x

Seorang pengunjung mengambil gambar bunga yang bermekaran di taman Keukenhof yang juga disebut sebagai Taman Eropa di Lisse, Belanda,15 April 2015. Taman Keukenhof, dianggap taman bunga terbesar di dunia yang menampilkan jutaan bunga setiap tahun.

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang Terasing Tak Bisa Pulang

Akibat ketegangan politik menuju 1965, para mahasiswa ikatan dinas di masa itu dihadapkan pada pilihan: ingkari Soekarno atau eksil di tanah orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kami, saya dan Yanti, seorang teman SMA dulu, baru saja pulang dari Amsterdam. Kami naik kereta yang sama jurusan Dordrecht, melintasi kota Leiden tempat Yanti tinggal selama tujuh tahun untuk menempuh studi sarjana sampai magister. Ia sedang mencari kerja, dalam beberapa bulan ini, dan karenanya punya cukup waktu senggang untuk menemani saya selama tiga hari ini.

Datang ke Amsterdam sama sekali bukan untuk jalan-jalan. Kami cuma punya waktu sehari di sana, dan digunakan sepenuhnya demi bersilaturahmi dengan seorang kelahiran Bali yang memilih eksil di Belanda, terutama pasca peristiwa 1965 berlangsung. Made Raka, nama pria itu (apakah saya harus menuliskan identitasnya dengan nama sebenarnya?) ditahan paspornya pada tahun 1962 karena tidak bersedia mengingkari jasa dan pemerintahan Soekarno. Istrinya juga serupa. Mereka yang semula mahasiswa utusan Indonesia untuk belajar di Tiongkok dan Rusia, kebanyakan juga bernasib serupa.

“Yanti sudah tujuh tahun di sini. Rencananya ingin kembali ke Indonesia?” Made Raka, yang usianya saya taksir sudah di atas 70 tahun bertanya kepada Yanti pada saat makan siang bersama di apartemennya yang sederhana, beberapa ratus meter dari kediaman Anne Frank yang bersejarah.

“Belum tahu, Pak Made. Saya masih ingin bekerja dulu di sini, mencari pengalaman setelah kuliah…” yang ditanya menjawab sopan sembari menambahkan cerita perihal kegiatan yang sudah dilakukannya selama ini.

“Bagus kalau begitu. Sebaiknya Yanti harus pulang. Indonesia pasti menunggu sumbangsih yang bisa Yanti berikan…”

Kalimat itu mungkin terasa sederhana saja. Namun, bilamana diungkapkan oleh seorang yang eksil, seorang yang dulunya mahasiswa cemerlang peraih beasiswa ke luar negeri, dan sayangnya kemudian tidak diperkenankan pulang oleh negaranya sendiri, bagi saya, itu benar-benar mengharukan. Tidak. Mencengangkan tepatnya.

Made Raka mengungkapkan itu dalam nada biasa saja. Sambil menyendok ayam sisit—sejenis masakan ala Bali—juga sayur tahu buatan istrinya.

Kemudian ia menuangkan teh ke dalam gelas kami masing-masing. Dan bercerita tentang Belanda, negeri yang ia diami selama puluhan tahun.

“Sejak itu, kapan Pak Made berkunjung ke Indonesia?” Akhirnya, rasa ingin tahu yang sudah beberapa lama saya pendam itu keluar juga. Jelas bukan pertanyaan yang baik ditujukan bagi seorang yang lama terusir dari tanah air.

Akan tetapi, di luar dugaan saya, pria itu menjawab santai seperti sedang membincangkan, apakah besok kita jadi jalan-jalan menyusur kanal, atau bagaimana kalau nanti sore pergi membeli buah-buahan untuk bahan jus kesukaannya.

“Saya ke Indonesia di tahun 1983, kalau tidak salah…”

“Wah, dua puluh tahun kemudian?” lagi-lagi saya melontarkan pertanyaan yang tidak perlu. Siapapun yang paham matematika pasti tahu itu.

“Kok dua puluh tahun sih? Kurang dong…” Made Arka menukas sambil mengernyitkan dahinya. Mungkin ia bingung karena merasa peristiwanya terjadi tidak dalam rentang selama itu. Barangkali ia mengingat-ingat bahwa kejadian berlangsung kemarin sore? Boleh sangka demikian.

Beberapa lama berselang, ia mengoreksi kenangannya sendiri. “Yaa, dua puluh tahun…”

“Dan tidak rindu Indonesia lagi?”

Kali ini Yanti menatapku sekilas, seraya menusukkan tatapan penuh tanya. Saya segera menyadari, niatan untuk membuat candaan dan pencair suasana dengan mengungkapkan kalimat barusan dalam nada ringan, bukanlah hal yang tepat.

Siapa yang akan merindukan negeri lahirnya, bilamana ternyata kemudian ia justru dilarang pulang oleh saudara sebangsanya sendiri? Membuatnya harus tinggal puluhan tahun, beribu mil jauhnya dari kampung halaman serta segala kenangan indah masa kanak yang dipunya. Harapan hidup yang lebih baik? Jangan tanyakan. Hidup baik macam apa yang bisa dipilih oleh seorang eksil, mahasiswa yang baru saja lulus kuliah sarjana yang waktu itu belum punya pengalaman apapun?

Made Raka menyerpih sebuah kerupuk tenggiri—yang dibeli dari toko asia di Belanda—dan membagikannya pada saya sebagai teman makan siang.

“Tentu saja rindu. Meski niatan untuk kembali sudah tidak ada lagi.”

 ***

Yanti yang tadi memberitahu hendak lelap sebentar dalam perjalanan dengan kereta, entah mengapa kemudian ikut terjaga dan melamun menyaksikan bangunan, ladang dan kanal yang berlintasan di luar jendela.

Gadis itu nampak lelah. Katanya demam dan pusing yang beberapa hari kemarin dideritanya belum sepenuhnya sembuh. Tadi pagi, sebelum kami ke Amsterdam, ia memberanikan pergi ke dokter dan menyampaikan secara antusias saat ia pulang satu jam kemudian, bahwa dokter yang biasanya hanya menyarankan istirahat dan minum banyak air putih, tadi bersedia melakukan tindakan medis yang sangat lazim di Indonesia: mengukur tekanan darah dan menulis resep obat migrain.

Saya geli sendiri mendengarkan penuturannya. Dokter di sini memang dikenal enggan memberikan obat-obatan. Bahkan ada anekdot yang bilang, dokter di Belanda tidak akan mau memeriksa pasien sebelum bertanya: “Apakah Anda sekarat?” kendati ia menyaksikan si penderita kejang-kejang di hadapannya.

“Pasti tidak mudah ya, Yanti, hidup di Belanda, bertahun-tahun...”

Teman saya itu tersenyum maklum saja, seolah saya ini anak kecil yang lugu polos dengan pertanyaan dan komentar apa adanya, dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. “Hidup di mana pun juga tidak mudah...”

Maksudku, kembali saya menjelaskan, untuk orang seperti Pak Made Raka dan istrinya, pastilah sangat traumatik. “Siapa yang bisa membincangkan Indonesia secara hangat dan bahkan menyarankan supaya kamu kembali pulang, sementara hal sebaliknya justru dulu mereka alami?”

“Mereka pasti telah melewati semua kebencian, dendam, putus asa dan rasa pedihnya, sebelum akhirnya bisa sampaikan penyataan itu kepada kita...” lanjut saya sembari melempar pandang keluar.

Pikiran saya melayang tiba-tiba pada pengalaman seminggu yang lalu tatkala mencoba lelap dalam kamar kos yang saya diami selama program pertukaran mahasiswa di musim panas ini. Tetangga di kamar sebelah, seorang pelajar Indonesia, saat itu melakukan kontak video call dengan seorang kenalannya. Suaranya keras sekali, sampai saya bisa mendengar apa saja yang mereka bincangkan.

Gue udah lulus magister di Belanda. Masa mau langsung pulang? Pengalaman kerja enggak punya, prestasi pas-pasan. Gila aja, ada banyak orang lulusan luar negeri yang sama-sama balik ke Indo...Tau enggak, kalau pikir-pikir, rasanya useless kuliah susah-susah di sini karena predikat sarjana universitas luar enggak banyak artinya...”

Diam-diam, sekarang ini, saya sangat berharap, semoga tidak semua mahasiswa muda Indonesia yang sedang menuntut ilmu di luar tanah air punya pikiran seperti tetangga sebelah itu. Saya kira adalah sangat menyedihkan bilamana tidak menemu rasa syukur berhasil mendapat pendidikan baik, sampai ke luar negeri pula, sementara di daerah lain di Indonesia ada anak yang kesusahan masuk sekolah dasar sekalipun. Lain dari itu, jika mereka pulang, masih ada keluarga dan rumah yang bersedia menyambut kedatangannya. Mereka hanya merantau beberapa tahun, bukan menetap di tanah orang tanpa kepastian apakah bisa kembali nantinya.

***

“Jadi, besok kalian akan ke Pura di Belgia? Bukankah ada odalan Kuningan?”

Made Raka bertanya sewaktu kami berpamitan. Ia mengantar sampai pintu depan apartemennya, bersama istrinya yang halus budi itu. Saya mengiyakan pertanyaannya, sambil menambahkan bahwa akan pergi bersama salah seorang kenalan orang Bali yang lama bekerja di Bandara Schiphol, Amsterdam.

“Yanti belum tahu apakah mau ikut. Karena kondisi belum baik,” teman saya memberi sedikit keterangan.

Lelaki itu tersenyum ramah, layaknya seorang ayah pada dua putrinya yang baru saja mulai dewasa. “Memang sebaiknya istirahat saja. Doa kan bisa darimana saja,” imbuhnya sambil menyalami kami.

“Dan jangan lupa sampaikan salam kami kepada semeton Bali di sana. Salam hangat dari keluarga Bli Raka di Amsterdam...”

Kami menyambut dengan gembira permintaannya yang sederhana itu. Hanya pikiran saya tidak habis-habisnya merenung:

Bilamana ternyata saya, atau anak muda manapun di masa sekarang ini, mengalami nasib sepertinya dahulu, apakah bisa, apakah sanggup, kami mengolah gemuruh batin akibat kenyataan pahit diasingkan, dibuang, dilupakan di tanah orang?

Sungguh saya ragu. Dan, barangkali, hanya waktu yang tahu, bagaimana menjawab pertanyaan itu.

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu