x

Upacara bendera memperingati Hari Pahlawan di Komplek Kasatrian Badan Intelijen Negara (BIN), Jakarta, pada 10 November 2013. bin.go.id

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saat Seorang Intel Tak Bisa Menahan Emosi

Soedarmo adalah tentara yang kenyang dengan dunia intelijen. Hampir sebagian besar tugasnya dihabiskan di dunia intelijen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Dari siang sampai sore hari, Selasa, 29 September 2015,  saya bersama beberapa wartawan ngobrol ngidul dengan Soedarmo, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri. Direktorat ini kini disingkat Ditjen Polpum. Kami datang ke sana, atas undangan Kepala Bagian Perundang-undangan Ditjen Polpum, Bahtiar. Menurut Bahtiar, Soedarmo ingin beramah tamah dengan para wartawan yang biasa meliput di Kementerian Dalam Negeri. 
 
Soedarmo, adalah Dirjen baru. Ia menggantikan Tanribali Lamo, Dirjen lama saat direktorat itu masih bernama Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik atau Ditjen Kesbangpol. Tanri adalah Jenderal bintang dua. Pun Soedarmo, dia juga adalah Mayor Jenderal. Keduanya sama-sama tentara dari TNI-AD.
 
Namun ada yang beda dari latar belakang. Soedarmo adalah tentara yang kenyang dengan dunia intelijen. Hampir sebagian besar tugasnya dihabiskan di dunia intelijen. Terakhir dia menjabat sebagai staf ahli bidang ideologi di Badan Intelijen Negara (BIN). 
 
Sebelum jadi staf ahli BIN, dia pernah jadi Kepala BIN Daerah untuk wilayah Kalimantan. Sebelumnya lagi, dia sempat jadi Direktur BIN wilayah Sumatera dan Kalimantan. Tapi, memang bidang intelijen sudah mendarah daging. Bahkan Soedarmo dalam obrolan dari siang sampai sore hari itu, mengibaratkan dirinya sejak lahir sudah jadi intel. Maksud dia, sejak lulus dari akademi militer dia memang banyak bertugas di bidang intelijen. Jadi, sudah makan asam garam di bidang telik sandi tersebut.
 
Maka, yang namanya teknik, pengamanan dan penggalangan, sudah menu sehari-hari. Bentuk jejaring intel, adalah kerja rutinnya. Lewat itu, ia dapat pasokan informasi. Yang kemudian diolahnya jadi sumber intelijen. 
 
Namun saya tak menyangka, Soedarmo banyak tertawa. Waktu awal sebelum bertemu, saya kira Soedarmo adalah sosok yang dingin, irit senyum serta kaku. Bayangan itu yang tercetak dalam pikiran, bahwa orang intel adalah orang yang dingin dan kaku. Ternyata perkiraan saya keliru. 
 
Soedarmo sendiri mengatakan, banyak senyum adalah bagian dari kesehatan. Banyak tertawa, membuat hidup ini terasa lebih ringan. Tapi kata dia, jangan tertawa terus, itu sama saja orang gila. 
 
Soedarmo banyak banyak senyum. Tak segan melempar joke juga humoris. Obrolan pun jadi cair. Dan Soedarmo pun banyak cerita tentang liku perjalanan karirnya selama jadi intel. Salah satu yang diceritakannya adalah saat ia bertugas jadi intel di Maluku Utara.
 
Saat itu Maluku Utara diamuk konflik horisontal. Di daerah konflik itulah, ia jadi tukang pemasok informasi bagi aparat keamanan, baik itu TNI ataupun Polri yang melakukan pengamanan. Saat menceritakan tugasnya di Maluku, Soedarmo terlihat terbawa emosi. 
 
Ia bercerita, untuk dapat pasokan informasi yang akurat, dia pasang anggotanya di dua kelompok yang berseteru. Lewat jejaringnya di dua kelompok itulah, dia mendapatkan informasi, kapan satu kelompok menyerang kelompok lainnya. Bahkan, informasi yang didapatkannya cukup rinci, mulai jam, hari, besarnya kekuatan, dan dari arah mana penyerang bakal merangsek daerah lawannya.
 
Suatu ketika, ia dapat informasi sangat rinci, bahwa kelompok A, bakal menyerang desa B, yang jadi basis lawannya. Bahkan informasi itu, ia dapatkan jauh-jauh hari. Lalu, informasi tentang rencana penyerangan itu ia pasok ke pasukan yang bertugas memgamankan. Sayang seribu sayang, pengamanan tak diperketat. 
 
" Mungkin mereka tak percaya informas saya," kata Soedarmo.
 
Akibatnya, penyerangan tak bisa dicegah. Desa yang diserang luluh lantak. Korban banyak berjatuhan, tidak terkecuali anak-anak. Mereka meregang nyawa dengan cara memilukan. Dan ia saksikan sendiri. 
 
Ketika menuturkan kisah itu, tampak wajah serius Soedarmo. Bahkan, Soedarmo tampak emosi. Kata dia, soal tembak menembak, ia sudah kenyang merasakan itu. Tugasnya saat di Dili, selalu diwarnai kisah baku tempak dengan kelompok separatis. Tapi kata dia, saat menyaksikan anak-anak yang meregang nyawa karena terkena bom rakitan, dia pun tergetar. Emosinya bergejolak.
 
"Nyawa begitu tak ada harganya. Bayangkan anak-anak yang meregang nyawa, perutnya terkena bom rakitan. Bayangkan," kata Soedarmo dengan suara bergetar.
 
"Apa ada semacam pembiaran pak, hingga itu terjadi?," tiba-tiba seorang wartawan bertanya.
 
Soedarmo diam sejenak. Sampai kemudian dia berkata. Katanya, mungkin itu bisa dicegah, bila informasi intelijen yang ia sampaikan disikapi dengan serius. Ia tak tahu, apakah itu pembiaran atau tidak. Yang pasti, intelijen itu tak pernah kecolongan. Dan, intelijen bukanlah eksekutor. Dia hanya pasok informasi yang telah dianalisa sedemikian rupa.
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler