x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rujukan Itu Bernama Huntington

Orang menengok lagi pikiran Samuel Huntington ketika kantor Charlie Hebdo di Paris diserang. Namanya lekat dengan istilah yang demikian populer di bumi yang sempit ini, “benturan peradaban”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Orang sepertinya menengok kembali pikiran Samuel Huntington ketika kantor Charlie Hebdo di Paris diserang beberapa waktu lalu. Nama Huntington memang lekat dengan istilah yang demikian populer di bumi yang sempit ini, “benturan peradaban” (clash of civilization). Ia berpendapat, di dunia pasca Perang Dunia, konflik kekerasan bukan disebabkan oleh friksi ideologis di antara negara-bangsa, melainkan oleh perbedaan kultural dan keagamaan di antara peradaban-peradaban besar dunia. Pandangan ini memicu perdebatan luas.

Sebagaimana dipujikan oleh banyak sarjana, yang setuju maupun yang tak bersepakat dengan dirinya, yang mengagumkan mengenai kesarjanaan Huntington ialah keluasan rentang topik yang ia tulis. Terlebih lagi, betapa tiap-tiap buku yang ia telurkan kemudian menjadi referensi dalam masing-masing sub-bidang. Tanpa lelah ia mengajar dan melakukan riset, terutama, mengenai pemerintahan Amerika, demokratisasi, politik militer, strategi, dan hubungan sipil-militer, politik perbandingan, dan pembangunan politik.

Lebih dari 90 artikel akademis yang ia tulis, dan menjadi penulis utama, ataupun co-author, ataupun editor bagi 17 judul buku. Yang terpenting ialah The Soldier and State untuk hubungan sipil-militer; The Common Defense untuk kebijakan pertahanan; Political Order in Changing Societies dan The Third Wave untuk politik perbandingan; The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order untuk hubungan internasional; American Politics:  The Promise of Disharmony dan Who Are We? The Challenges of America’s National Identityuntuk politikAmerika. Bekerja sama dengan murid-muridnya, ia menciptakan sub-bidang kajian strategis, wilayah yang tidak secara serius diteliti oleh sebagian besar universitas hingga ia mengkajinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Buku pertama Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations, diterbitkan pada 1957 dan menimbulkan kontroversi besar. Buku ini telah dicetak uang 15 kali dan masih dianggap sebagai buku standar mengenai bagaimana urusan militer bersilangan dengan dunia politik. Bahkan, untuk memeringati 50 tahun terbitnya buku ini, Akademi Militer West Point menggelar simposium pada 2007. Untuk sebagian, buku tersebut diilhami oleh kritik Presiden Harry Truman atas Jenderal Douglas MacArthur—dan pada saat yang sama ia memuji bahwa korps perwira tetap stabil, profesional, dan netral politik.

Political Order in Changing Societies, terbit pada 1968, termasuk di antara karya Huntington yang luas pengaruhnya. Ketika itu para ahli ilmu politik terpukau oleh besarnya perubahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang “sedang berusaha menjadi modern.” Teori modernisasi dianut oleh para ahli ilmu politik, dan perbandingan politik disorot dalam konteks modernisasi.

Di tengah perdebatan mengenai teori-teori modernisasi yang menganggap penting perubahan ‘nilai-nilai normatif’ menjadi ‘modern,’ yang akan menghela perubahan di bidang ekonomi, politik, dan lainnya, Huntington mengajukan tesis yang berbeda. Menurut Huntington, politik berjalan dengan logika yang berbeda dari ekonomi; menjadi modern tidak berarti akan serta merta mengubah ekonomi, politik, dan hukum suatu negara-bangsa. (Dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan pada 1976, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Juwono Sudarsono menyertakan The Change to Change, tulisan Huntington yang membahas isu modernisasi, pembangunan, dan politik).

Di mata Huntington, tidak adanya ketertiban politik dan otoritas merupakan kelemahan paling serius di berbagai belahan dunia. Lebih dari bentuk rezim politik, derajat ketertiban dianggapnya sebagai pokok persoalan. Tanpa ketertiban politik, pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial tidak akan berhasil. Dua dekade kemudian, Huntington masih membahas tema yang sama dengan perspektif berbeda. Dalam bukunya, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, yang terbit pada 1991 dan memenangi Grawemeyer Award for Ideas Improving World Order, ia menyebutkan bahwa bentuk rezim politiklah—demokrasi atau kediktatoran—yang merupakan pokok persoalan.

Dalam penilaian Francis Fukuyama, Political Order in Changing Societies mungkin merupakan upaya besar terakhir untuk membangun teori umum tentang pembangunan politik. Ketika penulis The End of History itu menjadi pengulas buku di Foreign Affairs, pada 1997, ia menominasikan Political Order sebagai salah satu dari lima buku terpenting mengenai politik internasional yang diterbitkan dalam 75 tahun terakhir. Mungkin karena itulah, Huntington meminta Fukuyama untuk menulis pengantar bagi cetakan baru edisi paperback buku tersebut, yang terbit pada 2006.

Dalam buku itu, Fukuyama antara lain menulis: “Untuk memahami nilai penting Political Order secara intelektual, kita perlu menempatkannya dalam konteks gagasan yang dominant pada 1950an dan awal 1960an. Saat itu sedang ramai-ramainya ‘teori modernisasi,’ yang barangkali merupakan ikhtiar paling ambisius orang Amerika untuk menciptakan teori perubahan sosial manusia yang terintegrasi dan empiris. Teori modernisasi memiliki asal-usulnya dalam karya akhir abad ke-19 di Eropa, karya teoritisi seperti Henry Maine, Émile Durkheim, Karl Marx, Ferdinand Tönnies, dan Max Weber.” 

Penulis-penulis ini membangun serangkaian konsep (yakni status/kontrak; solidaritas mekanik/organik; otoritas rasional karismatik/birokratik) yang berusaha menggambarkan perubahan-perubahan dalam norma dan hubungan sosial yang terjadi sebagai ciptaan masyarakat manusia dalam transisinya dari era pertanian ke produksi industri. Karya ini lahir terutama dari pengalaman modernisator awal seperti Inggris atau AS, dan berusaha menarik hukum pembangunan sosial yang bersifat umum.

Walau Political Order dipuji oleh Fukuyama, namun The Clash of Civilizations tak bisa dipungkiri merupakan karya yang paling memancing perdebatan. Dalam perjuangan peradaban ini, tulis Huntington, Islam akan muncul sebagai tantangan utama terhadap Barat. “Hubungan antara Islam dan Kristen, baik ortodoks dan Barat, seringkali ribut…. Konflik abad ke-20 antara demokrasi liberal dan Marxis-Leninisme hanyalah fenomena sejarah yang cepat berlalu dan superfisial dibandingkan dengan hubungan yang terus berlanjut dan sangat berbau konflik antara Islam dan Kristen.”

Huntington mengemukakan pandangannya itu pertama kali dalam artikel yang terbit pada 1993 di jurnal Foreign Affairs. Ia mengembangkan tesisnya itu menjadi buku, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, yang terbit pada 1996 dan hingga kini telah diterjemahkan ke dalam sekitar 40 bahasa.

Pandangan Huntington itu banyak menuai kritik. Amartya Sen, dalam karyanya Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), menyoroti tesis yang membenturkan peradaban, yang cenderung tertuju pada perbedaan agama sebagai karakteristik sentral yang membedakan budaya-budaya. Dalam penilaian Sen, tesis ini mempunyai cacat konseptual di dalam memandang manusia sebagai memiliki satu afiliasi saja dan mengandung kesalahan historis karena mengabaikan interelasi penting antara apa yang diasumsikan sebagai peradaban yang terpisah dan memiliki ciri berbeda. Pendekatan ini juga mengabaikan heterogenitas afiliasi agama yang mencirikan kebanyakan negara dan, terlebih lagi, kebanyakan peradaban.

Pendekatan ini, di mata Sen, bisa menjadi persoalan yang amat besar, sebab orang-orang yang menganut agama yang sama seringkali menyebar di banyak negara yang berlainan dan di sejumlah benua yang berbeda. Sen mencontohkan, India mungkin dilihat oleh Samuel Huntington sebagai “peradaban Hindu,” namun dengan hampir 150 juta warga Muslim, India adalah negara Muslim terbesar ketiga di dunia. India memiliki jauh lebih banyak penduduk Muslim dibandingkan dengan negara-negara yang oleh Huntington dikategorikan sebagai “dunia Muslim.”

Sen mengingatkan, sejarah dan latar belakang bukanlah satu-satunya cara melihat diri kita dan kelompok yang kita menjadi bagian darinya. Ada sangat beragam kategori di mana kita secara serentak menjadi bagian kategori-kategori itu. Pada saat yang bersamaan, kata Sen, ”saya bisa menjadi orang Asia, warga India, orang Bengali dengan moyang Bangladesh, penduduk Amerika atau Inggris, ekonom, orang yang iseng berfilsafat, penulis, berbahasa Sankrit, sangat meyakini sekularisme dan demokrasi, seorang pria, feminis, heteroseksual, dari latar belakang Hindu, bukan kasta Brahma, dan orang yang tidak memercayai hari kemudian.”

Huntington lahir pada 18 April 1927 di New York City, putra dari Richard Thomas Huntington—seorang editor dan penerbit—dan pasangannya, Dorothy Sanborn Phillips, penulis. Ia memperoleh BA dari Yale University (1946), memasuki dinas militer, lalu memperoleh MA dari University of Chicago (1948), dan Ph.D dari Harvard pada 1951. Ia mengajar di Harvard tanpa jeda sejak 1950 dan sempat menjadi associate professor di Institute of War and Peace Studies di Columbia University.

Huntington agaknya seorang sarjana yang menikmati betul profesinya sebagai pengajar. Dalam surat pensiunnya kepada Presiden Harvard, 2007, ia menulis, antara lain, “Sulit bagi saya untuk membayangkan karier yang lebih menghargai atau lebih menyenangkan daripada mengajar di sini, khususnya mengajar mahasiswa tingkat sarjana. Saya menghargai setiap tahun dari tahun-tahun yang saya jalani di sini sejak 1949.”

Namun Huntington juga tak bisa menampaik daya tarik politik praktis. Tatkala Jimmy Carter memasuki Gedung Putih, ia bergabung sebagai koordinator perencanaan keamanan untuk Dewan Keamanan Nasional (1977-78). Ketika itu Zbigniew Brzezinski yang menjadi Penasihat Keamanan Nasional Carter, dan ia adalah kawan dekat Huntington. Pada 1964, Brzezinski bersama Huntington sebagai co-author, menulis Political Power: USA-USSR, yang merupakan kajian utama mengenai dinamika Perang Dingin—dan bagaimana dunia dapat dibentuk oleh dua filsafat politik yang saling bertentangan.

Hingga akhir hidupnya, potensi konflik yang melekat dalam kebudayaan begitu menonjol dalam mengambil tempat pada pemikiran Huntington. Sebelum kesehatannya merosot, pada musim gugur 2005, ia mulai mengeksplorasi isu agama dan identitas nasional. “Sam itu sejenis sarjana yang membuat Harvard universitas besar,” kata sahabat Huntington hampir enam dasawarsa, ekonom Henry Rosovsky, “Orang-orang di seluruh dunia mempelajari dan memperdebatkan gagasannya. Saya yakin, ia salah seorang political scientist paling berpengaruh dalam 50 tahun terakhir.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB