x

Iklan

Ronggo Warsito

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memahami Konflik KOI dari Sejarah Politik Olahraga Indonesia

Politik Olahraga di Indonssia Sejak Hindia Belanda Hingga Kini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Konflik perebutan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) kian meruncing. Ketua KOI Rita Subowo sedang digoncang. Kongres KOI yang akan berlangsung akhir Oktober ini dijadikan sarana mendongkel dan menghalangi upaya Rita duduk kembali sebagai Ketua KOI. Kubu yang anti Rita berkilah, Rita sudah dua kali menjabat ketua KOI. Namun tuduhan tersebut dibantah oleh International Olympic Commitee (IOC) dalam suratnya yang menyebut Rita Subowo baru sekali menjabat ketua KOI.

Konflik KOI mengancam penyelenggaraan Asian Games 2018 yang dilaksanakan di Indonesia. Ada kekuatan politik yang massif bekerja untuk merebut posisi ketua umum KOI.

Nama-nama yang beredar untuk merebut posisi ketua KOI antara lain Alfitra Salam, Tono Suratman, Muddai Madang, Erick Tohir dan Prabowo Subianto. Pelaksanaan Asian Games 2018 yang deket dengan Pemilu 2019 ditengarai sebagai pemicu ambisi bakal calon ketua umum KOI. Sebagai panitia nasional yang menggelar kegiatan olahraga bertaraf inernasional, posisi ketua umum sangat strategis. Selain mengendalikan penyelenggaraan semua pertandiangan, KOI juga bertindak sebagai panitia yang mempersiapkan para atlit Indonesia bertanding. Asian Games 2018 di Indonesia jelas dapat dimanfaatkan sebagai ajang kampanye dan menaikkan popularitas ketuanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana bisa olahraga yang modal utama adalah kebugaran, skill, pengetahuan strategi dan taktik di atas lapangan, namun induk organisasinya berubah menjadi ladang pertempuran bercitarasa politik. Tampak jelas olahraga sudah jadi arena politik perebutan kekuasaan.

Politik Olahraga di Indonssia Sejak Hindia Belanda Hingga Kini

Mengapa olahraga di Indonesia tidak bisa lepas dari politik? Pertanyaan ini selalu muncul saat masyarakat geram dengan konflik kepentingan yang muncul tiap kali terjadi musyawarah, rapat, atau kongres yang dilakukan oleh pengelola organisasi olahraga di Indonesia. Yang paling sering menjadi ajang keributan adalah isu dualisme kepemimpinan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Selanjutnya menyusul perdebatan klasik antara Komite Olimpiade Indonesia versus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI vs KOI). Berikutnya berkembang perdebatan-perdebatan yang muncul di berbagai pengurus cabang olahraga, mulai dari cabang tenis meja, cabang gulat, hingga cabang berkuda. Semua konflik di badan olahraga menegaskan kesan bahwa olahraga di Indonesia memang tidak akan bisa lepas dari politik.

Tapi jika ditilik jauh ke belakang, sejarah organisasi olahraga di Indonesia hampir selalu berkait atau tidak pernah lepas dengan urusan politik. Di zaman Hindia Belanda, catatan yang tertua bermula dari pembentukan Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta. Pendirinya adalah Soeratin Sosrosoegondo, seorang insinyur sipil lulusan Jerman yang bekerja di perusahaan bangunan Belanda yang berpusat di Yogyakarta. Soeratin membentuk PSSI karena semangatnya terlecut oleh hasil Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Batavia yang menegaskan semangat pemuda untuk bersatu dalam satu ikatan nasionalisme Indonesia. Sebagai pelopor pendirian organisasi olahraga, sesungguhnya Soeratin adalah seorang aktivis pergerakan yang melihat sepakraga (setelah kemerdekaan istilah ini diganti dengan istilah sepakbola) sebagai alat yang terbaik untuk memupuk semangat kebangsaan pemuda.

Catatan tertua berikutnya adalah pembentukan Persatuan Lawn Tenis Indonesia (Pelti) pada tahun 1936 di Semarang. Tokoh pendirinya adalah Dr. Boentaran Martoatmodjo yang merupakan dokter lulusan Belanda yang merupakan anggota organisasi mahasiswa Indonesia radikal yang ada di Belanda yakni Perhimpunan Indonesia. Di masa kemerdekaan, pada tahun 1946 Dr. Boentaran yang juga anggota KNIP, menjabat sebagai menteri Kesehatan.

Sejarah organisasi olahraga di Indonesia berlanjut dengan pembentukan Ikatan Sport Indonesia. Lahirnya badan ini dipicu oleh keresahan para pemuda karena adanya diskriminasi penggunaan fasilitas olahraga oleh penguasa Hindia Belanda, Ikatan Sport Indonesia (ISI) atau dalam bahasa Belanda disebut Indonesische Sportfederatie didirikan pada tanggal 8 Oktober 1938 di Jakarta dengan ketuanya Soetardjo Hadikusumo.

ISI adalah organisasi olahraga berbentuk federasi. Di dalam ISI terdapat Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI), Perserikatan Lawn Tenis Indonesia (Pelti) dan Perserikatan Bola Keranjang Seluruh Indonesia (PBKSI). Tak lama setelah pembentukannya, Ikatan Sport Indonesia berhasil menyelenggarakan Pekan Olahraga dari tanggal 15-22 Oktober 1938 di Solo.

Pada masa pendudukan Jepang, organisasi olahraga dan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan lainnya harus tunduk di bawah aturan main strategi perang Asia Timur Raya Jepang. Ikatan Sport Indonesia adalah salah satu dari federasi organisasi olahraga yang ikut serta di dalam organisasi pergerakan bentukan Jepang yang diberi nama Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang tokoh-tokoh di dalamnya antara lain adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Suwardi Suryaningrat dan KH. Mas Mansyur. Selain itu di masa pendudukan Jepang dibentuklah organisasi olahraga yang populer di masyarakat seperti bulutangkis, ke dalam organisasi yang bernama Gelora (Gerakan Latihan Olahraga Rakyat) dengan tokohnya bernama Otto Iskandar Dinata.

Masa pendudukan Jepang adalah masa-masa revolusi fisik beserta krisis sosial dan ekonomi yang membuat tokoh-tokoh pergerakan sekaligus tokoh organisasi olahraga mengubah dirinya menjadi tokoh politik. Sebagai ujung tombak strategi revolusi perang Asia Timur Raya jepang membentuk Barisan Pelopor dengan tokoh-tokoh di dalamnya antara lain Ir. Soekarno, dr. Boentaran Martoatmodjo, Otto Iskandar Dinata dan RP Soeroso.

Setelah kemerdekaan, pada permulaan 1946 para tokoh organisasi olahraga yang berada sebagian di Gelora dan sebagian dari ISI mengadakan pertemuan di Surakarta, yang kemudian dinamakan Kongres Olahraga pertama di Indonesia. Pada saat itulah dibentuk Persatuan Olahraga Indonesia (PORI) sebagai induk organisasi olahraga seluruh Indonesia. Sedangkan untuk urusan hubungan luar negeri terkait dengan olahraga dibentuklah Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI).

Pada tahun 1947 PORI mengadakan hubungan dengan Menteri Pembangunan dan Pemuda Wikana. Berkat bantuan sekretaris menteri Drs. Karnadi, PORI dapat mengembangkan organisasinya antara lain : (a) pembangunan kembali cabang-cabang olahraga yang tersebar dan bercerai berai. (b) Membentuk organisasi induk cabang olahraga yang belum tersusun, (c) Menerbitkan majalah “Pendidikan Djasmani” dengan simbol obor menyala dan lima gelang, (d) Mempersiapkan Pekan Olahraga Nasional ke satu.

Pada malam peresmian PORI bulan Januari 1947, Presiden Soekarno sekaligus melantik Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai ketua KORI. Yang menjadi wakil ketua adalah drg. Koesmargono dan Soemali Prawirosoedirjo. KORI mempunyai tugas menangani masalah keolahragaan yang ada kaitannya dengan olimpiade, saat itu KORI dibentuk karena Indonesia ingin ikut Olympic Games 1948 (namun karena persiapan para atlet itu tidak memadai, pengiriman ke London tidak jadi).

PORI kemudian membentuk badan-badan (sekarang disebut induk cabang olahraga). Yang ada pada waktu itu adalah cabang olahraga sepak bola, basket, atletik, bola keranjang, panahan, tenis, bulutangkis, pencak silat, dan gerak jalan. Keuangan PORI dan KORI diperoleh dari subsidi pemerintah yang disalurkan melalui Kementerian Pembangunan dan Pemuda.

Selama aksi militer Belanda 21 Juni 1947 – 17 Januari 1948 kegiatan olahraga praktis terhenti. Pada tanggal 2 – 3 Mei 1948, PORI mengadakan konferensi di Solo berkat bantuan Walikota Solo (Syamsurizal), PON I dapat diselenggarakan pada 9 – 14 September 1948 dengan lancar, meskipun suasana politk meruncing kembali. Selepas penyelenggaraan PON yang pertama KORI berubah nama menjadi KOI.

Secara singkat perjalanan sejarah organisasi olahraga di Indonesia selanjutnya bisa dilihat pasang surutnya dalam alur berikut ini:

- 1951 PORI melebur ke dalam KOI.

 

- 1952 KOI diterima menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada tanggal 11 Maret.

 

- 1959 Pemerintah membentuk Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) untuk mempersiapkan penyelenggaraan Asian Games IV 1962, KOI sebagai badan pembantu DAGI dalam hubungan internasional.

 

- 1961 Pemerintah membentuk Komite Gerakan Olahraga (KOGOR) untuk mempersiapkan pembentukan tim nasional Indonesia, top organisasi olahraga sebagai pelaksana teknis cabang olahraga yang bersangkutan.

 

- 1962 Pemerintah membentuk Departemen Olahraga (Depora) dengan menteri Maladi.

 

- 1964 Pemerintah membentuk Dewan Olahraga Republik Indonesia (DORI), semua organisasi KOGOR, KOI, top organisasi olahraga dilebur ke dalam DORI.

 

- 1965 Sekretariat Bersama Top-top Organisasi Cabang Olahraga dibentuk pada tanggal 25 Desember, mengusulkan mengganti DORI menjadi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang mandiri dan bebas dari pengaruh politik.

 

- 1966 Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 143 A dan 156 A Tahun 1966 tentang pembentukan KONI sebagai ganti DORI, tetapi tidak dapat berfungsi karena tidak didukung oleh induk organisasi olahraga berkenaan situasi politik saat itu. Presiden Soeharto membubarkan Depora dan membentuk Direktorat Jendral Olahraga dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Induk organisasi olahraga membentuk KONI pada 31 Desember dengan Ketua Umum Hamengkubuwana IX. Sementara ketua KOI diketuai oleh Sri Paku Alam VIII.

 

- 1967 Presiden Soeharto mengukuhkan KONI dengan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1967. Sri Paku Alam VIII mengundurkan diri sebagai Ketua KOI. Jabatan Ketua KOI kemudian dirangkap oleh Ketua Umum KONI Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dengan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KONI M.F. Siregar dan Sekretaris KOI Soeworo. Soeworo meninggal, jabatan Sekretaris KOI dirangkap oleh Sekjen KONI M.F. Siregar. Sejak itu dalam AD/ART KONI yang disepakati dalam Musyawarah Olahraga Nasional (Musornas), KONI ibarat sekeping mata uang dua sisi yang ke dalam menjalankan tugasnya sebagai KONI dan ke luar berstatus sebagai KOI. IOC kemudian mengakui KONI sebagai NOC Indonesia.

 

- 2005 Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan memecah KONI menjadi KON dan KOI.

 

- 2007 Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 16, 17, dan 18 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2005. KONI menyelenggarakan Musornas Luar Biasa (Musornaslub) pada 30 Juli yang membentuk Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan menyerahkan fungsi sebagai NOC Indonesia dari KONI kepada KOI kembali. Nama KONI tetap dipertahankan dan tidak diubah menjadi KON.

 

- 2011 AD/ART Komite Olimpiade Indonesia (KOI) telah diterima dan disetujui oleh IOC

Ikuti tulisan menarik Ronggo Warsito lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler