x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemimpin Takkan Menyalahkan Pengikutnya

Tugas pemimpin bukanlah sekedar menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh pegikutnya, tapi juga meluruskan jalan yang ditempuh pengikutnya apabila bengkok.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tugas pemimpin bukanlah sekedar menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh pegikutnya, tapi juga meluruskan jalan yang ditempuh pengikutnya apabila bengkok. Hal ini terkait dengan dua isu yang berbeda tapi saling terkait, yaitu visi dan integritas. Jalan dan arah yang harus ditempuh terkait dengan visi, sedangkan lurus-bengkoknya jalan berurusan dengan integritas.

Bila pemimpin mengatakan ‘ya’ pada usul yang disodorkan pengikutnya, berarti ia setuju. Jika kemudian terjadi kesalahan, kekeliruan, atau dipandang tak layak oleh warga, ia tak boleh mengelak dan mengalihkan beban kepada pengikutnya. Sebab, di sinilah letak perbedaan antara pemimpin dan pengikut: kesiapan untuk mengambil tanggung jawab dari suatu kesalahan atau kegagalan.

Jika ia tak setuju dengan usul pengikutnya, pemimpin punya kewajiban untuk menolak dan meluruskan yang bengkok. Bukan mengatakan ‘ya’, tapi kemudian melempar beban.

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, sekalipun ia disebut pemimpin. Para arif-bijaksana yang mengambil hikmah dari sejarah manusia mengatakan: “Pemimpin sejati mestilah cukup rendah hati untuk mengakui kesalahan mereka.” Masyarakat akan lebih menghargai bila seorang pemimpin cukup rendah hati untuk mengakui kesalahan dan kemudian mengoreksi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bill Clinton, mantan Presiden AS, pernah berujar: “Jika engkau hidup cukup panjang, engkau akan melakukan kesalahan. Tapi, jika engkau belajar dari kesalahan, engkau akan menjadi orang yang lebih baik.” Kesalahan itu manusiawi, dan mengakui kesalahan itu lebih berintegritas ketimbang melempar kepada orang lain—bawahan, anak buah, pengikut, dan sejenisnya.

Orang bijak lainnya juga menunjukkan salah satu perbedaan antara orang kebanyakan dan pemimpin. Perbedaan ini, kata orang bijak, terletak pada persepsi mereka maupun tanggung jawab mereka terhadap kegagalan. Dalam setiap pertempuran, para komandan kerap diingatkan: “Tidak ada prajurit yang salah, melainkan komandannya.” Mengapa? Sebab, komandanlah yang memegang wewenang untuk mengambil keputusan: setuju atau menolak apa yang diusulkan pengikutnya.

Dalam latihan kepemimpinan kerap ditanamkan Enam A sebagai cara untuk membangkitkan tanggungjawab calon pemimpin terhadap suatu kesalahan atau kegagalan bila itu terjadi.

Pertama, Admit: “Saya telah berbuat salah.”

Kedua, Apologize: “Saya mohon maaf telah melakukan kesalahan.”

Ketiga, Acknowledge : “Saya mengakui di mana letak kesalahan saya.”

Keempat, Attest: “Saya akan melakukan beberapa hal untuk memperbaiki kesalahan.”

Kelima, Assure: “Saya akan melakukan berbagai upaya agar saya tidak mengulang kesalahan yang sama”

Keenam, Abstain: “Saya tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang sama.” (Yang terakhir ini merupakan bentuk penegasan komitmen seorang pemimpin.)

Mengakui kesalahan tidak akan melemahkan seorang pemimpin, melainkan justru memperkuat personalitasnya dan memulihkan kepercayaan masyarakat kepadanya—ia akan diingat sebagai pemimpin yang jujur, rendah hati, dan mau belajar. Seorang pemimpin bisa salah, dan masyarakat akan mengapresiasi bila pemimpin mengakui hal itu dan segera memperbaikinya.

Akhirnya, perbedaan antara pemimpin dan orang kebanyakan dapat dilihat antara lain dari persepsi mereka terhadap kesalahan seperti diungkapkan dalam penggalan puisi yang entah ditulis oleh siapa:

“Ketika pemimpin berbuat kesalahan, mereka berkata, ‘Saya salah’.”

“Ketika pengikut berbuat kesahalan, mereka berkata, ‘Ini bukan kesalahan saya’.” (Sbr ilustrasi: letsgrowleaders.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler