x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengingat Kembali Tjokroaminoto

Tercatat ada Muso, Alimin, Semaoen, Soekarno, dan S.M. Kartosoewirjo pernah tinggal di rumah Tjokroaminoto di Surabaya pada tahun 1910-an. Di era digital sekarang, masih pentingkah mengingat sosok Tjokro?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di era digital seperti sekarang, masih pentingkah Tjokroaminoto sehingga sebuah film harus dibuat untuk mengingatnya?

Meninggal kira-kira sepuluh tahun menjelang Indonesia Merdeka, Haji Oemar Said Tjokroaminoto tak begitu dikenal oleh generasi net. Namanya tidak sepopuler Soekarno dan Mohammad Hatta, tapi perannya dalam mengantarkan kemerdekaan bangsa ini niscaya sangat layak untuk diingat.

Lahir dalam keluarga priyayi di Madiun, Tjokro memilih pindah ke Surabaya—yang seperti kota-kota pantai lain kehidupan masyarakatnya cenderung lebih egaliter. Sejak muda, Tjokro telah menempatkan diri sebagai orang pergerakan yang tidak bertumpu kepada doktrin, melainkan tindakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia tanggalkan sebutan Raden, ia tolak kebiasaan jalan-jongkok di hadapan pembesar dan bangsawan, dan ia bersuara lantang terhadap Belanda. Dengan segala sikapnya ini, Tjokro adalah perintis bagi penghapusan bukan saja kolonialisme, tapi juga feodalisme. Sebagai pemimpin pergerakan melalui Sarekat Islam, Tjokro membuka jalan agar bangsa ini dapat berjalan tegak di tanahnya sendiri.

Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, dalam edisi khusus ‘Tjokroaminoto’ (2011), Takashi Shiraishi—penulis karya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1916—mengatakan: “Tjokroaminoto adalah generasi pertama pemimpin pergerakan. Figurnya penting karena dialah yang menciptakan standar bagaimana seharusnya seorang pemimpin pergerakan. Tjokro tidak sekedar piawai mengupas gagasan lewat tulisan, tapi juga mampu tampil sebagai ‘singa podium’.” Soekarno banyak belajar dari Tjokroaminoto dalam membius pendengar pidatonya.

Keterbukaan pikiran dan sikap Tjokro terlihat dari penerimaannya terhadap siapa saja yang ingin datang ke rumahnya untuk sekedar berbincang atau malah indekos. Tercatat ada Muso, Alimin, Semaoen, Soekarno, dan S.M. Kartosoewirjo pernah tinggal di rumah Tjokro di Surabaya. Sosok lain yang disebut-sebut pernah mengunjungi rumah Tjokro antara lain Tan Malaka dan Haji Agus Salim. Mereka memperbincangkan nasib bangsa ini di masa depan. Kendati mereka memiliki kecondongan ideologis yang beragam, Tjokro tidak terombang-ambing.

Dalam risalahnya yang terbit pada November 1924, Islam dan Sosialisme, Tjokro mengajak warga bangsanya untuk tidak terpengaruh oleh ajaran Sosialisme Barat maupun Marxisme (Komunisme) dan lebih berpedoman kepada ajaran Islam. Dalam sejarahnya, kata Tjokro, Islam menentang dan mengusir penjajahan, penindasan, perbudakan, sekaligus menggerakkan kemajuan dan peradaban. Islam kaya akan khazanah persaudaraan (sosialistis) sekaligus berpihak kepada kaum tertindas.

Kelak kita tahu bahwa setelah kemerdekaan tercapai, mereka yang indekos di rumah Tjokro menempuh jalan yang berbeda secara ideologis. Muso, Alimin, dan Semaoen meneruskan kecondongannya kepada komunisme. Soekarno mengibarkan bendera nasionalisme, sedangkan Kartosoewirjo berupaya menegakkan Darul Islam. Mungkin bukan jalan mudah bagi Soekarno untuk menghentikan gerak langkah orang-orang yang pernah tinggal bersamanya di rumah Tjokro. Muso tewas dalam pergolakan Madiun 1948 dan Kartosoewirjo pada 1962.

Mengingat Tjokroaminoto memang diperlukan di saat kita, sebagai bangsa, seperti kehilangan arah, di saat kita tidak punya pemimpin untuk mengadu dan bersandar, di saat para elite sibuk mengurus kepentingannya sendiri.

Apa yang diperjuangkan Tjokroaminoto masih relevan dan kontekstual dengan zaman kini, zaman digital. Cuplikan pidatonya di Bandung, Jawa Barat, pada 1916, niscaya dapat menggambarkan relevansi pikiran Tjokroaminoto, di antaranya berbunyi seperti ini:

“Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai sebuah tempat di mana orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya, terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik yang menyangkut nasibnya sendiri….”

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler