Mahkamah Para Yang Mulia

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemuliaan sebuah mahkamah bukan karena keharusan menyebut Yang Mulia, melainkan pada kesungguhan untuk menemukan dan menegakkan kebenaran.

 

“There is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supercedes all other courts.”
--Mahatma Gandhi

 

Dalam berbagai persidangan, etik maupun hukum, pelapor, saksi, terlapor, maupun pembela apabila ada diminta menggunakan sebutan Yang Mulia ketika menyapa pimpinan sidang—hakim ketua dan hakim anggota. Hal serupa berlaku dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), pimpinan dan anggota Mahkamah—yang notabene para politikus—juga disapa dengan sebutan Yang Mulia.

Di era feodal, sebutan Yang Mulia kerap diucapkan oleh rakyat jelata ketika menyebut nama raja atau ratu. Sebagian rakyat beranggapan bahwa raja atau ratu memiliki sikap dan perilaku yang mulia dibandingkan dengan kaum jelata. Tak ada raja atau ratu yang disapa dengan sebutan Saudara Raja Anu. Tak ada rakyat yang (berani) menyebut nama raja tanpa kata Yang Mulia dengan sederet gelarnya.

Keharusan pemakaian kata Yang Mulia dalam konteks hubungan antar manusia sebenarnya tak lebih dari upaya meletakkan atau mendudukkan manusia yang satu lebih rendah dari yang lain. Dalam penghadapan di istana, rakyat jelata dipaksa menempatkan diri lebih rendah sebagai manusia dibandingkan rajanya. Dalam persidangan, pesakitan maupun saksi diletakkan lebih rendah derajatnya dibandingkan para hakim. Tak ada hakim yang menyebut terdakwa dengan sapaan Yang Mulia. Juga tidak ada hakim yang risih dipanggil Yang Mulia meskipun ia baru saja disuap.

Yang Mulia adalah sebutan sangat terhormat bagi orang-orang yang memang layak memakainya. Sebutan ini mencerminkan sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, bahwa Yang Mulia akan mengedepankan niat dan iktikad baik untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam suatu perkara yang disidangkan. Mereka akan berusaha sekuat tenaga (fisik, pikiran, hati, maupun spiritual) untuk terbebas dari aneka kepentingan yang berusaha membelokkan niat luhur menemukan kebenaran itu.

Kedua, Yang Mulia akan menyelenggarakan proses persidangan yang adil dan jujur. Mereka yang memakai sapaan Yang Mulia akan menghindari sikap dan perilaku yang menodai persidangan yang adil dan jujur. Mereka akan menggali kebenaran yang masih tersembunyi dan menyingkapkannya agar jadi terang benderang. Tugas Yang Mulia hanya satu: menyelenggarakan dan memimpin persidangan untuk menemukan kebenaran dengan cara yang adil dan jujur.

Rakyat banyak berkepentingan untuk menyaksikan jalannya persidangan yang terbuka, apakah berjalan adil dan jujur, apakah para hakim bersikap dan bertindak yang sepadan dengan sapaan Yang Mulia yang disandangnya. Rakyat banyak akan mengerti betul (sebab mereka punya nalar yang sehat dan hati nurani yang tak dicemari kepentingan politik dan kekuasaan) apabila para Yang Mulia itu berperilaku menjadikan pelapor dan saksi bak tersangka, serta sebaliknya menjadikan terlapor sebagai yang dizalimi dan harus dilindungi. Hati nurani rakyat sangat peka terhadap ketidakadilan dan ketidakjujuran yang diperlihatkan dalam persidangan, bahkan mungkin juga yang disembunyikan di baliknya.

Kehormatan dan kemuliaan persidangan, mahkamah, maupun orang-orang yang memimpinnya bukanlah terletak pada penggunaan sebutan Yang Mulia, melainkan pada iktikad baik untuk bersungguh-sungguh mencari, menemukan, dan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam materi yang disidangkan. Bila para Yang Mulia itu mengingkari kebenaran dan keadilan, sebenarnyalah mereka telah menistakan sendiri sapaan itu. Andaikan itu terjadi, sudah menunggu mahkamah lain di alam yang lain, yang pemutus perkaranya tak pernah meminta-minta disebut Yang Mulia. (sumber ilustrasi: aaj.tv) ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Bila Jatuh, Melentinglah

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler