x

Warga mencari air bersih saat musim kemarau di sungai Tajum di Desa Kracak, Kecamatan Ajibarang Banyumas, 12 Agustus 2015. (Aris Andrianto/Tempo)

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Desa Kita Berlayar

Pemberlakuan UU Desa menjadikan unit terkecil pemerintahan ini pikuk dengan beebagai aktivitas. Seberapa jauh akan benar-benar menguntungkan rakyat kecil?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Desa, menurut saya, menjadi pusat dari seluruh tingkah polah manusia di negeri ini. Desa menjadi sumber tenaga mesin politik, yang hanya akan mengalami pikuk manakala prosesi demokrasi electoral menjelang dilaksanakan. Bukan pikuk pencerdasan,  melainkan pikuk pokal para politisi melakukan pembodohan.  Merayu kelompok miskin desa untuk menyerahkan suara mereka dengan membagi-bagi beras, minyak, dan juga mungkin uang.  Mengotori wilayah desa dengan baner,  spanduk dan baliho,  yang sebagiannya tertempel di pohon-pohon secara liar.

Pada situasi remuk redam, dan kontestasi kepentingan berbagai aktor politik dan elit kekuasaan, kita masih tetap bisa melihat wajah sumringah desa yang justru tak tersentuh, geliat kebudayaan. Kegembiraan yang pada akhirnya mampu menutupi luka budaya di negeri ini, yang terejawantahkan dalam bentuk berbagai seni tradisi.

UU Desa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaannya, apakah geliat orang-orang desa akan bisa menggelembung dan menguat dengan diberlakukannya UU Desa pada Desember 2013. Setidak-tidaknya, harapan pada dua bidang utama, ekonomi dan politik, jawabannya akan 'ya'. Tetapi,  mungkin jawaban akan 'tidak' dalam wilayah kebudayaan. Hampir bisa dipastikan, kebudayaan tak akan mendapat perhatian, dalam implementasi UU Desa, karena pikuk itu akan kembali menyeruak hanya dalam wilayah kekuasaan politik dan ekonomi di desa. Misalnya, diskusi yang berkembang sudah mengarah pada rupiah, sebesar 600 juta atau 1 milyar untuk setiap desa.

Gagasan ini muncul bukan sedang membangun pesimisme masyarakat desa terhadap pemberlakuan UU Desa. Melainkan sebuah ajakan diskusi secara kritis agar UU Desa benar-benar bermakna secara substansial. Mengajak kelompok kritis untuk bersama-sama membaca ruang-ruang yang tak terpikirkan atau mungkin akan tertinggal dalam implementasi kebijakan ini.

Dalam bidang ekonomi, misalnya,  bagaimana BUMDes yang diamanatkan dalam UU akan dikelola. Siapa yang akan menguasai badan usaha ini,  siapa investornya, dan apakah memungkinkan untuk menerima penanaman modal asing secara langsung seperti yang terjadi pada level Kabupaten dan Provinsi?

Belum lagi persoalan-persoalan lain, seperti partisipasi perempuan, kesejahteraan anak, kelompok difabel, dan juga prinsip pembangunan berkelanjutan yang sedang dibahas dalam forum dunia, dan Presiden RI, menjadi Ketua Panel Ahlinya. Semuanya tak mungkin cukup tertampung dalam pasal-pasal secara implisit. Melainkan harus tertuang dalam kebijakan secara eksplisit.

Akses dan Kontrol

Setidaknya ada dua aras yang bisa dikelola agar UU Desa bisa memiliki makna bagi masyarakat desa. Pertama, memberikan akses terhadap penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Ruang penyusunan ini menjadi penting karena dokumen ini yang akan mengatur operasionalisasi UU. Berbagai tata aturan global yang ada dalam UU akan diatur dalam dokumen PP secara lebih teknis.

Kehendak berpartisipasi tentu saja tak cukup hanya menjadi milik masyarakat desa. Melainkan harus menjadi kehendak pengambil kebijakan.  Artinya,  pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan RPP secara langsung. Pemerintah harus bersedia membuka diri secara terus menerus sampai RPP disahkan menjadi PP.

Memang tidak mudah menumbuhkan tradisi baru dalam penyusunan RPP semacam ini. Bahkan mungkin akan menjadi mustahil akan terjadi manakala pemerintah tak memiliki pemikiran terbuka dan hendak melakukan perubahan dalam kebiasaan penyusunan kebijakan. Ini sama artinya pemerintah harus mengubah paradigma penyusunan kebijakan seperti yang telah berjalan selama ini.

Kedua, kapasitas masyarakat melakukan kontrol terhadap implementasi UU Desa yang secara operasional telah diatur dalam kebijakan di bawahnya, mulai dari PP, Permen, dan bisa juga sampai ke Peraturan Daerah. Titik rentan terjadinya multi tafsir berada pada kebijakan pada level yang lebih rendah. Berbagai kepentingan semakin banyak yang bermain untuk menangguk keuntungan.

Efektivitas kontrol masyarakat membutuhkan dua prasyarat penting: kemampuan masyarakat melakukan analisis sosial dan membaca secara kritis kebijakan untuk disandingkan dengan realitas sosial. Prasyarat selanjutnya, pemegang kekuasaan tak alergi menerima kritik dan hasil analisis masyarakat atas pelaksanaan kebijakan di lapangan. Pelaporan-pelaporan resmi secara struktural dari bawah ke atas, harus disandingkan dengan catatan kritis dari masyarakat desa.

Agenda Strategis

Pendidikan masyarakat desa untuk mampu terlibat dalam proses penyusunan kebijakan dan melakukan kontrol atas implementasi kebijakan menjadi salah satu tindakan penting yang harus dilakukan dalam jangka pendeknya. Dalam partisipasi penuh masyarakat harus menguasai analisis sosial dan memahami hak-hak dasar warga negara. Penguasaan terhadap dua persoalan ini, akan memampukan masyarakat untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kritis. 

Dalam proses  kontrol, masyarakat harus mendapatkan pendidikan mengenai indikator-indikator pembangunan, termasuk di dalamnya indikator dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Pada ruang lebih strategis,  masyarakat memiliki berbagai perspektif: perspektif perempuan,  anak, difabel,  dan perspektif lain, seperti lingkungan. 

Dalam konteks agenda strategis inilah, Forum Desa Nusantara memiliki relevansi yang signifikan. Kehadiran beberapa aktor yang terlibat dalam penyusunan UU Desa akan menjadi ruang penjelasan secara gamblang kepada masyarakat desa yang hadir mengenai arah dan indikator pelaksanaan UU Desa. Sehingga nantinya masyarakat desa akan bisa berpartisipasi dalam penyusunan RPP.

Hadirnya para pengambil kebijakan daerah, seperti gubernur dan bupati, akan memiliki kontribusi dalam penguatan kontrol masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap implementasi UU atau kebijakan-kebijakan yang berada di bawahnya.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler