x

Iklan

Bayu Adji Prihammanda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berbagi Kesenangan Melalui Kopi

Filmaker asal JepangShiraki Hasumi saat melakukan pemutaran film dan diskusi di Epikurian Unbreakable Coffee. (Foto: Dok. Mirza Jaka Suryana)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya menganggap kopi hanya sebagai teman bicara. Sungguh hanya teman bicara. Kalaupun diganti dengan susu atau teh, tak ada masalah berarti bagi saya. Bagi saya, kopi memang tak ada yang istimewa. Belum ada, lebih tepatnya. Sampai saat, semalam saya berkunjung ke sebuah kedai kopi kecil milik kenalan saya, Mirza Jaka Suryana.

Jaka (saya memanggilnya Bang Jek) baru membuka kedai kopinya pertengahan Juni lalu. Ia menamai kedainya Epikurian Unbreakable Coffee. Letaknya, di samping rumah makan masakan Padang, sebelum Halte Kampus Tercinta IISIP Jakarta.

Saya mengenal Bang Jek belum lama. Baru sekitar enam bulan. Sebelumnya, hubungan saya dan Bang Jek hanya sebatas teman di jejaring sosial Facebook, yang tak pernah tegur sapa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malam pertama saya menemui dan berbincang dengan Bang Jek, awal tahun 2015 silam, adalah berkat Pry S, pendahulu saya di Teater Kinasih. Malam itu, ia sedang ingin reuni dengan Komunitas Ruang Melati. “Tempat mabuk dan diskusinya saat masih kuliah,” ucapnya suatu kali pada saya.

Pry mengajak saya yang sedang asyik diam di dalam Ruang Mahasiswa Kampus Tercinta ke Ruang Melati, di balik tembok pemisah antara lingkup akademis dan rakyat jelata. Pry ingin menemui teman-temannya semasa kuliah dahulu.

Tak banyak yang datang, hanya Bang Jek dan Wishnugroho Akbar. Ervin Kumbang, salah satu bagian dari Ruang Melati, memilih pergi ke acara musik yang mengusung tema "Tribute to Radiohead", setelah seharian berada di dalam Kampus Tercinta. Lagi pula, Ruang Melati hanya tinggal nama. Bangunannya telah lama beralih fungsi menjadi rental playstation.

Malam itu saya menjadi pendengar reuni tiga orang eks-Ruang Melati. Bang Jek, Pry dan Wishnu banyak bicara, dan kemudian menyusul Gigih Gilang yang terlambat datang. Saya hanya diam, mencoba mengikuti alur mereka berbicara sambil sesekali tertawa. Saya sadar, terlalu jauh jarak usia kadang membuat saya malas berbicara.

Sebetulnya, malam itu saya sedang pusing-pusingnya. Malas bicara. Hingga terlontar ucapan saya tak tentu, "Mas, gue pengen sesuatu yang baru nih. Bosen gini-gini aja. Apa gue cuti kuliah aja ya?"

"Emang lu mau ngapain, Bay?" timpal Bang Jek.

"Gue juga gak tau. Tapi pengen kegiatan baru."

Bang Jek dan yang lain hanya memberi masukan sekenanya. Saya pun tak jadi cuti kuliah dan kegiatan saya masih itu-itu saja; berteater dan sesekali membaca puisi bersama Kaum Pemikir. Masukan dari eks-Ruang Melati tak banyak berpengaruh malam itu.

Setelah lama tak berkomunikasi dengan Bang Jek, awal Juni kemarin tiba-tiba ada kabar kedai kopi miliknya akan segera buka. Saya sempat melihat woro-woro pemberitahuannya dan hanya melihat foto-foto acara pembukaan itu di laman facebooknya.

Saya baru sempat datang mengunjungi Unbreakable Coffee semalam, setelah berbuka puasa bersama Teater Kinasih yang hanya dihadiri oleh lima orang. Saya memesan segelas Kopi Solok sambil mengambil buku yang berjejer rapih di dinding kedai. Sejarah pers Indonesia.

Tak lama, teman seangkatann saya penghuni Kaphac 32 Putra Muhammad Akbar dan sarjana muda yang baru mendapat kerja Gloria Safira, datang dengan wajah-wajah lesunya. Sepertinya mereka baru pulang hunting foto di pusat ibukota. Langsung saja saya menawarkan diri ditraktir gaji wartawati muda ibokota. Sepiring kentang goreng lengkap dengan sausnya.

Setelah itu, obrolan saya berlanjut. Masih ditemani segelas Kopi Solok yang belum habis. Akbar sudah pulang takut ditinggal kereta, tinggal Safira masih duduk mengingat perjalanan harinya yang telah usai, melamun sendirian.

Dengan diiringi alunan gitar Ervin Kumbang dan vokal Marthin Sinaga membawakan tembang Nirvana, saya akhirnya berbincang dengan Bang Jek, dengan tampilan khasnya; kumis dan jenggot lebat dan pakaiannya yang kumel. Perbincangan singkat kami semalam adalah perihal bisnis barunya ini. Bagaimana ceritanya hungga ia akhirnya membuka kedai kopi.

"Kopi itu sesuatu yang dekat dengan kita, tapi belum tentu semua orang bisa ngopi," ucap Bang Jek.

Atas dasar itu, Bang Jek, yang pernah dilarang satpam masuk kampus, menggunakan konsep derma dalam menjalankan Unbreakable. "Lu di sini bisa ngopi, sekaligus derma."

"Lu beli kopi satu, tapi bayar dua. Nah, jatah kopi satu lagi akan kita bagi buat orang gak punya duit tapi pengen ngopi," jelas Bang Jek.

Saat itu saya masih kurang paham. Hingga akhirnya Bang Jek melanjutkan, "Jadi setiap pengunjung di sini punya hak untuk minta kopi gratis jatah derma."

Bibir saya hampir sumringah mendengar keterangannya. Pasalnya, enam bulan ke depan, saya pasti akan sering minta jatah derma di kedai kopi ini.

Selain mungkin uang saya akan habis untuk skripsi, di Unbreakable juga banya buku yang bebas dibaca. Karena mungkin buku-buku di kedai kecil ini mungkin lebih relevan dijadikan referensi daripada buku di perpustakaan Kampus Tercinta.

Enam bulan lalu, saya menanyakan kepada Bang Jek hal baru apa yang harus saya kerjakan, namun tadi malam kemarin justru saya melihat hal baru darinya; sebuah kedai kopi kecil yang ramah. Kedai kopi yang menawarkan kopi dalam bentuk aslinya, sebagai teman bicara.

Kopi adalah kesenangan yang bisa kita bagi bersama. Dengan sistem derma dalam kedainya, kita bisa berbagi dengan siapapun. Mungkin ini ada hubungannya dengan penamaan Epikurian sebagai kedai kopi milik Bang Jek. Karena menurut aliran Epikureanisme, kesenangan itu baik. Dan kita tak perlu campur tangan dewa untuk berbagi kesenangan.

 

Jakarta, 2 Juli 2015 (Revisi: 26 September 2015, 2:36 WIB)

Ikuti tulisan menarik Bayu Adji Prihammanda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler