x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Kakao ke Kokoa (Bagian 3)

Catatan kecil tentang cokelat. Mengapa cokelat itu kakao dan kokoa, dari mana asal, perjalanan nib sampai aneka olahan, mengapa negeri-negeri pemilik perkebunan cokelat tak mengenal budaya mengonsumsi cokelat coba saya tulis disini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada dasarnya, daging biji kakao atau cacao nib-lah bahan baku olahan-olahan cokelat. Selepas dipanggang, daging biji kakao digiling memperkecil ukuran kemudian dipres untuk mengeluarkan kandungan utama lemak cokelat atau cocoa butter. Sisa ekstraksi atau proses pengepresan adalah padatan cokelat, sering disebut cocoa cakes, yang tetap dapat diolah, meskipun jelas kandungan nutrisi tidak sekaya cocoa butter karena sekedar ampas atau sisa proses.

Lemak kokoa ditambah susu murni ditambah gula menjadi cokelat couverture, sementara ampas proses, padatan cokelat, diolah menjadi kokoa bubuk atau cocoa powder. Selain dipakai dalam berbagai aplikasi seperti kue, minuman, dan dekorasi cokelat, kokoa bubuk masih bisa diolah menjadi cokelat compound dengan menambahkan susu, gula, dan minyak kelapa atau minyak sawit menggantikan kandungan lemak yang telah habis terperas dalam cocoa powder. Bentuk couverture dan compound persis sama berupa cokelat batangan, tapi soal kandungan jelas beda. Couverture mengandung lemak cokelat asli dan disanalah kekayaan nutrisi cokelat berada, sehingga sering dijuluki real chocolate, berbeda dengan compound yang minus nutrisi cokelat karena kandungan lemak cokelat pada compound telah digantikan minyak nabati.

Negeri konsumen besar cokelat atau negeri dengan industri cokelat besar, seperti Swiss dengan Nestle dan Lindt, Inggris dengan Cadbury, Amerika Serikat dengan Hershey, Belgia dengan Callebaut, juga banyak negara Eropa lainnya mengonsumsi couverture. Negara-negara ini demikian menjaga ‘kelas’ cokelat mereka. Belgia misalnya, bahkan membuat peraturan persen minimal kandungan real chocolate dalam tiap olahan cokelat di negaranya, sebagai jaminan cokelat yang mereka jual dan mereka konsumsi really really real chocolate atau cokelat berkualitas tinggi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beda nasib negara-negara pemilik perkebunan yang akhirnya lebih banyak mengonsumsi compound. Saking tingginya permintaan cokelat negara konsumen, ditambah kondisi perdagangan bebas yang dianut dunia, negara-negara pemilik perkebunan memilih mengekspor kakaonya. Negara-negara pemilik perkebunan cokelat, negeri-negeri subur di sekitar khatulistiwa, yang sayangnya dan entah mengapa rata-rata bukan berstatus negara maju, adalah negara-negara yang masih harus mengejar ketertinggalan. Salah satu caranya, sesuai yang ditetapkan, setelah nasehat badan-badan dunia yang harus dijalankan akibat kelas rendah, adalah dengan menggenjot ekspor.

Seperti tidak masuk akal jika pabrik cokelat di negara-negara pemilik perkebunan akhirnya perlu mengimpor demi memenuhi target produksi dalam negeri, tapi sungguh, ini kenyataan, PT. Freyabadi Indotama, misalnya. Menurut Hayu, salah satu mentor sekolah cokelat PT. Freyabadi, perusahaan cokelat tempatnya bekerja perlu mengimpor kakao dari Ghana untuk kebutuhan produksi gara-gara pasokan perkebunan dalam negeri tak mencukupi. Cokelat olahan mereka akhirnya juga harus bersaing dengan merek asing yang mengincar pasar luas Indonesia.

Karena kalah besar, kalah jaringan, kalah luasan pasar, kalahlah produk-produk tadi di negeri sendiri. Perusahaan-perusahaan cokelat dalam negeri memproduksi compound karena produk itu lancar pemasaran. Sangat berbeda kondisi di negara-negara konsumen besar cokelat, yang bahkan melarang compound dilabeli cokelat. Image terbentuk spesialisasi dalam negeri adalah compound alias not real chocolate.

Pemahaman minim tentang ini, ditambah derasnya propaganda asing akan keunggulan produk mereka yang memang telah membanjir, melahirkan pasar olahan cokelat konsumtif buatan asing. Kita masih mempermudah dengan menghapuskan pajak-pajak kosekuensi kesepakatan pasar bebas. Akhirnya lingkaran setan, hampir pasti produk Indonesia kalah bersaing dengan produk asing di pasar dalam negeri, perusahaan-perusahaan dalam negeri kalah dalam persaingan pasar bebas internasional, karena sistem.

Negara-negara dikelas-kelas. Negara-negara subur, kaya hasil bumi, tidak satupun berstatus maju sehingga ‘wajib’ hukumnya menuruti ‘nasehat’ badan perekonomian dunia. Negara-negara kaya hasil bumi harus mengekspor hasil buminya demi mendongkrak devisa agar dihasilkan kenaikan pendapatan. Untuk kebutuhan dalam negeri, bangsa-bangsa negeri kaya kekurangan pasokan hasil buminya sendiri yang sesungguhnya melimpah. Mereka harus balik mengimpor, biaya tinggi. Produk lokal akhirnya kalah bersaing bahkan di pasar sendiri karena pasar dalam negeri dihujani produk asing dengan harga bersaing.

Benarkah dunia tengah membangun pasar yang fair, adil, atau ini bentuk kini nafsu monopoli perdagangan? Jangan lupa, masih ada perbudakan manusia akibat tekanan ekspor tinggi bahkan dalam lima tahun terakhir. The Dark Side Of Chocolate kita bahas setelah ini.  

Bersambung

 

Sumber foto : topdocumentaryfilms.com

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu