x

Seorang warga memasukkan surat suara ke dalam kotak dalam Pilkada ulang Walikota dan Wakil Walikota Denpasar di tempat pemungutan suara (TPS) 6, Desa Sesetan, Denpasar, Bali, 13 Desember 2015. Pemungutan suara ulang di TPS itu direkomendasikan oleh

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukan Kesepian 'By Desain'

Yang buat sepi itu kampanye. Ini kan agenda nasional. Harusnya tak sepi. Hajatannya memang lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015 telah berlalu. Pesta yang telah digelar kini tinggal menyisakan ratusan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yang menang belum tenang, karena yang kalah juga belum puas. Pertempuran pun kini beralih ke gedung MK, di Jakarta. 
 
Namun ada beberapa catatan menarik dari hajatan politik yang pertama kalinya digelar di Indonesia. Salah satunya tentang pernyataan Presiden Jokowi. Sebelum hari pemungutan suara digelar, orang nomor satu di republik ini sempat mengungkapkan keheranannya, kenapa kok menjelang pesta besar, tapi situasi adem ayem saja. Gaung Pilkada serentak sepi-sepi saja. 
 
Presiden pun minta agar sosialisasi lebih digencarkan, agar pemilih antusias datang ke Tempat Pemungutan Suara. Bahkan demi mendongkrak partisipasi pemilih, pemerintah sampai menetapkan hari pemungutan suara Pilkada pada 9 Desember 2015 sebagai hari libur nasional. Harapannya, pemilih bisa leluasa datang ke TPS untuk mencoblos.
 
Namun ternyata, harapan masih belum sesuai keinginan. Partisipasi pemilih bisa dikatakan cukup rendah, masih dibawah target Komisi Pemilihan Umum yang mematok tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada bisa mencapai 77 persen. 
 
Pertanyaan pun mencuat, kenapa Pilkada tak seramai pemilihan legislatif. Padahal ini hajatan besar, karena ada 264 daerah yang menggelar pesta pemilihan. Awalnya ada 269 daerah, tapi kemudian 5 daerah, pemilihannya ditunda, karena putusan pengadilan. 
 
Pada hari Senin, 21 Desember 2015, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, Pak Yuswandi A Temenggung di temani Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Pak Doddy Riatmadji berkesempatan berbincang-bincang dengan para wartawan yang bias meliput di kementerian itu. Salah satu tema bincang-bincang itu membicarakan tentang Pilkada serentak.
 
Dalam bincang-bincang itulah kemudian muncul pertanyaan yang dilontarkan seorang wartawan. Dia bertanya, kenapa pesta demokrasi sepi-sepi saja. Ia heran, kenapa Pilkada serentak tak semarak seperti pemilihan legislatif, atau bahkan tak segaduh saat Pilkada tak digelar serentak.
 
Menanggapi pertanyaan itu, Pak Yuswandi menjawab, bahwa ia pun mengakui bila gaung Pilkada tak seramai pemilihan legislatif. Tapi kata dia, ada beberapa faktor yang membuat Pilkada serentak tampak sepi-sepi saja. Salah satunya soal metode kampanye yang sekarang diterapkan dalam Pilkada serentak. Metode kampanye Pilkada serentak berbeda dengan model kampanye sebelumnya. Kini, penyelenggara yang melakukan kampanye. Jadi, porsi kampanye para calon sama, tak lagi ada lomba jor-joran baliho dan spanduk yang dilakukan para kontestan dan tim horenya. 
 
"Yang buat sepi itu kampanye. Ini kan agenda nasional. Harusnya tak sepi. Hajatannya memang lokal. Tapi norma regulasinya kampanye itu diselenggarakan oleh penyelenggara dalam hal ini KPU," kata Pak Yuswandi.
 
Memang dalam Pilkada serentak tak ada lagi kampanye adu warna, dimana kuning tak mau kalah dengan merah. Atau merah, berlomba dengan biru dan hijau. 
 
"Jadi ya intensitas kampanye beda antara yang sekarang dengan dulu,"kata dia.
 
Perputaran uang juga tak lagi jor-joran antar para kontestan. Iklan calon sekarang dibuat dengan porsi yang sama. Misalnya di media massa, atau lewat spanduk dan baliho. Memang ada imbas, media massa misalnya tak lagi kecipratan berkah Pilkada seperti dulu lagi 
 
"Kalau dulu kan siapa saja calonnya berlomba pasang iklan, spanduk dan baliho. Sekarang tidak," kata Pak Yuswandi. 
 
Namun bukan berarti tak ada perputaran uang. Duit tetap saja berputar, karena ada pembiayaan untuk logistik pemilihan, anggaran keamanan, juga honor para penyelenggara dan petugas pemilihan. Hanya saja memang, uang yang berputar untuk biaya iklan tak seperti dulu lagi. 
 
"Presiden juga  beberapa kali menyatakan kok sepi saja pestanya. Pestanya, pesta nasional. Tapi hajatnya lokal. Ini tentu akan jadi bahan evaluasi," katanya.
 
Kembali pertanyaan muncul dilontarkan seorang wartawan. Ia bertanya, apakah mungkin 'kesepian' dalam Pilkada serentak itu di sengaja atau by desain, agar ada alasan format Pilkada kembali dirubah. 
 
"Oh kesepian by desain? Enggaklah. Tak ada maksud kesana," jawab Pak Yus.  
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler