x

Buruh tambang timah saat berkerja di lokasi tambang di Belitung, 1930. Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT)

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tambang Timah, Jejak Tionghoa di Bangka

Tulisan ini mengulas sejarah hubungan tambang timah dan awal jejak kemunculan orang-orang Tionghoa di Bangka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam jejak diaspora manusia di muka bumi, orang-orang Tionghoa dikenal banyak terlibat dalam percaturan ekonomi di berbagai belahan dunia. Pada setiap zaman dan tempat, mereka identik sebagai manusia gigih. Ajaran nabi mereka, Kong Hu Cu, yang mewariskan etos semangat berusaha tampaknya telah menggerakkan hasrat kemajuan dalam jiwanya. 

Pada abad ke-19 mereka menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di antara mereka banyak yang menuju ke berbagai wilayah pertambangan. Pada kurun1840 dan 1850-an, tambang emas di California dan Australia menjadi incaran para penambang dari berbagai benua. ”Indra penciuman” terhadap tambang sendiri begitu melekat pada orang-orang Tionghoa; khususnya yang berasal dari Hakka, mereka punya pengalaman dan keunggulan dalam teknologi pertambangan. Orang-orang Hakka juga punya semacam jaringan organisasi yang apik dalam mendatangkan buruh-buruh dari daratan Tiongkok. Mereka jugalah yang mampu menguasai buruh, sehingga membuat aktivitas pertambangan dapat berjalan.

Tapi, jika dibandingkan dengan aktivitas pertambangan di Amerika dan Australia yang baru tereksplorasi pada masa abad ke-19, maka di Indonesia, jejak pertambangan ternyata telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya. Pada abad ke-3 M, sumber-sumber berita dari Tiongkok telah menyebut adanya emas dari Ko-Ying yang diperkirakan berada di sebelah selatan Sumatra. Itulah alasan sebutan ”Suvarnabhumi” atau ”Swarnadwipa” atau ”Negeri Emas” melekat erat pada Sumatra. Sebagaimana Robert Dick-Read menjelaskan dalam bukunya The Phantom Voyagers (2005) perihal prasasti berbahasa pra-Malagasi dari abad ke-7 M tentang pulau Bangka. Prasasti itu mendeskripsikan mengenai ”lingkungan Kerajaan Sriwijaya yang memiliki harta karun berisi emas dan properti.” Dari masa ke masa, eksploitasi pertambangan mulai dikerjakan kian serius, terhitung sejak abad ke-5 hingga abad ke-17 M (sebagaimana grafik sejarah produksinya ditampilkan oleh Dick-Read).     

Dalam sejarah pertambangan, negeri Tiongkok sendiri sudah sejak lama menjadi penerima upeti emas terbesar dari Nusantara. Tampaknya kebiasaan menerima upeti inilah yang mendorong orang-orang Tionghoa menempa dirinya menjadi penambang langsung ke sumbernya. Pada abad ke-18, VOC memonopoli komoditas pertambangan di Nusantara. Keadaan ini memengaruhi terjadinya arus migrasi nasional dan internasional yang memantik peperangan antara VOC, raja-raja lokal, orang-orang setempat, dan pengusaha Tionghoa demi menuju sumber tambang. Sejak itu, eksploitasi tambang mengarah pada pergerakan kuli dan budak pertambangan. Orang-orang Tionghoa dari selatan direkrut dan ditempatkan di pertambangan emas di Kalimantan Barat dan pertambangan timah di Bangka-Belitung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bangka yang merupakan wilayah kandungan timah terbesar pada masa abad ke-19 mesti bersaing dengan gold rushes di Amerika dan Australia dalam hal pengadaan buruh dari Tiongkok. Karena persaingan pertambangan juga, wilayah Bangka dengan Belitung terpisahkan oleh kepentingan politik timah pemerintah kolonial. Orang-orang Tionghoa sendiri sadar prospek keuntungan timah berada di bawah emas. Maka itu sebagaimana diungkap Mary F. Somers Heidhues dalam Bangka Tin and Mentok Pepper: Chinese Settlement on an Indonesian Island (1992), reputasi jelek pertambangan di Bangka membuat kuli-kuli Tionghoa menjauh dari wilayah itu. Tapi, berkat peran para opsir dan saudagar Tionghoa yang merekrut dan membawa para kuli Tionghoa ke Bangka lalu menjualnya ke kongsi, maka aktivitas pertambangan timah secara perlahan tapi pasti makin berdenyut; meski arus kedatangannya sejak 1853 hingga 1859 mengalami fluktuasi.

Teknologi pertambangan paling awal yang dikembangkan oleh para kuli Tionghoa di Bangka adalah ciam (mengebor) yang menghasilkan kolong (lubang tambang besar). Dari tahun ke tahun angka produksi yang terus meningkat seiring permintaan konsumen timah dunia, akhirnya menggiring pada mekanisasi tambang. Mekanisasi berarti sarana pemuasan nafsu produksi sebesar-besarnya. Kincir angin berantai yang sebelumnya mesti digerakan tenaga manusia, akhirnya digantikan mesin bertenaga uap. Pun, tungku manual berbahan bakar arang untuk melebur bijih besi akhirnya digantikan Vlaanderen Oven yang hemat arang serta menghasilkan logam lebih banyak ketimbang perangkat tambang milik para penambang Tionghoa (Heidhues, 1992).

Eropanisasi tambang seperti kasus di Bangka membenarkan ucapan Dick-Read (2005) yang menanggapi eksploitasi masif pertambangan emas di Sumatra pada kurun 1900 – 1940 seraya berseloroh: “jika mereka mampu memperoleh emas dalam jumlah yang lebih banyak dari sumber-sumber lain, raja mana pun tak mungkin berdiam diri melihat peluang yang sudah ada di depan hidungnya.” Pada awal abad ke-20, firma-firma dari Singapura, Arnhem, dan Amerika Serikat pun mulai melebur bijih besi di Bangka. Akibatnya, kebutuhan akan kayu arang kian besar. Praktis, selain batubara, pemerintah juga memerlukan persediaan lahan yang cukup untuk menghasilkan kayu arang. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang tergusur akibat mekanisasi tambang, lalu diberi peluang kerja untuk membudidayakan lada.

Mengingat harga timah mengikuti kondisi pasar global, maka saat krisis melanda, lada menjadi alternatif ekonomi. Pada awal abad ke-20, penanaman lada di sekitar lokasi tambang diupayakan para kepala tambang. Para petani Tionghoa merawat secara tekun perkebunan lada, meski status kebun-kebun lada itu adalah sampingan dalam usaha pertambangan. Para penggarap kebun lada sendiri adalah mereka yang sebelumnya ditolak bekerja di tambang. Orang-orang Tionghoa mendapat berkah pemasukan di tengah krisis timah. Berkah-berkah ini juga yang dialami saudara-saudara mereka di Deli yang mengangkut tinja setiap pagi untuk kemudian diproses menjadi pupuk tanaman tembakau. Tampaknya ini sudah jadi bakat turunan orang-orang Tionghoa mengintip berkah ketika dibelit masa-masa sulit.

Berkah lain dari masa sulit bukan hanya dialami orang-orang Tionghoa, tapi juga perkembangan wilayah Bangka dan Belitung itu sendiri. Masalah lesunya produksi timah di Bangka berbeda halnya dengan angka produksi di Belitung yang meningkat pada akhir abad ke-19. Bagusnya sistem organisasi tambang di Belitung akhirnya berbuah kesuksesan. Bangka pada akhirnya bergantung pada Belitung. Hasilnya bukan hanya soal kuat-lesunya angka produksi dan keuntungan ekonomi, tapi turut terhapusnya politisasi tambang yang pernah memisahkan wilayah Bangka dan Belitung pada 1853. Alhasil pada 1933 ditetapkan reunifikasi Belitung sebagai bagian dari Keresidenan Bangka (Heidhues, 1992). Kondisi ini juga yang memengaruhi bertambahnya populasi orang-orang Tionghoa hingga awal abad ke-20. Citra Bangka saat ini dihasilkan dari jejalin kondisi tersebut di atas.   

Kiranya bisa dipahami, ternyata kisah orang-orang Tionghoa dan Eropanisasi tambang di Bangka merupakan jejalin hubungan yang menarik sekaligus menegaskan, bahwa: sejarah Bangka bukan cuma perubahan, tapi juga persambungan yang tidak putus dari masa lalunya.

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler