x

Terminal Surakarta Siapkan Pos untuk Pencopet

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bagaimana Para Pencopet Bekerja

Kita sama sama tahu kalau hidup di mana pun tentu berat dan susah, bukan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru saja saya menyaksikan bagaimana kawanan pencopet bekerja. 

Naik Kopaja jurusan Tanahabang - Blok M di sekitar pukul dua siang memang jauh lebih melegakan dibandingkan pada jam jam sibuk, sehingga saya bisa memilih duduk di dekat jendela, nomor bangku deretan ketiga. Cuma ada beberapa orang dalam kopaja, salah satunya adalah kernet yang selalu berteriak memekik bilamana melihat pria atau wanita yang dikiranya calon penumpang di pinggir jalan.

Setelah membayar ongkos empat ribu rupiah, saya pun segera memeluk tas ransel bawaan pada pangkuan seraya menyaksikan gedung gedung pencakar langit yang berlintasan di sisi kanan jalanan. Si kernet, seorang pemuda sekitar duapuluhan tahun usianya, berdiri di belakang saya, mungkin sedang menghitung uang pendapatan sebagaimana yang biasa mereka lakukan di waktu jeda sesaat. Di antara bising suara mesin dan deru knalpot berasap timbal, terdengar sopir memanggilnya untuk mengisi air radiator dari botol botol yang terselip di belakang kursi pengemudi. Ia berbahasa Minang, yang kosakatanya masih bisa saya pahami kendati sedikit demi sedikit.

Sementara mobil berguncang guncang akibat pengaspalan jalan yang brengsek pasca pelebaran lajur, pemuda itu menghampiri sopir dengan tangan bergelantungan pada pegangan besi batangan di kap kopaja, kemudian berujar dalam arti kurang lebih begini: "Sepi hari ini, Bang..."

"Kamu macam belum pernah keluar aja. Jam segini mana ada banyak penumpang..." sahut sopir sekenanya. Mobil berjalan pelan pelan, kemudian behenti di bawah jembatan Bendungan Hilir (atau Benhil) untuk menunggu siapa saja, entah pedagang asongan, mahasiswa kampus terdekat, atau orang orang yang sekedar keluyuran untuk naik kopaja. Istirahat sebentar saat pengisian air radiator, si sopir duduk di belakang kemudi sembari menyalakan sebatang rokok, mengumpat pada sesama sopir kopaja nomor 19 yang melintas ngebut menyalipnya.

Tepat pada saat itu, seorang pria yang mungkin berumur menjelang 30 tahun, berkemeja lengan pendek yang tampak tidak baru namun cukup rapi, bercelana panjang dan mengenakan sepatu hitam sopan masuk ke dalam kopaja. Ia duduk di depan saya, dan di depannya lagi, persis setelah kursi si sopir, ada seorang pria lain berkemeja rapi yang memang sudah sejak tadi menumpang angkutan ini. Lalu ada perempuan, separuh baya saya kira, memilih duduk di bagian kiri kopaja, persis di seberang saya. Lantas setelah satu penumpang lain ikut masuk, pria berkemeja lusuh dengan potongan gaya cukup rapi, kendaraan ini pun melaju kembali menyusuri lintasan Jalan Sudirman yang relatif lebih lengang.

Saya tidak pernah mengharapkan adanya orang orang yang rapi dan wangi ikut menumpang dalam kopaja. Kalau boleh dibilang, mereka yang menggunakan angkutan seperti ini paling banter hanya setinggi pegawai kantoran. Lainnya tentu saja hanya warga biasa, yang pergi pulang ke rumah berdesakan dalam penuhnya moda transportasi. Pencuri, pencopet, tukang ngamen, jual koran, ibu rumah tangga, adik adik sekolahan, atau mungkin istri simpanan, semuanya setara dalam kopaja atau angkutan umum sebagainya semacam ini: tergencet dan berkeringat bersama sama. Jadi, seperti lazimnya berada di mana saja, kewaspadaan dan kehati hatian harus dipegang teguh agar sungguh kita selamat sampai tujuan. Barang dan teman gandengan supaya jangan sampai berpindah tangan.  

Kadang kita perlu teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih angkutan. Bilamana hendak dari Sudirman menuju daerah Cikini, misalnya, ada beberapa orang yang hindar menumpang PPD 213 dan bela belain naik KRL meskipun harus menempuh rute sedikit memutar serta transit lama di stasiun Manggarai. Pasalnya, bus besar tua berwarna putih yang penuh di jam pergi maupun pulang kerja itu sudah dimaklumi sebagai sarangnya tukang copet. Bahkan ada yang buat anekdot bahwa angkutan nomor 213 sebenarnya mengindikasikan bahwa penumpang baik baik hanya sejumlah dua per tiganya saja, sedangkan sisanya adalah tukang tilep dompet… 

Pria yang terakhir naik dari jembatan Benhil tidak langsung memilih tempat duduk. Ia seperti menimbang sebentar, sesaat tadi sempat beradu pandang dengan saya, sebelum kemudian dia minta supaya pemuda yang naik pertama tadi agar menggeser membagi tempat. Sempat terpikir dalam batin, bukankah kopaja ini cukup lengang dan ia bisa duduk di bangku mana saja, contohnya di deretan depan ibu ibu di seberang saya. Lagi pula, alih alih mendesak si pemuda supaya mepet ke jendela, ia malahan memberi kode agar dibolehkan 'nyelusup' nyempil di sana.  

Saya perhatikan, pemuda yang pertama kali naik dari Benhil itu kehilatannya sangat sederhana. Ia tidak membawa apapun kecuali sebuah hp yang sedari tadi digunakannya menelepon bertanya arah jalan. Suaranya pun masih medok logat Jawa Pantura. Saat kopaja melewati jembatan Semanggi, ia pun menutup telepon dan menaruhnya pada saku.

Dimulailah adegan yang terjadi begitu cepat dan sama sekali tidak saya duga sangka. Semuanya barangkali berlangsung hanya dalam waktu sepuluh menit saja…atau mungkin kurang dari itu.

Setelah belok kanan melalui kolong lajur lambat dan mengarah kembali ke jalan utama Sudirman menuju Blok M, seorang pria pengamen berpotongan rambut panjang segera naik dan menyanyikan sebuah lagu pop dari band asal Bandung, Peter Pan. Saya cukup suka pada suaranya dan hampir memberi koin recehan, yang sayang tidak jadi lantaran ia turun terburu buru di depan halte SCBD seperti menghindari sesuatu. Bergantianlah kemudian masuk seorang pria pendek berkaos kedodoran, yang bersiteguh menawarkan jasa pijit pada pemuda asal Pantura tadi...(jasa pijit, sodara-sodara, jasa pijit dalam kopaja!)

Saya sama sekali tidak menyadari hal lain yang terjadi di depan sana, kecuali bahwa ada pria dengan tas kerja berdiri tepat di sebelah saya (agaknya dia naik persis bersamaan dengan si tukang ngamen), pria tukang pijit yang bersikeras mengurut lutut di pemuda kendati juga berulang ulang ditolaknya, dan berselang beberapa saat berikutnya kernet tiba tiba mengetuk koin pada besi pegangan penumpang, pertanda bahwa akan ada penumpang yang turun atau naik. Namun, tidak ada seorang pun yang naik. Para lelaki dengan tas kerja, baik yang berdiri di samping saya maupun yang sebelumnya merangsek masuk duduk di depan, serta si tukang pijit, stop berbarengan dari pintu depan maupun belakang.  

Mungkin karena sudah seringnya melihat para tukang ngamen, pengemis ataupun pedagang yang bersikukuh minta uang di dalam angkutan, saya jadi tidak terlalu ambil peduli atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam kendaraan di Depok, suatu hari, saya bahkan menjumpai pengemis yang setengah mengancam minta uang sambil membawa bawa silet pada tangannya, berujar bahwa dia baru saja pulang dari penjara dan sedang butuh makan seperti bapak ibu penumpang. Kita bisa saja mengecam tindakan tindakan seperti itu seraya mengeluhkan berbagai hal, seperti kebijakan pemerintah untuk menjalankan ketertiban umum, pemberdayaan bagi masyarakat terpinggirkan, hingga penyediaan angkutan umum yang aman dan subsidi transportasi yang lebih baik. Akan tetapi, kita sama sama tahu kalau hidup di mana pun tentu berat dan susah, bukan? Maka, sambil berharap agar apa yang dikeluhkan tadi terpenuhi dalam waktu segera, saya pun mengambil recehan dan memberikannya pada preman fakir itu seraya berdoa agar janganlah ada di antara saudara, keluarga, atau orang yang saya kenal, mengalami nasib sebagaimana dirinya...

Sebuah teguran dari pria yang duduk persis di depan pemuda Pantura itu membawa pikiran saya kembali pada kopaja tua ini. Ia menanyakan dengan nada prihatin, apakah ada di antara bawaannya yang hilang? 

Seketika kemudian pemuda itu terkejut, menyadari bahwa telepon yang tadi dimasukan dalam saku sudah tidak ada padanya. Dari kursi belakang ini, saya bisa menyaksikan gelagat paniknya, gelisah mencari cari di sekitar bangku sekitarnya. Saya seperti bisa merasakan kecemasannya. Bayangkan dan andaikan, bahwa dia benar benar baru datang ke Jakarta, katakanlah, dari desa nun di Pemalang, Brebes atau Slawi, belum hapal arah jalan dan kini kehilangan sarana paling penting dalam kehidupan manusia modern: alat komunikasi yang menghubungkannya dengan sanak famili dan memberikan petunjuk menuju pulang di tengah kota metropolitan ini...

Pria di depannya berdiri hendak turun dari kopaja dan memberi kode bahwa mungkin teleponnya dicopet salah satu dari tiga orang yang belum lama berhenti. Si pemuda segera ikut melompat, dan saat kendaraan melaju lagi, saya saksikan mereka berbicara sebentar di pinggir jalan. Wajah si pemuda terlihat pucat sekali.

Tidak ada seorang pun dalam kopaja yang berujar cakap. Bahkan juga si sopir dan kernet yang sejak tadi kelihatan cukup akrab. Tidak ada seorangpun yang berkomentar atas kejadian barusan, kecuali saya yang ketika mau stop di Terminal Blok M bertanya setengah berbisik pada kernet, yang lagi lagi mengetukkan koin pada besi pegangan supaya sopir mau meminggirkan mobilnya:

"Abang…tadi itu gerombolan copet ya?"

Alih alih menjawab mengiyakan, kernet itu buru buru mengetuk lagi dan kopaja nomor 19 itu pun melaju ngebut meninggalkan saya.

 

Sumber foto: Arsip Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu