat asal si buah tersebut tumbuh. Dan, masing-masing buah mempunyai ciri khas rasa yang berbeda, meski sama-sama buah durian, tapi rasa durian Petruk mempunyai ciri khas sendiri, tak sama dengan rasa durian Medan. Sama halnya dengan jenis buah lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh jenis tanah dan tingkat kesuburan tanah yang berbeda tiap daerahnya.

Jika kita menilik berbagai jenis buah asli nusantara, rasanya tak kalah dengan banyaknya varian buah dari negara lain. Dengan rasa yang tak juga kalah dengan buah impor. Namun sayangnya, hampir seperti beberapa jenis barang asli dalam negeri, buah-buah ini pun kalah pamor dengan beberapa buah impor. Durian Petruk tak seterkenal durian Montong, Apel Malang jauh sekali pamornya dengan apel Washington atau apel Fuji, Atau nama jeruk Brastagi yang kalah gengsi dengan jeruk Ponkam maupun Shantang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernah suatu saat mengobrol dengan teman yang berada di Hongkong. Dia bercerita bahwa saat rindu dengan buah nanas, dia biasa membeli yang ada di pasar disana. Tapi Hongkong tidak memproduksi sendiri beberapa buah yang beredar disana, seperti buah nanas, mereka disuplai oleh negara Thailand. Kata teman yang ada disana, rasanya sangat-sangat jauh berbeda dengan nanas Bogor yang manis dan kaya akan air. Rasa nanasnya cenderung lebih asam walau dengan ukuran buah yang kurang lebih sama dengan nanas Bogor.

Seharusnya, sekarang ini, di industri makanan dunia, sedang trend buah tropis sebagai buah utama konsumsi. Tapi entah mengapa, data Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional , akhir tahun kemarin justru menyebutkan nama pinang ditempat tertinggi, diikuti kelapa, manggis, tamarind dan juga pisang. Seperti kita tahu, pinang bukanlah jenis buah yang biasa dikonsumsi oleh semua orang. Sementara mangga dan salak yang merupakan buah ekspor utama negara ini mengalami penurunan angka ekspor yang lumayan tajam. Padahal, bukankah negara kita kaya akan produksi buah tropis sepanjang tahun? Dan bukan hanya beberapa nama buah yang disebutkan tadi?

Yang paling menyedihkan adalah, ternyata nilai impor buah kita pun lumayan tinggi. Hampir sepertiga nilai ekspor yang ada. Terutama saat kita bicara buah jeruk. Buah lokal seolah tergerus arus jeruk dari daratan Cina. Padahal kita punya banyak sekali varian jeruk yang tak kalah manis, sebut saja jeruk Brastagi, jeruk Banjar, jeruk Siam, jeruk keprok dari Malang, Soe dan yang lain. Tapi, lagi-lagi apa nyana, ternyata memang buah pun ikut menjadi sebuah gengsi. Masyarakat kita cenderung tersugesti bahwa buah-buah impor punya kualitas yang jauh lebih bagus daripada buah lokal. Mereka lebih fasih menikmati asamnya ponkam timbang manis dan berairnya keprok Malang.

Pada akhirnya memang menjadi sebuah catatan kecil diantara riuhnya rasa buah yang nano-nano seperti rujak. Jika kita sendiri tidak menghargai apa yang menjadi hasil produksi negara sendiri, bagaimana mungkin kita mengharapkan negara lain akan menghargainya? Sungguh menyedihkan melihat perkembangan pola konsumtif makanan masyarakat kita sekarang. Saat orientasi bergeser, bukan menjadi sebuah kebutuhan akan makan tapi kebutuhan akan gengsi. Ironis, mengingat negara ini adalah negara emerging market yang masih diombang ambingkan krisis perang kurs antar negara. Tapi masyarakat begitu bangganya meminta negara membuang dollar untuk memenuhi kebutuhan gengsi mereka akan makanan.

Jika Cina dijuluki raksasa tidur, saat ini, diantara emerging market, ada nama India yang mulai bergeliat bangun dari keterpurukannya. Yang rupanya prinsip-prinsip peninggalan Gandhi mengenai swadhesi benar-benar membekas didalam hati mereka, mereka masih merasakan bagaimana pahitnya menjadi negara dibawah kaki Inggris dan bagaimana pahitnya perjuangan mereka untuk merdeka, sehingga mereka benar-benar memanfaatkan segala yang ada dalam negeri mereka, berusaha memerdekakan diri mulai dari dalam. Lalu, bagaimana dengan kita?

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB