x

Komisaris Jenderal Budi Waseso (kiri) berjabat komando dengan Komisaris Jenderal Anang Iskandar usai acara serah terima jabatan di gedung Rupatama, Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, 7 September 2015. Anang menyatakan penyidikan kasus yang sedang d

Iklan

Muhammad Luthfi Aldila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kasus Pelindo: Bukti Abnormalnya Penegakan Hukum

Ada yang tidak beres dari pencopotan Buwas sebagai kabareskrim. Sepertinya ada kekuatan besar dibalik keputusan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sungguh, perkembangan penegakan hukum belakangan ini begitu cepat. Perkembangan ini melesat bak peluru yang tidak diketahui kemana sasarannya. Tidak diketahuinya sasaran peluru ini tidak serta merta mengartikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan semestinya. Justru ketidaktahuan kita akan arah peluru inilah yang melahirkan suatu asumsi baru di benak kita bahwa ada yang tidak beres dengan penegakan hukum macam ini.

Sadarkah anda betapa berbahayanya jika penegakan hukum sudah bercampur dengan politik (kekuasaan)? Itulah kriminalisasi. Sebuah kejahatan terorganisir yang dilakukan dengan apik bak drama reality-show di sore hari. Oleh sebagian ahli, kriminalisasi memang diidentikkan dengan suatu mutasi genetika dari anomali-anomali dalam penegakan hukum. Ia bermetamorfosa menjadi bentuknya yang mendekati sempurna. Ia bisa diamati dari pola khusus yang tiba-tiba saja terjadi saat semangat penegakan hukum tanpa pandang bulu sedang berkobar. Misalnya saja kasus yang menimpa Antasari Azhar, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, bahkan kasus Munir, Akseyna, dsb. Dan karena bentuknya yang sulit dibuktikan inilah kemudian beberapa ahli mengidentifikasi kriminalisasi sebagai generasi terkini dari penyimpangan dalam penegakan hukum. 
 
Petaka ini rasanya persis, seperti ilmu yang saya pelajari dalam filsafat hukum. Dalam teorinya disebutkan bahwa hukum itu bersifat interpretatif. Maksudnya, hukum itu ialah sebuah ruang hampa yang berisi makna yang berbeda-beda. Dari sifat hukum yang hampa tersebut kemudian lahir apa yang disebut sebagai hermeunetika atau interpretasi makna. Misalnya jika anda menonton film. Maka film yang anda tonton adalah sebuah ruang hampa (sifat interpretatif) karena film tersebut berisi banyak makna didalamnya. Kemudian cara pandang anda ketika menonton film tersebut, baik mau anda lihat dari sisi kiri atau kanan merupakan suatu penafsiran yang dikenal sebagai hermeunetika. Objek hermeunetika disini ialah sebuah teks peraturan perundangan positif. Kesimpulannya, sifat interpretatif dan hermeunetika memungkinkan siapapun untuk bebas menafsirkan suatu produk hukum. Jika dikaitkan dengan kriminalisasi, bayangkan betapa celakanya andaikan hukum digunakan dengan seenaknya oleh para penguasa. Terlebih bila ditafsirkan dengan penuh nafsu kekuasaan. Maka sudah pasti keadaan ini sesuai dengan kalimat satiran yang berlaku di masyarakat kita: “Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas”. 
 
Mungkin petaka inilah yang kini sedang mendera Kabareskrim Polri Komjen Budi Waseso. Ia yang sebelumnya sedang memimpin penyelidikan kasus dugaan korupsi waktu tunggu bongkar muat barang (dwell time) tiba-tiba saja didera isu mengenai pencopotan dirinya dari jabatan kabareskrim. Ia diduga dicopot terkait ketidakwarasannya menggeledah ruang Dirut PT Pelindo II, RJ Lino. Terlebih, Isu ini kian cepat merebak pasca Lino 'meminta pertolongan' kepada Menteri, Menko hingga Wapres. Sampai di titik ini, telah nampak secercah bukti betapa kuat dan dominannya cengkraman tentakel politik (kekuasaan) pada penegakan hukum.
 
Padahal tidak ada yang spesial jika kita mendengar pencopotan jabatan atau yang dikenal dengan mutasi. Mengingat itu lumrah terjadi dalam organisasi yang menganut garis perintah vertikal seperti Polri. Namun ini terasa luar biasa ketika kita cermati dan pahami lebih dalam. Ada yang tidak beres dengan kasus PT Pelindo ini. Ketidakberesan ini sepertinya karena lumuran politik  amatlah banyak dalam perkara dwell time Tanjung Priuk ini.
 
Buktinya betapa lemahnya pemerintah menghadapi gertakan pengunduran diri dari Dirut PT Pelindo II, RJ Lino sampai-sampai beberapa menteri hingga Wapres menanggapi khusus terkait penggeledahan Lino oleh Polri. Padahal, apa yang salah dari penggeledahan dari ruang kantornya? Bukankah tindakan gegabah (menelepon pejabat-pejabat --red) tersebut menunjukkan bahwa ia kadung panik atas penggeledahan yang dilakukan Bareksrim?.
 
Proses hukum mengganggu stabilitas ekonomi (?)
 
Perusahaan pelat merah indonesia, PT Pelindo II belakangan memang diterpa isu korupsi yang menelan kerugian negara sebesar Rp 45 miliar. Dugaan korupsi ini berawal dari proses tender mobile crane yang menyalahi prosedur sehingga merugikan negara puluhan miliar rupiah. Kasus ini juga menyangkut persoalan mengenai perpanjangan konsesi JICT. Memang sejak awal, waktu tunggu bongkar muat barang di tanjung priuk (dwell time) sedang disorot tajam oleh berbagai pihak. Bahkan oleh RI 1. 
 
Yang menarik untuk dicermati, dibalik proses hukum yang sedang berlangsung ini ada sebuah pernyataan yang memutar nalar saya dalam-dalam. Pernyataan ini keluar dari mulut RJ Lino pasca ia digeledah oleh Bareskrim. Ia memberikan pernyataan bahwa “proses hukum (yang dilakukan bareskrim ini) telah mengganggu stabilitas ekonomi indonesia”. Begitu mendengar pernyataan ini, sontak saya heran bukan kepalang. Bagaimana mungkin proses hukum bisa mengganggu stabilitas ekonomi (?). 
 
Begini, bukankah hal tersebut berbanding terbalik dengan fakta yang ada?. Sepengetahuan dangkal saya dari teori yang ada, telah menyatakan bahwa: faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya instabilitas hukum. Bukan sebaliknya, hukum menjadi penyebab instabilitas ekonomi. Saat krisis moneter tahun 1998 misalnya, krisis tersebut merupakan contoh konkrit betapa ekonomi bisa menimbulkan instabilitas hukum yang luar biasa. Anarki, perkosaan, vandalisme, pembunuhan menjadi hal yang lumrah jika himpitan ekonomi tengah mendera.
 
Jadi, tentu pernyataan dari RJ lino ini bagi saya sungguh tidak masuk akal. Dari pernyataan beliau, justru saya semakin yakin bahwa ia merupakan orang 'berbahaya' yang memiliki pengaruh luar biasa hingga tingkat istana.
 
Ia merupakan potret nyata betapa luarbiasanya mafia-mafia ini terpelihara di Ring 1. Karena Lino-lah terjadi kegaduhan politik. Dan karena Lino-lah (saya berasumsi) akan lahir kebiasaan/virus baru yang mungkin bisa saja diterapkan oleh semua pejabat ketika digeledah. yakni: menelepon menteri hingga presiden kemudian ancam dengan cara mengundurkan diri. Persis seperti merebaknya virus koruptor yang mem-praperadilan-kan KPK pasca Budi Gunawan diputus menang oleh hakim Sarpin. Sungguh, keadaan yang sangat miris jika dibayangkan.
 
 
Penegakan hukum yang netral = ilusi
 
Penegakan hukum yang netral dari penguasa yang kriminal sesungguhnya adalah ilusi semata. Bagi saya, percuma jika gerakan reformasi yang selama ini mengusung idealisme tentang supremasi hukum yang tertata baik itu ada. Karena kenyataannya, relasi budaya hukum dalam masyarakat tidak banyak berubah secara signifikan. Masih terjadi ketimpangan penggunaan hukum yang membuat para pemain politik tetaplah menjadi oligarki yang menundukan hukum dibawah ketiaknya.  Ini faktanya telah menyebar luas di semua kalangan birokrasi dan penegak hukum (di semua instansi tanpa terkecuali), bahkan memiliki jejaring kuat di banyak organisasi masyarakat.
 
Strategi kriminalisasi dalam penegakan hukum faktanya efektif mengganggu kenaifan gerakan reformasi dan revolusi mental. Walter Benjamin (1921) pernah membahas mengenai kriminalisasi dan politik dalam situasi zaman yang dihadapinya dimana negara terbukti merepresentasikan monopoli hukum lewat kekerasan. Akibatnya, jarak antara kekerasan yang legal dan ilegal hanya setipis kertas. Begitu juga dengan yang legitimate dengan yang kriminal. Pun begitu dengan penegak hukum. Ia bukan hanya amoral, tapi juga bobrok dan busuk. Yang terjadi, negara dan hukum memfasilitasi kekerasan dan kejahatan yang menguntungkan kepentingan jaringan oligarki. [1] persis seperti kasus mafia tanjung priuk yang memakan korban Budi Waseso.
 
Potret ini terpampang tanpa sensor di depan mata kita. Dan celakanya, potret ini terus dan terus diwariskan dari masa Orde Baru hingga sekarang. Karena itulah, bagi saya ada dua langkah solusi efektif untuk menumpas wabah lesunya penegakan hukum ini. Pertama, perkuat rule of law (aturan hukum) dan Kedua, Perkuat culture of law  (budaya hukum). Utamanya ialah budaya hukum. Karena saya berkeyakinan, andaikan saja budaya hukum kita sudah terbangun seperti bangsa Tiongkok dan Jepang, bukan tidak mungkin 10-20 tahun lagi KPK dapat dibubarkan dan tujuan supremasi hukum dapat tercapai. 
 
Kemudian untuk menutup tulisan ini, saya tidak lupa mengajak anda untuk berdoa. Semoga saja, bareskrim baru dibawah kepemimpinan Anang Iskandar bisa menuntaskan Kasus mafia tanjung priuk ini sampai ke akar-akarnya. Dan semoga, ini merupakan momentum tepat untuk mengakhiri ilusi panjang dari penegakan hukum indonesia. Semoga. 
 
****
 
REFERENSI
 
[1] Irwansyah; Kriminalisasi, Jaringan, Politik; Indoprogress. http://indoprogress.com/2015/03/kriminalisasi-jaringan-politik/   

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Muhammad Luthfi Aldila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler