Bagi kebanyakan orang di masa sekarang, e-mail bukanlah teknologi baru. Sudah bertahun-tahun orang mengenalnya, jauh sebelum Facebook, Twitter, Line, Path, dan lain-lain hadir. Generasi Y, yang lazim didefinisikan sebagai generasi yang lahir antara tahun 1977 hingga 20 tahun kemudian, umumnya mengakrabi semua media mutakhir ini. Generasi ini memakainya secara intensif, betul-betul menembus batas-batas geografi dan waktu, bukan hanya untuk urusan pribadi, sosial, tapi juga bisnis.

Sayangnya, sebagian besar perusahaan mungkin belum mengeksplorasi potensi keunggulan ini untuk lebih intensif melibatkan karyawan Gen-Y dalam aktivitas bisnis. Banyak perusahaan memakai cara-cara lama. Rapat tatap-muka dianggap satu-satunya cara untuk membahas urusan bisnis, walau banyak teknologi baru yang memungkinkan virtual meeting dilakukan.

Para business leader juga bisa memompa semangat yang tengah turun melalui Line yang dapat diakses oleh seluruh karyawan. Pesan-pesan penting (CEO messages) dapat disampaikan secara cepat dalam pilihan bahasa yang lebih personal ketimbang formal. Pendekatan ini akan mengakrabkan para manajer dengan staf berusia muda dari Gen-Y.

Dalam lingkup internal perusahaan, pemanfaatan media sosial niscaya lebih dapat diterima oleh karyawan Gen-Y. Sementara itu, bagi Generasi-X dan Baby Boomers yang lebih tua, tuntutan akan 'kecepatan respons' mungkin terasa cukup merepotkan. Sebagian dari mereka barangkali tidak siap memacu kecepatan dalam merespons isu-isu baru perusahaan. Kesenjangan antara manajer yang berasal dari Gen-X dan Baby Boomers dengan karyawan dari lingkungan Gen-Y memang bisa menimbulkan persoalan tersendiri.

Dampak ‘beban kerja’ yang meningkat mungkin juga terasa. Seorang anak muda pernah mengeluh bagaimana atasannya, dari Generasi Baby Boomers tapi adaptif terhadap perkembangan teknologi, memberi tugas melalui pesan BBM ketika ia hendak berangkat tidur dan tugas itu harus beres dan siap di meja atasan sebelum jam 8 pagi harinya. Konvergensi teknologi yang meningkatkan kecepatan arus informasi memang menimbulkan kerepotan. Tapi, itu tak mengurangi pengaruh positif yang bisa dipetik berupa kelancaran berbagai fungsi bisnis perusahaan, di antaranya komunikasi, pengembangan produk, pengambilan keputusan, maupun aktivitas operasional.

Adopsi media sosial untuk internal perusahaan memungkinkan dirobohkannya sekat-sekat antar unit kerja. Sebagai sebuah tim, organisasi perusahaan bertambah solid, merasa satu tubuh, satu hati, dan satu pikiran. Forum virtual yang dibentuk dapat menjadi ruang inkubasi bagi gagasan sehingga menjadi matang berkat partisipasi komunitas, vertikal maupun horisontal (antar direktorat/departemen).

Pemanfaatan media sosial, termasuk wiki-korporat maupun forum virtual,  berpotensi mendongkrak kinerja bisnis perusahaan. Studi McKinsey mengenai isu ini menggambarkan secara impresif hal itu, yakni “69 persen responden melaporkan bahwa perusahaan mereka telah memperoleh manfaat bisnis yang terukur, termasuk produk dan jasa yang lebih inovatif, pemasaran yang lebih efektif, akses yang lebih baik terhadap pengetahuan, biaya yang lebih rendah untuk menjalankan bisnis, dan pendapatan yang lebih tinggi”. Juga pengambilan keputusan yang lebih cepat.

Anak-anak muda yang jadi karyawan perusahaan niscaya telah mengenal nilai dan benefit penggunaan teknologi ini. Tinggal para business leadertergerak atau tidak untuk memanfaatkannya. Jika gaptek, para business leader bisa meminta advis dari anak-anak muda ini, yang dengan senang hati berbagi pengetahuan dan kompetensi mereka. (sumber ilustrasi: langleynewmedia.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.