x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seribu Lilin untuk Paris, Juga untuk yang Lain

Seribu lilin layak dinyalakan untuk Paris. Seribu lilin layak pula dinyalakan untuk Darfur, Suriah, Palestina, Afganistan, Libya, Mesir, Irak, dan Nigeria.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Teror yang keji telah mengubah imajinasi tentang Friday the 13th menjadi kenyataan ketika Jumat malam lalu ketenangan warga Paris dikejutkan oleh rentetan tembakan dan ledakan. Darah tumpah dan jiwa meregang—kengeriannya takkan terlupakan dan menjadi tonggak sejarah yang menandai elemen kegelapan hidup manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti serangan di Gedung Bataclan itu, teror lebih sering menjadikan publik sebagai target. Warga adalah target yang tanpa prasangka, ingin menikmati musik dan makan malam bersama teman dan keluarga, dan karena itu tidak waspada. Tak ada pistol di saku mereka, melainkan hati yang ingin menyesap kebahagiaan bersama.

Tapi teror tak peduli semua itu. Sesungguhnyalah pelaku teror memang tidak menghendaki perlawanan dari target. Sebab itu, teror tak memilih sasaran yang sepadan—apalagi lebih kuat, melainkan target yang tak siap, tak waspada, tak mampu bereaksi cepat. Bisakah ini disebut keberanian? Kepahlawanan?

Teror tak menargetkan orang-orang yang mengambil keputusan bagi negara, melainkan rakyat biasa. Pelaku menyebarkan kengerian, ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan warga. Pelaku menjadikan para korban medium untuk mengirim pesan kepada pengambil keputusan. Ketika rasa takut berkecamuk dan pengambil keputusan bereaksi, pelaku merasa berhasil dalam satu tahap.

Tapi, bisakah aksi menjadikan warga sebagai target teror disebut keberanian?

Mereka mungkin menuntut keadilan, tapi memilih target yang salah. Warga bukanlah representasi pemerintah, dan pemerintah tak selalu mewakili kepentingan warga. Di banyak negara, pemerintah mungkin lebih mewakili kepentingan para elite politik dan ekonominya, termasuk para industrialis. Sangat mungkin pula di antara korban terdapat warga yang tak setuju dengan garis kebijakan pemerintahnya.

Pelaku teror mungkin berharap mendapatkan publisitas, tapi jika itu dimaksudkan untuk menarik simpati dunia, mereka sungguh tidak berhasil. Teror membangkitkan kutukan dan dalam beberapa hal menciptakan kebencian baru, juga memupuk prasangka yang sudah bersemai. Tindakan opresif oleh rezim penguasa di banyak negara, dan didukung oleh negara-negara kuat maupun korporasi global, tidak akan dapat dihentikan dengan menciptakan teror terhadap warga sipil.

Jika dengan menyebarkan rasa takut terhadap masyarakat, dan dengan demikian berharap dapat menekan pemerintah di banyak negara agar mengubah kebijakan tertentu, upaya teror juga tidak akan membuahkan hasil yang setimpal. Persekutuan kekuatan politik-ekonomi-militer tidak akan tinggal diam dan akan membalas dendam. Tindakan ini akan semakin menyengsarakan jutaan rakyat di dunia, baik yang tinggal di wilayah opresif maupun yang tidak.

Apapun motif dan alasan di baliknya, pembantaian Bataclan sukar diterima akal sehat dan nurani. Ini serangan terhadap kemanusiaan, sebagaimana halnya pertempuran, peperangan, dan ketidakstabilian politik dan sosial yang dilanggengkan oleh kekuatan politik maupun korporasi global—termasuk industri militer—di banyak wilayah di muka Bumi ini: di Darfur, Suriah, Palestina, Irak, Afganistan, dan banyak lagi. Kepentingan adikuasa di berbagai wilayah lebih mengemuka ketimbang kemauan baik untuk menciptakan kehidupan yang damai bagi jutaan manusia yang tidak beruntung dapat menetap di negara-negara maju.

Seribu lilin layak dinyalakan untuk Paris. Seribu lilin layak pula dinyalakan untuk Darfur, Suriah, Palestina, Afganistan, Libya, Mesir, Irak, Nigeria, dan wilayah-wilayah lain di muka Bumi yang warganya setiap hari masih dicekam oleh ketakutan oleh konflik, teror, dan penindasan di tanah airnya sendiri. Setiap hari, di tanah mereka, darah warga tumpah oleh teror kelompok bersenjata maupun pemerintah opresif yang umumnya didukung dan dipertahankan oleh negara-negara kuat. Prancis niscaya tidak lupa motonya.

Jutaan orang mati dan mengungsi, menjadi korban dari hasrat berkuasa segelintir orang yang memiliki kepentingan politik, ekonomi, maupun militer. Seribu lilin yang menyala memang menambah kegetiran, tapi itu mengingatkan bahwa “setiap yang hidup berhak atas kematian yang layak”. Bukan hanya di Paris, tapi juga di Lumajang dan tempat-tempat lain di mana kemanusiaan telah diringkus oleh angkara yang dibungkus oleh jargon-jargon menyesatkan. (sumber foto: pbs.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu